SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 05 Agustus 2012

Sekilas Sejarah Cirebon dan Kesultanannya


Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P

Cirebon merupakan kota yang unik di wilayah Jawa Barat. Akulturasi yang terjadi di wilayah ini menyebabkan Cirebon berbeda dengan daerah lainnya di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan sejarahnya, Cirebon adalah bekas ibu kota kerajaan besar yang kekuasaannya meliputi seluruh Jawa Barat. Pada zaman Hindu, Cirebon berada di bawah Kerajaan Galuh. Sejak awal berdirinya, Kota Cirebon menduduki posisi yang sentral. Mula-mula kota ini menjadi pusat kerajaan Cirebon. Pada zaman Belanda, Kota Cirebon berkedudukan sebagai ibu kota karesidenan, ibu kota kabupaten dan sekaligus sebagai ibu kota distrik. Bahkan pada tahun 1906 Kota Cirebon dijadikan sebagai gemeente (kotapraja).[1]
Kerajaan yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati (1479 – 1568) merupakan pusat pengembangan Islam di Jawa bagian barat. Meskipun sebagai pusat kerajaan Islam, Keraton Cirebon merupakan keraton yang terbuka. Secara turun-temurun mulai dari Sunan Gunung Jati sampai Sultan Sepuh Hasanudin (1786-1791), kerjaan ini selalu menjalin hubungan antarbangsa baik dalam hubungan dagang maupun politik. Persahabatan antarbangsa juga digambarkan secara nyata oleh Sultan Kasepuhan Cirebon dalam bentuk kereta kerajaan yang berbentuk binatang buroq yang bermahkotakan naga dan berbelalai simbol persahabatan antara Cirebon, Cina, Arab, dan India yang beragama Hindu.[2]
Akulturasi budaya ini juga masih ditambah lagi dengan perpaduan budaya Sunda dan Jawa. Meskipun Kesultanan Cirebon berasal dari Kerajaan Padjadjaran, namun budaya Jawa juga turut mewarnai. Hal ini dikarenakan interaksinya dengan Kerajaan Mataram dan Demak.
Bahasa yang digunakan pada masyarakat Cirebon menunjukkan suatu keberagaman. Di sini terjadi persinggungan antara bahasa Sunda, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Meskipun bahasa-bahasa tersebut pada umumnya digunakan secara terpisah, namun pada beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah penggunaan bahasa yang berbeda, masyarakat biasanya dapat berkomunikasi dalam dua bahasa dengan baik dan dapat saling mengerti walaupun mereka masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda. Masyarakat Cirebon mengenal bahasa halus (keraton) dan bahasa lumrah (kasar) meski terkadang banyak kemiripan dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Jika berbicara mengenai Cirebon, maka tidak lepas dari sejarah kesultanan yang turut berkontribusi dalam merintis Kota Cirebon. Kesultanan Cirebon merupakan kesultanan di Pantai Utara Jawa Barat dan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama suatu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi Kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires saat mengunjungi Cirebon pada tahun 1513, yang berjudul Suma Oriental.
Pada zaman Hindu, nama Cirebon hampir tidak dikenal. Ketika pengaruh Islam kuat, nama Cirebon mulai tercatat dalam sejarah melalui laporan-laporan, seperti laporan yang ditulis Tome Pires. Ia menggambarkan Kota Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan yang bagus. Ia juga menggambarkan bahwa Kota Cirebon pada waktu itu dihuni oleh sekitar seribu orang.[3]
Berdasarkan beberapa sumber atau literatur mengenai sejarah dan nama Cirebon setidaknya terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-18) menyebutkan bahwa Kota Cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan yang membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun sebutan lain yang masih bersumber dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Beberapa peristilahan berkaitan dengan nama Cirebon yang sempat tercatat pada manuskrip lama dan arsip daerah maupun arsip nasional, sejak berdirinya hingga sekarang adalah: Dukuh Lemahwungkuk, Dukuh Cirebon, Dukuh Carbon, Bandar Cirebon, Nagari Caruban atau Caruban Nagari, Algemeinte op Cheribon, Kota Swapraja Cirebon, Kotapraja Cirebon, Kotamadya Cirebon dan terakhir adalah Kota Cirebon.
Kota Cirebon juga terkenal dengan julukan "Kota Wali". Hal ini dikarenakan pada abad 15-16, Kota Cirebon menjadi tempat berkumpulnya para wali, terutama kelompok Wali Sanga atau Wali Sembilan yang bertugas menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Karena julukan ini pula, Cirebon dikenal kalangan luas di berbagai daerah, bahkan sering menjadi tujuan wisata ziarah Wali Sanga.
Sejarah mengatakan, bahwa Kota Cirebon berkembang mulai dalam bentuk pedukuhan. Pedukuhan tersebut konon didirikan pada 1 Sura 1204 Saka atau 1 Muharam 792 H, oleh putra sulung Prabu Siliwangi yang bernama Kian Santang (bergelar Pangeran Walangsungsang Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon Ki Somadullah) dalam waktu hanya satu hari satu malam. Jadi secara genealogi, Kesultanan Cirebon masih berhubungan dengan Padjadjaran yang pada saat itu dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Ada beberapa pendapat yang meragukan dan mempertanyakan sosok Prabu Siliwangi, apakah itu nama seorang Raja Padjadjaran yang termasyhur atau hanya gelar seorang raja Padjadjaran.[4] Pendirian atau pembentukan dukuh tersebut dibantu oleh adiknya, Rara Santang; istrinya, Nyai Indang Geulis dan seorang lelaki tua yang misterius, bernama Ki Gede Pangalangalang yang kemudian diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemahwungkuk atau Kuwu Cirebon I.
