SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Kamis, 06 November 2014

Alor: Sebuah Peta Yang Terlupa (4)



Lanjutan…

Sulitnya air menjadi kendala besar bagi sebagian wilayah di Alor. Terlebih saat musim kemarau tiba, alam pulau Alor seperti kering kerontang. Hampir tidak ada warna hijau setiap pandangan mata diarahkan ke segala penjuru, kuning dan gersang! Meski demikian, tak ku lihat raut muka mengeluh setiap orang yang kutemui di sana. Mungkin mereka sudah sangat terbiasa menghadapi kejamnya alam tandus dan panas. 

Belemana menjadi desa pertama penjelajahanku di pelosok Alor. Dari sini juga pengalaman menghadapi kondisi alam dan karakter masyarakatnya dipelajari. Pengalaman ini menjadi bekalku menghadapi desa-desa selanjutnya. 

Kurang lebih empat hari kami tinggal dan berbaur di Desa Belemana. Mencari tempat tinggal orang, menelusuri, mewawancarai dengan sabar menjadi aktivitas sehari-hariku. Kesulitan yang dihadapi saat wawancara adalah kendala pemahaman bahasa. Terkadang apa yang disampaikan dengan jelas, belum tentu dipahami maksudnya oleh orang yang dituju. Untungnya, semua orang di sana, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia mengerti dan bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Berbeda dengan masyarakat Jawa dan Sunda. Umumnya para orang tua/ yang sudah sepuh di Jawa kurang bisa berbahasa Indonesia, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Alhasil jika ada orang asing yang tidak mengerti bahasa Jawa akan kesulitan berkomunikasi.

Hari pertama di Belemana aku lalui dengan lelah. Mulai siang hari, kami berdua bergerilya mencari responden-respondenku di desa itu. Sebelumnya kami diantar ke rumah pribadi kepala desa sebagai tempat bermalam kami selama di Belemana. Rumah seorang kepala desa tidak ada menariknya sama sekali, setidaknya bagi orang-orang yang datang jauh dari kota-kota besar di Jawa. Bangunan rumah setengah jadi tanpa daun jendela di beberapa kamarnya, kursi dan tempat tidur sangat sederhana serta lantai yang beralaskan tanah adalah pemandangan interior rumah. Hanya ada beberapa foto usang yang menghias ruang tamu. Mungkin itu foto leluhur dan bapa desa sekeluarga. 

Setelah menyimpan barang bawaan, kami langsung bergegas melaksanakan tugas dengan membawa perlengkapan survey yang diperlukan. Satu-persatu ku kunjungi rumah warga. Dengan sabar dan telaten ku wawancara semua anggota keluarga yang ada di situ. Biasanya, satu rumah tangga harus diwawancarai sebanyak tiga buku. Itu jumlah minimal. Sedangkan satu buku kuesioner ada yang berjumlah 60 lembar. Bisa dibayangkan kira-kira butuh waktu berapa jam utk bisa mewawancarai satu keluarga responden. 

Untuk pengalaman pertama, karena belum terbiasa, bisa 3-4 jam aku wawancara satu rumah tangga. Sedangkan tugas kami harus mewawancara sedikitnya 8 keluarga di desa itu. Hari pertama itu aku hanya sanggup mewawancarai 2 responden saja. Ketika wawancara di rumah yang ketiga, belum sampai tuntas karena malam telah larut dan gelap makin pekat. Kami pun kesulitan penerangan untuk bisa membaca dan menulis di kuesioner karena hanya ditemani nyala lampu tempel atau senter yang ku bawa. 

Jam 10 malam waktu setempat kuputuskan untuk pulang ke “basecamp” di rumah pak kades, atau orang Alor biasa menyebut bapa desa. Aku diantar Bapa desa pulang ke rumah. Di jalan aku bertemu Risna teman satu tim ku di Belemana yang juga baru pulang wawancara. Ternyata tidak jauh berbeda. Dia pun hanya dapat 2 responden saja di hari pertama itu, itu pun belum lengkap katanya. 

Sampai di rumah bapa desa yang temaram, karena memang listrik dari genset milik desa hanya menyala sampai jam 9 atau jam 10 malam saja, kami merasa lega. Temaram cahaya dari genset itu pun tentu tidak bisa menerangi seluruh rumah warga di desa. Hanya beberapa rumah saja yang bisa menikmati lampu. Selebihnya, tidur dalam kegelapan. 

Jalanan desa yang berbukit dan tidak rata, ditambah gelapnya suasana membuat kakiku harus rela menendang bebatuan. Tidak jarang pula temanku hampir tersungkur. Maklum, karena mata kami hanya terbiasa pada gemerlap hidup perkotaan yang terang benderang. Otomatis, mata kami mendadak “rabun” ketika harus berhadapan dengan suasana gelap gulita. Bahkan sesekali aku tidak melihat ada orang yang tengah duduk di depan rumahnya dan menyapa kami yang jalan beriringan. “Haii kakak, mau kemana? Mampirlah dulu kemari”, hanya suara sapa seperti itu yang ku dengar, sedangkan mata ini tidak mampu menangkap bayang dalam bayang kegelapan. 

Aku sejenak meregangkan otot tubuhku yang terasa kaku karena lelah. Dengan cepat, bapa desa dan istrinya segera menghidangkan teh manis hangat dan ubi. Sambil melemaskan otot dan menikmati kehangatan minuman, ternyata diam-diam sang tuan rumah menyiapkan makan malam untuk kami semua. Mata mengantuk dan lelah tak tertahan pun dipaksa untuk sejenak bertahan hanya sekedar melegakan upaya tuan rumah untuk menjamu kami. Menu yang dihidangkan sangat sederhana. Hanya ada nasi dan ikan asin beserta sambal tomat yang diuleg atau ditumbuk tidak sampai halus. Tapi itu terasa istimewa ditempat yang serba susah ini.

Bagi kami yang sedang lelah, soal rasa adalah nomor sekian. Yang penting makan, kemudian segera beristirahat. Sebelum tidur ku sempatkan untuk merapel solat magrib dan isya. Hidup di sana tidak tau waktu solat. Maklum karena seluruh warga menganut agama kristiani. Alhasil, taka da kumandang adzan terdengar. Jujur, sering waktu solatku terlewat karena tidak tau waktu. 

Selesai kewajibanku hari itu, ku tunaikan hak tubuhku yang letih setelah seharian beraktivitas. Tidur adalah hal yang terindah bagiku saat itu. Meski dingin mulai menusuk tulang, karena kamar kami tidak ada daun jendela yang menghalangi angin menerpa masuk, ku pejamkan mata ini. Aku pun tidur dalam gelap dan dinginnya udara malam Alor.

Malam seolah merangkak cepat sekali. Tak terasa hari telah pagi. Pantas saja dinginnya makin menjadi. Aku pun terbangun. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.00 WITA. Aku bermalas-malasan untuk bangkit. Baru sekitar jam 05.30 aku bangun untuk mencari air berwudlu. Jauh ku susuri perbukitan di desa itu untuk menemukan sumber air. Telinga dan mata ku pasang baik-baik untuk bisa menangkap sumber air. Setelah kurang lebih 1 KM ku berjalan, akhirnya ku temukan sumber air itu. 

Ku basuh muka lusuh ini. Ku rasakan sejuk dan segarnya air yang mengalir dari dalam tanah ini. Tidak banyak. Hanya sebuah kubangan kecil sumber mata air itu. Setelah berwudlu, aku mencari tempat datar tak jauh dari situ untuk menunaikan solat subuh. Jaket yang ku pakai, ditambah dedaunan yang lebar kujadikan alas. Tanpa tau arah, ku hadapkan wajah ini ke arah yang ku yakini kiblat ku. Khidmat sekali solat di alam terbuka saat itu. Allahu akbar!

Usai solat, kusempatkan berjalan-jalan menyusuri desa. Dari atas bukit, terlihat kilau emas mentari yang muncul dari permukaan laut. Subahanallah, Puji Tuhan semesta alam yang telah menciptakan keindahan dalam keburukan. Buruk karena memang kondisi alam gersang nan tandus. Namun Tuhan Maha tau mana yang pas untuk umatnya. Masyarakat Alor lah yang dipilih-Nya untuk mampu menaklukan tandusnya alam liar di sana. Dari “keburukan” itu, Dia munculkan segala keunggulan dan hikmah di baliknya. Diantaranya pemandangan lautan yang hijau, biru dan jernih. Udara yang jernih dan bebas dari polusi ini pun menjadi salah satu nilai lebih bagi orang yang terbiasa hidup di padatnya perkotaan di Jawa. 

Ku hirup udara pagi yang segar itu dalam-dalam. Ku pejamkan mata. Ku rasakan aliran oksigen itu memenuhi rongga paru-paru dan seluruh sel-sel darahku. Serasa ingin ku buang semua racun oksigen yang masih mengendap di paru-paru dan aliran darahku dan digantikan dengan murninya udara pagi di Alor. Lalu ku buka mata perlahan. Kusaksikan maha karya Tuhan layaknya lukisan kanvas yang berada di hadapanku. Gunung dan perbukitan saling menjulang berwarna kuning dan kehijauan. Deburan ombak lautan di cakrawala memantulkan kilau yang indah, burung-burung beterbangan, desir dedaunan tertiup angin lembut menghasilkan melodi alami yang merdu. 

Tak terasa air mataku menetes. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Itulah pertanyaan yang menohok mahluk picik tak tau terima kasih sepertiku ini. Baru kemarin aku mengutuki dalam hati tentang kondisi Alor yang sengsara dan beratnya harus menjalani hidup di dalamnya. Tapi hari ini, 8 Oktober 2013 aku mengakui di hadapan semesta tentang hebatnya Alor, dan tangguhnya masyarakat di sana. 

Di tempat ku berpijak ini, ku dirikan solat. Ku edarkan pandangan, betapa maha luasnya ‘rumah Tuhan’ ini. Bagiku, inilah rumah Tuhan yang sesungguhnya. Bukan masjid, gereja, kuil atau tempat peribadatan apapun di muka bumi ini. Itu hanyalah sekat-sekat kecil tempat manusia mengkotak-kotakan dirinya sendiri tanpa enggan memandang luasnya hakikat tempat ibadah. 

(bersambung...)






Selasa, 12 Agustus 2014

ALOR: Sebuah Peta Yang Terlupa (3)



Pernahkah anda pergi ke suatu daerah antah barantah nun jauh di sana, di pelosok pedalaman, tanpa tau sedikitpun informasi tempat itu dengan berbekal seadanya? Ya, itulah yang kami lakukan ketika menerobos pedalaman pulau Alor. Aku dan salah seorang teman, Risna mencoba melangkahkan kaki memasuki desa yang menjadi salah satu wilayah sample Survey Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan (SPKP 2013) dengan berbekal segenggam nekat.

Bawaan kami hanya pakaian ganti, peralatan mandi, dan sedikit cemilan. Selebihnya, tas besar dan kardus yang kami bawa berisi “peralatan tempur” survey, yaitu kuesioner, antropometri, alat tulis, preprented dan dokumen-dokumen lainnya. Banyaknya logistik yang dibawa, membuat satu orang harus membawa dua buah tas, belum lagi ditambah kardus.

Barang bawaan pribadi tim SPKP DK-Alor (belum termasuk 'peralatan tempur' survey)

Dengan banyaknya bawaan itu, tanpa pengetahuan tentang desa atau peta desa, ditambah suasana malam hari tanpa penerangan membuat perjalanan menuju Desa Belemana sebagai desa pertama di wilcah I (baca: wilayah cacah) semakin tidak jelas. Dari informasi pak supir yang mengantar kami, lokasi Desa Belemana tidak jauh dari persimpangan jalan desa. Awalnya kami percaya dan memutuskan berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju desa. Tapi langkah kami makin ragu ketika tak nampak tanda-tanda kehidupan di ujung jalan yang berbukit. Akhirnya kami berpedoman, JANGAN MUDAH PERCAYA BILA ADA YANG MENGATAKAN DEKAT SOAL JARAK! Camkan itu!!

Tanpa pikir panjang, kami berbalik arah untuk mencari pemukiman terdekat yang tadi kami lewati sewaktu perjalanan naik mobil. Ternyata pemukiman penduduk yang sebelumnya masih dihiasi penerang lampu tempel, kini sudah gelap gulita seluruhnya. Pupus sudah harapanku untuk bisa bertanya dan mungkin menumpang bermalam.

Beberapa rumah yang aku datangi ternyata gelap gulita. Ketika pintu diketuk, taka da jawaban dari sang empunya rumah. Ketukan dan suara kami berdua hanya dijawab oleh suara anjing menyalak, seolah mereka tau kalau kami orang asing di situ.

Tanpa tujuan kami tetap berjalan berbalik arah dari Desa Belemana. Berharap menemukan penduduk atau rumah untuk bertanya dan singgah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Itulah pepatah yang cocok saat itu. Ada dua orang mengendarai motor berjalan ke arah kami. Dengan semangat Risna, menyetop motor itu untuk bertanya. Tak disangka pula, logat bahasa mereka seperti tidak asing. Benar saja, ternyata mereka orang Jawa yang merantau atau mungkin terdampar di pulau ini.

Dari keterangan mereka, ternyata memang benar kalau Desa Belemana masih lumayan jauh jika harus ditempuh berjalan kaki, khususnya bagi orang Jawa. Apalagi ditambah bawaan kami yang lumayan merepotkan. Kami disarankan untuk datang ke rumah salah seorang tokoh masyarakat di sekitar situ untuk bermalam. Kami ditunjukkan arah rumahnya yang ternyata hanya satu-satunya rumah yang menggunakan penerangan listrik sehingga bisa terlihat dari kejauhan di tengah pekatnya malam yang kian larut.

Aku lupa nama orang itu. Orang pertama yang memberikan pertolongan dan menyediakan tempat untuk aku dan Risna bermalam. Meski baru kenal pada saat itu, sambutan hangatnya luar biasa. Kami disiapkan kamar untuk istirahat, kemudian disediakan makan malam.

Saat itu aku tidak peduli dengan kondisi tubuh aku yang kotor dipenuhi pasir. Celana, tas, dan baju yang aku pakai saja sampai berwarna putih. Mungkin muka pun tidak jauh berbeda. Karena letih dan lapar, aku pun menyantap hidangan yang disediakan, berupa ikan pindang, mi rebus dan sambal tomat. Sangat nikmat untuk ukuran orang lapar.

Meski dingin menyerang, namun karena lelah, aku pun bisa tidur dengan pulas. Tidak peduli tentang hari esok yang berat. Bagi aku, esok pasti punya ceritanya sendiri. Hari ini adalah milik kita saat ini, maka nikmatilah. Sebelum tidur aku sempat berpikir, tak menyangka aku bisa menginjakkan kaki di wilayah yang sangat jauh ini. Tak menyangka juga, saat ini --yang tidak pernah terbayang sebelumnya-- aku sudah merasakan tidur di pedalaman Alor, di rumah orang yang tidak aku kenal dua jam sebelumnya. Dengan mengucap bismillah dan Alhamdulillah, akhirnya mata bisa terpejam.

Pagi-pagi sekali aku terbangun, selain juga karena dingin yang mulai bisa mengusik tidurku. Ternyata sudah jam setengah enam waktu setempat. Aku pergi untuk mengambil wudu dan menunaikan solat. Karena aku sadar, di tempat asing ini mungkin aku sangat membutuhkan Tuhan. Karena hanya pada-Nya aku bergantung segalanya di tengah ketidaktahuanku akan luasnya ciptaan-Nya.

Belemana; welcome to the ‘jungle’

Aku sempatkan mandi dengan air seadanya untuk membersihkan tubuh yang lusuh dipenuhi debu. Setelah sarapan, dan berbincang-bincang sejenak, kami memutuskan untuk segera meluncur ke Belemana. Sang tuan rumah malah sudah mencarikan ojek untuk mengantar kami berdua ke Belemana. Kami beri 20 ribu rupiah sekedar ongkos pengganti bensin. Kami diantar langsung sampai ke rumah kepala desa. Melihat pejalanan cukup jauh yang menanjak dan berliku serta kanan kiri hanya semak dan pepohonan, membuatku berpikir selama dalam perjalanan tadi. Untung semalam tidak jadi jalan kaki.

Pulau tempat Moko[1] ini mungkin sedikit berbeda dengan pulau lain semisal Papua, yang hampir di seluruh desanya berada di posisi yang sulit atau mungkin tidak terjangkau dengan kendaraan darat. Di Alor, mungkin semua desa sudah bisa dijangkau dengan jalan darat, meskipun ala kadarnya saja. 

Belemana adalah tipikal model desa di Alor pada umumnya; tanpa listrik, bangunan sekolah seadanya, guru juga seadanya, jalan desa seadanya meski sudah mulai dilakukan pengecoran dengan semen, tanpa air bersih, namun memiliki aparatur desa yang lengkap. Ini bisa digambarkan pada papan triplex yang ada di kantor desa (bila itu bisa disebut kantor desa). Sebab bagiku, bangunan itu tidak layak disebut sebagai kantor. Apalagi sebuah kantor pemerintahan. Bangunannya kurang memadai dan tidak ada tanda-tanda kalau bangunan tersebut sering digunakan untuk aktivitas, kosong dan kotor.

Rumah dinas atau rumah jabatan kepala desa berada di sebelahnya. Jangan membayangkan juga tentang rumah dinas yang biasanya bagus. Rumah jabatan ini tidak sepenuhnya berdinding bata dan semen. Separuh bagian dindingnya masih dari papan atau kayu. Lantai pun tidak semua dipelster dengan semen. Sebagian masih beralaskan tanah.

Kami menunggu sang kepala desa untuk membicarakan perihal keperluan kami di desa itu. Sekaligus meminta bantuan kepadanya untuk bisa mengakses data dan petunjuk untuk bisa bertemu dengan beberapa warga yang menjadi sampel survey. Sambil menunggu, kami berbincang dengan salah seorang warga dan juga perangkat desa di Belemana. Dia bercerita mengenai pembangunan di desa yang minim fasilitas, juga guru-guru pengajar yang kurang memadai bagi anak-anaknya menuntut ilmu.


Gusti (tim Alor DK-51), beserta anak-anak Alor.
Anak-anak Alor yang dengan keterbaasannya tetap gigih untuk belajar dan bersekolah


Akhirnya tokoh yang ditunggu datang juga. Kami memperkenalkan diri dan juga menerangkan maksud tujuan singgah di Belemana. dia pun mengangguk setelah diberi penjelasan juga oleh perangkat desa yang tadi sempat berbincang dengan kami. Maksud hati ingin segera melakukan wawancara agar cepat selesai, kami malah diajak makan dengan hidangan yang sudah disediakan.

Dari sinilah pengalamanku soal makanan yang sangat berbeda dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan mungkin juga inilah awal penyesuaian lidah terhadap masakan orang pedalaman Alor. Di sini juga untuk pertama kalinya aku merasakan makanan yang diharamkan dalam agamaku, daging babi.

Awalnya aku tidak curiga kalau itu daging babi. Hanya saja aku merasa aneh dengan dagingnya. Setelah sepotong daging masuk ke dalam mulut dan dikunyah, rasanya memang aneh. Tekstur dagingnya kasar mirip daging kerbau yang biasanya ada di makanan empal[2].

Setelah tiga potong aku makan, namun rasanya tidak cocok di lidahku. Aku putuskan tidak akan memakannya. Berbeda dengan Risna yang melahap semuanya tanpa sisa. Agar tidak menyinggung perasaan orang yang memberi, potongan daging yang ada di piring aku sembunyikan di tangan. Setelah selesai makan, aku buang jauh-jauh tanpa sepengetahuan siapapun. Kami baru tau itu daging babi ketika wawancara terhadap responden yang kebetulan juga masih kerabat dekat dengan kepala desa. Ternyata hidangan daging yang kami makan adalah babi hutan brooo… *pusiinngg dan mual deh nih perut*

Kalaupun tidak diharamkan dalam agamaku, mungkin aku tetap tidak akan memakannya. Karena rasanya memang tidak cocok di lidahku. Setelah tau kalau kami muslim, akhirnya mereka menghormati kami dan tidak lagi menyuguhkan daging babi. Bahkan kepala desa itu sempat meminta maaf padaku.

Aku pun baru tau kalau masyarakat desa di sana jarang makan nasi sebagai makanan pokok. Nasi adalah makanan istimewa di sana yang hanya bisa dinikmati seminggu 2-3 kali saja. Selebihnya hanya memakan hasil kebun seperti jagung, pisang, dan ubi-ubian. Masakan masyarakat sana pun sangat hambar karena memang tak pernah menggunakan bumbu. Bumbu yang dipakai setiap memasak hanya garam dan fetsin (penyedap rasa) saja. Kalaupun ada rasa bumbu yang lain, itu biasanya berasal dari bumbu mi instan yang mereka campur ke dalam masakan atau sayur.

Kurang lebih empat hari aku tinggal di Belemana untuk menyelesaikan tugas mewawancarai dan mengumpulkan data. Hal yang paling merepotkan adalah sulitnya air. Tinggal di rumah tanpa jendela, tanpa listrik, tanpa kasur empuk, tanpa lantai keramik, aku masih bisa santai. Aku sempat bingung jika ingin buang air besar. Tak jarang aku harus turun gunung mencari sumber air untuk membersihkan diri karena air yang tersedia di WC sangat terbatas. Bahkan hampir setiap wudlu sebelum solat, aku pun harus rela naik turun gunung menuju sumber air. Bagiku, tak apalah sedikit bersusah payah. Masih bersyukur bisa bertemu dengan sumber air meski tidak banyak juga.

…(bersambung yaa..cape nih nulisnya.. udah tengah malem juga. Nanti insya allah disambung lagi..)




[1] Moko adalah sejenis alat musik seperti tamborin atau benda tradisional yang biasanya sering dipakai sebagai mas kawin orang Alor.
[2] Makanan khas Cirebon seperti gulai dengan kuah berwarna kuning dan potongan daging sapi, kambing, atau kerbau. Biasanya dari organ dalam hewan-hewan tersebut.

Jumat, 04 April 2014

ALOR: Sebuah Peta Yang Terlupa (2)


-   Petualangan di Tanah Kenari, Seribu Mutiara

Oleh: Bambang Wibiono

Ada yang salah dengan para pemimpin di negeri ini. Atau mungkin ada yang salah dengan diri kita semua sebagai sebuah bangsa. Bagamana tidak, saudara sebangsa dan setanah air kita ternyata banyak yang masih hidup nelangsa di ujung-ujung sana. Yang hidup dalam kungkungan jelaga sampai tak tau apa itu dunia luar.

Bukan maksud mendiskreditkan saudara di sebelah kita. Bukan pula memalingkan muka dari tetangga terdekat kita. Tapi, hanya beritikad dan mengajak untuk memandang nun jauh di sana. Agar kita tak terkungkung dalam mentalitas kerdil tersekat-sekat pada batas primordial.

Patut dicamkan, kita pun mungkin lupa bahwa kita adalah semua yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Bukan Jawa an sich, atau bukan pula dari Sunda, Betawi, sampai Jawa. Indonesia ini luas, kawan.





Aku pun tercenung ketika ku injakkan kaki ini. Ku ayunkan langkah ini, setapak demi setapak di tanah yang baru ku tahu, itu Alor. Jujur, aku mengakui saat itu, bahwa di sana lah medan bertempur untuk menggugurkan sebuah kewajiban tugas. Bahkan, sempat terbesit enggan jika harus hidup di sana walau sebulan. Lagi-lagi, saat itu ku berpikir hanya sebatas menggugurkan kewajiban tugas. Ku kuatkan langkah, ku tekadkan hati, agar tak goyah terhantam gelombang frustasi.

Hari demi hari berlalu. Mulai ku akui Alor itu menyenangkan, unik, dan memiliki pesona tersendiri. Baru ku sadar, di sanalah, di kedalaman lautan teduh, tersimpan mutiara kedamaian. Jauh dari hiruk pikuk pragmatisme mahluk metropolis. Dekat dengan batas-batas nurani.

Di sana ku belajar tentang keluguan. Di sana pula ku belajar tentang arti ketulusan. Dan di sana aku belajar tentang Indonesia, dari sisi yang lain.

Kadang ku menitikkan air mata di tengah derai tawa wajah-wajah lugu nan tulus mereka. Sering ku tinggalkan teman-teman yang sedang bercengkrama dengan mereka. Bukan untuk menghindar karena risih, apalagi benci. Hanya untuk ku sembunyikan air mata ini mengalir. Agar mereka tetap tertawa lepas tanpa terganggu air mata ini.

Bukan bermaksud melankolis, tapi hidup di sana memang menghadirkan alunan melankoli. Bernada bebas, beraliran lepas. Nada demi nada begitu saja masuk ke dalam sanubari membentuk ritme.

Petualangan Dimulai

Kalabahi adalah tempat pertama yang ku singgahi di tanah Alor pada Tanggal 4 Oktober 2013. Tadinya, ku pikir itu adalah sebuah kelurahan atau desa kecil di Alor. Namun ternyata, baru ku tau bahwa itu adalah kota impian, dream city. Sebuah Ibu Kota Kabupaten Alor. Ku simpulkan demikian setelah beberapa minggu hidup di pedalaman Alor, yang akan ku ceritakan kemudian.

Sepintas tak ada yang menarik di ibu kota ini. Bahkan jika dibanding kota kecil di Pulau Jawa seperti Purbalingga, Purwokerto, Ciamis, Wonosobo, Solo apalagi dengan Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Tak terbanding. Masih kalah jauh.

-   Maritaing

Maritaing, ibukota kecamatan yang pertama disinggahi sebagai wilcah I

6 Oktober 2013, kami ber-11 bertolak ke Kecamatan Alor Timur, dengan Ibu Kota Kecamatan, Maritaing. Kurang lebih hampir 4 jam perjalanan kami tempuh dengan kendaraan pick up yang disewa. Kendaraan angkutan itu layaknya pick up biasa yang didesain untuk angkutan umum dengan diberi kap penutup di atasnya. Itulah salah satu angkutan di sana selain juga mobil truk. 

Tak terbayangkan jalan yang akan dilalui serusak dan berdebu itu. Alhasil, tidak sedikit dari kami yang mabuk perjalanan. Obat anti mabuk pun kandas tak berbekas. Hanya rasa pusing dan mual yang terus membayangi. Selama perjalanan itu, mobil kami harus berhenti dua kali karena kondisi kami yang pusing dan juga mesin mobil yang terlalu panas.

Untunglah pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan luar biasa indahnya. Menyusuri garis pantai di Alor luar biasa cantiknya. Belum pernah ku temui pemandangan ini seumur hidupku. 


Pemandangan sepanjang jalur pantai


Rasa pusing dan mual terbayar dengan memandang cakrawala lautan yang biru, jernih, dan memantulkan kesejukan. Ingin ku berlama-lama berdiam diri memandang di sana. Ku tekadkan, nanti akan ku sempatkan memandang keindahan seperti ini di lain waktu.

Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.

Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas ku saksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini, dan aku harus siap!".



kondisi jalanan utama (jalan kabupaten) lintas kecamatan


Perjalanan sungguh berdebu, bahkan berpasir. Sampai-sampai muka dan badan kami berubah warna menjadi putih penuh pasir dan debu. Pada sore hari pukul 16.00 waktu setempat (WITA), sampailah kami di Maritaing. Sebuah rumah dinas jabatan sabagai basecamp.

Jangan bayangkan rumah dinas pejabat seperti di Jawa. Sungguh berbeda. Di sana, rumah dinas Camat pun sederhana. Tidak ada kesan mewah. Apalagi hanya rumah dinas jabatan biasa. Dengan kamar kost pun masih lebih baik.

Hanya ada 2 kamar tanpa kaca jendela dan pintu dari papan triplex. Tanpa kasur, apalagi lemari. Yang terpenting bisa dapat tempat berteduh dari panas dan hujan.

Belum sempat ku membersihkan diri, sekelompok ini dibagi menjadi beberapa tim yang akan ditugaskan ke desa-desa. Dua tim terpaksa memisahkan diri untuk kembali ikut mobil angkutan tadi menuju desa sasaran, yaitu Belemana dan Maukuru.

Langit telah gelap ketika Aku dan Risna, rekan satu tim, berhenti pertama untuk menuju Desa Belemana. Dua orang lainnya, Beni dan Gusti meneruskan perjalanan menuju Maukuru.

Sedikit gentar menghadapi pekatnya malam. Bukan takut akan gelap dan hal-hal yang menyertainya. Tapi soal sunyinya keadaan tanpa ada orang yang bisa dimintai petunjuk. Tak ada listrik dan lampu semakin membuat pekat malam pertama kami di desa antah barantah. Tak terpikir sama sekali.

Dengan membawa tas berisi barang-barang logistik yang membuat langkah kami sedikit terseok. Sulitnya mata ini menembus kegelapan, semakin membuat runyam keadaan. Ku putuskan untuk putar arah dan mencari rumah penduduk setempat yang terdekat. Sebab, saat perjalanan tadi, masih ku lihat rumah penduduk dengan nyala lilin yang remang-remang.



Membawa sebersit harapan akan bertemunya dengan penduduk, kami ayunkan langkah yang terasa berat. Ternyata semua telah menjadi gelap. Tak ada orang. Pupuslah sudah.. . .

Rabu, 05 Februari 2014

Alor: Sebuah Peta yang Terlupa




Oleh: Bambang Wibiono


Otonomi daerah diupayakan dengan maksud mendistribusikan kewenangan pusat kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, pelayanan publik, dan pengaturan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Namun dengan otonomi daerah tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan kondisi di daerah. Kenyataannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan di daerah secara merata, khususnya di daerah-daerah terluar dari Indonesia. Wilayah Indonesia Timur biasanya merupakan daerah yang paling tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Distribusi ekonomi belum merata hingga pelosok-pelosok negeri.

Tulisan ini ingin membahas dan menampilkan potret kehidupan sosial ekonomi di salah satu daerah terluar dari Indonesia, yaitu Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini bukanlah hasil penelitian yang komprehensif, namun lebih kepada penjelasan deskriptif tentang sebagian besar kehidupan masyarakat di Alor yang penulis lihat dan alami ketika melakukan kunjungan dan survey di beberapa kecamatan di Kabupaten Alor. Boleh dibilang ini lebih sekedar catatan hasil perjalanan. Dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, data dan fakta yang terlihat akan dibahas dengan perspektif penulis, namun bukan bermaksud mengeneralisasikan.

Alor, sebuah mutiara yang terpendam di laut

Sungguh menyedihkan memang, menjadi bagian Indonesia namun serasa dikucilkan. Pembangunan dan perubahan sosial ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah metropolitan saja, khususnya Jawa-sentris. Mari berhitung tentang berapa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang mengalami perkembangan secara ekonomi? Ada berapa provinsi yang pembangunan infrastrukturnya memadai dengan kemudahan akses?

Banyak orang yang enggan jika harus mendapatkan penempatan kerja di wilayah luar Indonesia seperti NTT, khususnya bagi orang Jawa. Yang ada di benak kita ketika berbicara Nusa Tenggara Timur adalah wilayah yang jauh dari peradaban, udik orang-orangnya, terbelakang, miskin, sulit akses komunikasi dan transportasi, dan seabrek permasalahan infrastruktur lainnya. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut. Memang itulah kenyataan di sebagian besar wilayah NTT. Begitu juga dengan Kabupaten Alor.

Kabupaten Alor terletak di sebuah pulau yang terpisah dari gugusan pulau Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu feri atau pesawat perintis yang jadwal pemberangkatannya pun terbatas. Setelah menginjakkan kaki di tanah Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas, bahkan jika pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Namun di tengah kondisi yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir seluruh lautan di Alor. Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata melebihi Bali. Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. 

Sulitnya akses

Kendala utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi, maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan kendaraan. Bahkan banyak diantaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui dengan sepeda motor sekalipun saat musim hujan. Ini diperparah dengan sulitnya akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada biasanya menggunakan genset milik desa sebagai sumber listrik, namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas, rata-rata sekitar jam 6 sore sampai jam 11 malam saja. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.

Permasalahan ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di Alor sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa, atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya.

Kendala berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi. Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo meter sudah tidak dikeluhkannya lagi. 

Kendala lainnya adalah sulitnya akses komunikasi lewat telepon. Satu-satunya yang memungkinkan adalah komunikasi menggunakan jaringan seluler atau lewat HP. Itu pun tidak semua desa atau kecamatan ada jaringan. Jaringan yang bisa digunakan di Alor hanya menggunakan Telkomsel, namun terbatasnya pemancar dan tower penguat sinyal, jadi tidak bisa menjangkau seluruh desa. Karena sulitnya sinyal, tak heran ada istilah-istilah aneh yang dikenal warga di plosok-plosok desa terkait dengan sinyal ini. Ada yang namanya pohon sinyal, tiang sinyal, rumah sinyal, dsb. Ini dikarenakan sinyal hanya bisa di dapat di tempat-tempat tersebut saja. Jadi, jika warga ingin berkomunikasi mengirim SMS atau telepon harus ke tempat-tempat itu. Kadang pada malam hari banyak orang berkumpul di bawah pohon hanya untuk menelpon atau SMS-an. Anehnya lagi, sinyal hanya bisa diterima untuk mengirim atau menerima SMS hanya pada posisi tertentu saja. Jika bergeser atau berubah posisi saja, sinyal akan lenyap. Karena sulitnya jaringan seluler ini, tak heran banyak masyarakat yang memiliki handphone namun bukan untuk keperluan komunikasi, tetapi hanya untuk hiburan dan mainan.

Budaya dan Karakter Orang Alor

Dari sisi budaya dan karakternya, orang Alor memiliki sifat dan karakter yang keras. Itu terlihat dari cara bicaranya, suaranya, serta gerak-gerak tubuh ketika berkomunikasi. Jadi jika kita berasal dari Jawa yang cenderung lebih halus dalam bertutur kata akan memandang orang alor sangat keras dan kasar. Bahkan ketika mereka berbicara terkesan sedang bertengkar atau berdebat seru, padahal mungkin sedang biasa saja. Orang sana juga memiliki sifat yang terbuka dan terus terang apa adanya dan tidak segan dan malu untuk mengakui kebodohannya, ketidak-tahuannya, dan ketidaksukaannya kepada orang lain.

Satu hal positif yang dimiliki masyarakat Alor adalah jiwa menolongnya sangat tinggi, apalagi terhadap orang asing yang tidak dikenal. Jika mereka ingin menolong, akan diusahakan sampai tuntas. Pernah suatu ketika berkunjung ke suatu desa dan hendak mencari salah seorang warga yang entah di mana rumahnya, tiba-tiba ada warga yang telah mengamati sejak saya datang ke desa itu. Dia menghampiri dan menawarkan diri untuk singgah di rumahnya yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang belum layak untuk dibilang rumah. Dia menyuguhkan minum dan semua makanan yang dia punya di rumah itu sebelum bertanya tentang maksud kedatangan saya di desa itu. Mungkin karena melihat wajah dan lelah serta tas bawaan yang berat di punggung saya yang membuat dia membiarkan saya istirahat sejenak. Setelah itu ia menanyakan tujuan kedatangan saya ke desa itu. Setelah saya jelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak berbincang-bincang tentang apa saja sampai saya mulai gelisah dengan tugas saya di desa tersebut. Melihat kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu khawatir jika orang-orang yang saya cari sudah dihubungi semua. Bahka warga yang sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantar saya ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. Hal seperti ini selalu saya alami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk membantu apa saja yang saya perlukan.

Situasi yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh, ternyata kini hampir tidak terlihat lagi. Mungkin telah tergerus oleh budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan? Bahkan tak jarang mereka malah menyesatkan kita.





Masyarakat yang tradisional, udik, katrok, menurut saya lebih “modern” dari segi nilai sosial kemanusiaannya, dan mentalnya. Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dokotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.


(bersambung)...