Semula pedukuhan tersebut bernama Dukuh Lemahwungkuk yang berarti tanah yang menggunduk. Oleh karena terkenal dengan makanannya yang terbuat dari rebon (jenis udang berukuran kecil), lambat laun dukuh tersebut berubah menjadi Dukuh Cirebon (Ci berarti air dan rebon adalah nama jenis udang berukuran kecil). Pada perkembangannya, Dukuh Cirebon berubah menjadi Bandar Cirebon, karena pelabuhan yang ada telah menjadi pusat aktivitas ekonomi dan perdagangan di dukuh Cirebon. Sampai sekarang Kota Cirebon dijuluki sebagai Kota Udang.
Kisah asal-usul Cirebon sendiri dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Cerita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sejarah Kesultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan.
Cerita dalam naskah itu menyebutkan bahwa asal mula kata "Cirebon" adalah "sarumban", lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi "Carbon", berubah menjadi kata "Cerbon", dan akhirnya menjadi kata "Cirebon". Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai "Pusat Jagat", negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya "Negeri Gede". Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi "Garage" dan berproses lagi menjadi "Grage".
Munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuwana. Kata "Cirebon" berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari "ci" artinya "air" dan "rebon" yaitu "udang kecil" sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai Kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang. Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka.
Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari Tanah Suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah ini berkembang dan mulai banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” yang berarti campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah, keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya menikah, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di Tanah Air, beliau mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana yang dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, Pangeran Cakrabuana kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di Pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar agama Islam, menggantikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati juga mengajar di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan, Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati Puteri Pangeran Cakrabuana, di samping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Padjadjaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten.
Sementara itu, Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah Nagari mulai dikembangkan sebagai pusat kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada saat itu, berdirinya Nagari Caruban telah cukup memenuhi persyaratan terwujudnya sebuah nagari yaitu dengan adanya:
1.       Wilayah kekuasaan dari batas Nagari Singapura paling utara, mungkin termasuk wilayah Surantaka, sampai batas Japura paling Timur, kemudian sebelah baratnya mencakup Caruban Girang.
2.       Ibu negeri dengan istananya di dekat Kali Kriyan sebagai pusat pemerintahan.
3.       Memiliki pelabuhan utama bernama Muara Jati, dan pelabuhan kecil di beberapa tempat, termasuk Pelabuhan Cirebon sekarang.
4.       Pasukan pengawal wilayah.
5.       Eksistensinya diakui oleh kerajaan lain, dalam hal ini oleh Prabu Siliwangi, ayahnya.
6.       Sejumlah rakyat yang bercorak ragam asal-usulnya, dengan perbagai profesi, yang taat kepada pimpinan Nagari Caruban.[5]
Kelengkapan nagari seperti itu dilengkapi juga dengan hukum dasar yang melandasinya, yaitu Islam karena pendirinya adalah seorang ulama yaitu Haji Abdullah Iman atau Ki Somadullah atau Cakrabuwana yang telah belajar agama di Mekah dengan seorang guru yang bernama Syeh Datuk Kahfi dan Syeh Abdul Yazid dan juga berguru di negeri Campa.[6] Selain dasar Islam, hukum adat juga mungkin digunakan dalam menjalankan pemerintahan peninggalan kakeknya Ki Gedeng Tapa dan Kuwu Caruban ke-I, Ki Danusela, mengingat masyarakat Caruban belum sepenuhnya beragama Islam.[7] Melihat karakteristik dan syarat sebuah nagari seperti itu, sudah pantas Cirebon menjadi sebuah nagari.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan merupakan keraton yang bercorak Islam dengan Keraton Pakungwati sebagai cikal bakalnya. Pada awal berdirinya Kesultanan Cirebon, dengan rajanya bernama Pangeran Cakrabuana, keraton yang ada bernama Pakungwati. Nama pakungwati ini diambil dari nama putri raja Padjadjaran.
Keraton Cirebon itu merupakan keraton Islam yang dulu bernama Keraton Pakungwati, dibangun sekitar tahun 1430 M dengan rajanya Pangeran Cakrabuanaputra Prabu Siliwangi. Dinamakan Pakungwati diambil dari nama putri Raja Padjadjaran. Arti Pakungwati itu udang perempuan...”[8]

Meskipun Keraton Pakungwati didirikan dan dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana, namun pada saat itu belum berbentuk kerajaan. Setelah Keraton Pakungwati telah berdiri dan kepemimpinan digantikan oleh putra dari adiknya yaitu Rarasantang yang bernama Syarif Hidayatullah, maka ia resmi menjadi raja pertama Keraton Pakungwati. Karena alasan inilah Syarif Hidayatullah merupakan pemimpin Keraton Pakungwati pertama sebelum berdirinya Kasepuhan atau sebelum terpecahnya Kesultanan Cirebon. Adapun silsilah Keraton Pakungwati adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Silsilah Keraton Pakungwati
No
Nama
Periode
Keterangan
1
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
1429-1526
Memerintah
2
P. Adipati Pasarean
(P. Muhammad Arifin)
1496-1520
Tidak memerintah
3
P. Dipati Carbon I
(P. Sendang Kamuning)
1520-1533
Tidak memerintah
4
Panembahan Ratu Pakungwati I
(Panembahan Emas Zainul Arifin)
1526-1649
Memerintah
5
P. Dipati Carbon II
(P. Sendang Gayam)
1578
Tidak memerintah
6
Panembahan Ratu Pakungwati II
(Panembahan Girilaya)
1649-1662
Memerintah
Sumber: Arsip Keraton Kasepuhan

De Haan[9] menjelaskan bahwa setelah Sunan Gunung Jati wafat, sebagai pengganti Raja Pakungwati adalah cicitnya, yaitu Pangeran Emas Zaenul Arifin  yang bergelar Panembahan Ratu. Ini terjadi karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, akhirnya tahta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I.
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar almarhum ayahnya, yaitu Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Tidak lama setelah pengangkatannya, ia diundang ke Mataram bersama istri dan dua orang putranya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Ia tidak pernah pulang ke Cirebon karena tinggal di Mataram selama sekitar 12 tahun. Ia meninggal di Mataram dan dimakamkan di Girilaya. Berdasarkan tempat pemakamannya inilah, Panembahan Ratu II dikenal dengan sebutan Panembahan Girilaya. Selama terjadi kekosongan pemimpin saat Panembahan Girilaya dan kedua putranya berada di Mataram antara tahun 1662-1667, kepemimpinan dipegang oleh Pangeran Wangsakerta.
Setelah Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II wafat, kekuasaan Keraton Pakungwati dibagi kepada kedua putranya yang tertua yaitu Panembahan Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Syamsuddin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I yang bergelar Abil Makarim Badruddin. Kedudukan dua Sultan itu menyebabkan dengan sendrinya mereka tinggal di keraton yang berbeda, masing-masing dengan kelengkapan keratonnya tersendiri.
Setelah terpecahnya Kesultanan Cirebon, maka kedua pewaris tahta Keraton Pakungwati memiliki keraton masing-masing. Menurut Berg,[10] Sultan Sepuh wafat pada tahun 1697. Setelah Sultan Sepuh wafat, kepemimpinan Keraton Kasepuhan dibagi antara putranya, yaitu Pangeran Adipati Anom menjadi Sultan Sepuh II berkuasa di Keraton Kasepuhan, dan Pangeran Arya Carbon menjadi Sultan Kacirebonan I.
Pada tahun 1729, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Arya Carbon baru mendapat gelar Sultan. Kemudian tentang urutan pengganti tahta selanjutnya ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1751, bahwa setiap raja di dalam urutannya akan digantikan oleh putra pertamanya. Berikut adalah silsilah Kesultanan Kasepuhan:

 Tabel 2 Silsilah Kesultanan Kasepuhan
No
Nama
Periode
1
Sultan Sepuh Raja Syamsuddin
1679-1697
2
Sultan Raja Tajularifin Jamaludin
1697-1723
3
Sultan Raja Jaenudin
1723-1753
4
Sultan Raja Amir Sena
1753-1773
5
Sultan Sepuh Shafiudin Matangaji
1773-1786
6
Sultan Sepuh Hasanudin
1786-1791
7
Sultan Sepuh Joharudin
1791-1815
8
Sultan Raja Udaka
1815-1845
9
Sultan Raja Sulaeman
1845-1880
10
Sultan Raja Atmaja
1880-1899
11
Sultan Sepuh Raja Aluda Tajularifin
1899-1942
12
Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
1942-1969
13
Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat
1969-2010
14
Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat
2010- sekarang
Sumber: Arsip Keraton Kasepuhan


[1] Staatsblad No. 122, 1906, dalam Sulistiyono. 1994, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”, Tesis pada Program Studi Sejarah, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, hal 37. (Tidak Dipublikasikan)
[2] Kereta kerajaan ini masih disimpan di Museum Singa Barong. Sesuai dengan nama museumnya, keretanya pun dinamakan Singa Barong yang berwujud gabungan antara singa, burung, dan gajah. Kereta ini adalah sebuah kereta perang kerajaan peninggalan abad ke-17 yang memiliki bentuk mewakili beberapa unsur kebudayaan yang ada di Cirebon. Kereta yang ditarik oleh kerbau putih ini memiliki belalai yang menyerupai gajah, badan dan kepala menyerupai naga, dan sayap. Kereta ini hanya dikeluarkan dalam acara-acara tertentu.
[3] Sulistiyono, Singgih Tri. 1994, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930”, Tesis Program Studi Sejarah, UGM, Yogyakarta. Hal 130-131. (Tidak Dipublikasikan)
[4] Identitas tokoh Prabu Siliwangi mengandung masalah ditinjau dari segi budaya. Pada satu pihak orang Sunda menganggap Prabu Siliwangi sebagai tokoh sejarah yang pernah ada dan hidup di dunia nyata sebagai raja terbesar. Di pihak lain ada yang berpendapat nama Prabu Siliwangi sebagai Raja Sunda sama sekali tidak tercatat dalam sumber primer tentang kerajaan Sunda. (Ekajati, Edi Sukardi. 2009, Kebudayaan Sunda Zaman Padjadjaran Jilid 2, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, Hal. 115). Walaupun masih terjadi perdebatan soal identitas Prabu Siliwangi, namun hampir semua percaya bahwa Prabu Siliwangi pernah ada, entah itu adalah sebutan atau gelar, ataupun memang itu nama aslinya.
[5] Sunardjo, Unang. 1983, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809, Penerbit Tarsito, Bandung. Hal. 46
[6] Ada yang berpendapat bahwa negeri Campa terletak di Kamboja dan sekarang sebagian wilayahnya masuk wilayah Vietnam. Pada saat di negeri Campa, Ki Somadullah belajar agama pada Syeh Maulana Ibrahim Akbar dan pada akhirnya menikahi putri gurunya yang bernama Nhay Rasa Jati.
[7] Sunardjo, op. cit. Hal. 47
[8] Wawancara dengan Pak Iman pada tanggal 8 Maret 2011
[9] Dalam Heriyanto, op. cit. Hal. 76-77; lihat juga dalam Booklet yang diterbitkan oleh Yayasan Keraton Kasepuhan.
[10] Dalam Heriyantoop. cit. Hal. 100.

Tidak ada komentar: