SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 05 Agustus 2012

Gambaran Tentang Batik Kebumen


Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P

Batik tulis merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah mendunia. Berbagai daerah menghasilkan batik dengan ragam motif dan teknik yang bermacam-macam, Kabupaten Kebumen merupakan salah satunya.
Sebuah kebanggaan bagi orang-orang yang suka dan cinta dengan karya anak bangsa. Batik Kebumen sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, namun cerita sejarahnya masih simpang siur. Batik Kebumen dikatakan beberapa media di bawa dari keraton Yogya. Akan tetapi sebenarnya tidak ada bukti yang kuat tentang itu. Dari banyaknya pengrajin Batik kebumen di pusat Batik Kebumen dari Desa Jemur, Seliling dan Gemeksekti dusun Tanuraksan, semua Pengrajin Batik Tulis Kebumen tidak ada yang tahu secara pasti awal Batik kebumen dibuat. Mereka semuanya kompak menjawab bahwa mereka hanya membuat saja secara turun temurun dan tidak mengetahui secara pasti.
Sejarah batik di kebumen ada berbagai versi. Menurut cerita dan beberapa sumber, cikal bakal batik tulis Kebumen dimulai pada abad ke-19. Pada masa itu batik menjadi barang eksklusif bagi kalangan keraton. Keadaan itu berubah ketika Pangeran Bumidirdjo membuka wilayah Kebumen dan memperkenalkan batik kepada masyarakat.
Ada juga yang menjelaskan bahwa pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah Penghulu Nusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Mengenai corak batik kebumen, awalnya berkiblat pada batik Jogja, namun kemudian hari batik kebumen menemukan coraknya dengan filosofi dan kultur setempat.
Dahulu, batik Kebumen memiliki sejarah gemilang. Batik tulis yang hanya untuk jarik atau sinjang itu hingga tahun 1970-an pernah merajai pasaran batik di daerah Kedu, Banyumas hingga Lampung. Beberapa pengusaha batik pernah menjadi juragan pada zamannya, antara lain di Desa Wonoyoso, Desa Watubarut, dan Desa Tanuraksan, semuanya di Kecamatan Kebumen.
Pada tahun 1960 hingga tahun 1980-an, batik tulis Kebumen mencapai masa keemasannya. Saat itu batik tulis menjadi komoditas unggulan. Hampir seluruh wilayah di kabupaten ini memproduksi batik tulis. Berdasarkan riwayat, batik asli Kebumen sebenarnya hanya berpusat di beberapa desa, yaitu Desa Watubarut (Kecamatan Kebumen), Desa Seliling (Kecamatan Alian), Desa Jemur (Kecamatan Pejagoan), dan di Kampung Tanuraksan (Desa Gemesekti). Di Desa Watubarut yang menjadi cikal bakal usaha batik tulis, aktivitas batik membatik kini benar-benar punah, lantaran tak ada generasi penerus. Saat ini tinggal beberapa daerah saja yang masih bertahan dan terus menghasilkan batik tulis, diantaranya adalah Desa Jemur, Seliling, dan Gemeksekti.
Menurut informasi dari Dinas Perindustrian Kabupaten Kebumen, kira-kira terdapat sekitar 300 motif klasik khas Kebumen. Sebagian besar bercorak flora, fauna, dan geometri. Dari segi warna, batik tulis Kebumen lebih beragam daripada batik dari daerah lainnya. Selembar kain batik bisa mengandung empat kombinasi warna seperti cokelat, ungu, biru, hijau, kuning, atau hitam. Ada pula batik tulis dengan dominasi warna merah (bang-bangan) atau biru (biron).
Menurut penuturan Ibu Salbiyah, motif batik Kebumen pada dasarnya ada tiga. Yaitu merakan (burung merak), pelataran seperti daun-daunan yang lebar, dan jagatan atau sekar jagat. Masih ada motif kombinasi yang bercorak lengkap, yakni kawung, ada kawung uwer dan ada kawung jenggot.
Untuk batik kawung jenggot ini, sepintas terkesan porno. Menurut Muhtadin, yang dikenal sebagai pengusaha batik dan juga sebagai ketua kelompok perajin batik “MEKAR SARI”, warnanya agak berbeda dari batik lainnya, karena didominasi warna hitam, dan ada perpaduan antara gambar alam dan manusia, termasuk jenggot atau jambang lelaki. Kesannya seperti porno, kawung jenggotan, namun motif batiknya justru menarik dan banyak digemari oleh para ibu zaman dulu. Untuk jenis motif ini sangat langka, karena menurut penuturan Pak Muhtadin di desanya hanya ada satu orang yang bisa membatik jenis Kawung Jenggot.
Motif merakan mudah dikenali dari ornamen bergambar burung merak, memanjang dari kepala hingga ekor. Di ujung sayap yang panjang, ada warna melingkar kecil-kecil.
Corak pelataran juga begitu unik, yakni perpaduan gambar dedauan, dan bunga-bungaan yang ada di halaman, atau pelataran rumah. Adapun motif sekar jagat tergolong paling istimewa dan banyak disukai. Sebab motif ini menggambarkan kombinasi seluruh isi alam, atau jagat raya ini. Ada pepohonan, pemandangan alam, ada rumah, bahkan pagar rumah kadang muncul pada motif ini.
Dari ketiga motif batik khas Kebumen, yang dominan bertahan adalah corak sekar jagat. Motif batik ini seakan menjadi trade mark batik tulis Kebumen. Para kolektor batik juga memburu jenis itu karena terkesan orisinil, dan kuat dalam motif dan warna.

1. Desa Gemeksekti, Dusun Tanuraksan
Dusun Tanuraksan, Desa Gemeksekti, Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen merupakan wilayah kampung batik. Memasuki desa itu terdapat gapura besar bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Batik”. Sebutan itu sangat kontras dengan kondisi yang terjadi di desa. Sepanjang jalan desa tidak terlihat tanda-tanda bahwa desa itu adalah kampung batik. Tidak ada tanda-tanda aktivitas masyarakat yang membatik atau menjemur kain batik. Satu-satunya tanda adalah toko batik di sekitar pintu masuk desa serta rumah yang dipasang papan “Paguyuban Pengrajin Batik”.
Ketika hendak bertanya-tanya mengenai batik di desa itu, saya mencoba mendatangi rumah ketua paguyuban pembatik. Dari tuan rumah, saya disarankan untuk datang ke rumah kepala desa yang juga pemilik toko batik di Desa Tanuraksan. Dari sedikit penjelasan tuan rumah, menjelaskan bahwa kondisi masyarakat sekitar sudah mulai enggan untuk membatik. Banyak masyarakat yang lebih memilih bekerja menjadi buruh toko, petani, atau bekerja di luar kota.
Penelusuran informasi dilanjutkan ke rumah kepala desa yang juga pemilik Toko Batik “SEKAR JAGAD”. Ibu Hikmah adalah pemilik satu-satunya toko batik di Desa ini. Bahkan Ibu Hikmah merupakan satu-satunya orang di Kebumen yang memiliki showroom batik sekaligus memproduksi. Menurutnya, dahulu, bahkan sejak jaman penjajahan, di Tanuraksan sangat terkenal dengan pengrajin batiknya sehingga dijadikan kampung batik. Tetapi dalam perkembangannya sekarang, masyarakat sudah mulai meninggalkan aktivitas membatik. Menurut Ibu Hikmah bahwa memang di Desa Gemeksekti tidak ada pengusaha batik selain toko miliknya, yang lain hanyalah pembatik rumahan yang biasanya dikerjakan untuk mengisi waktu luang atau jika ada yang memesan batik. Produksi batik toko milik Ibu Hikmah juga sebagian besar dikerjakan di rumah masing-masing yang kemudian nanti disetor. Maka dari itulah tidak ada tempat khusus bagi pegawainya membatik. Hanya terlihat orang membatik sendirian di halaman rumah Ibu Hikmah, tepatnya tepat di belakang toko Batiknya.
·         Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi para pengrajin batik di Dusun Tanuraksan ini adalah mulai menurunnya minat masyarakat untuk membatik. Hal ini dikarenakan kurangnya permodalan serta masyarakat menganggap tidak prospeknya usaha membatik. Membatik memerlukan ketekunan dan menyita banyak waktu, namun keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dibuang. Mungkin karena alasan itulah mereka mulai meninggalkan kehidupan membatik.
Sebenarnya pembatik di desa itu sangat banyak, jumlahnya ratusan. Bahkan boleh dibilang, tiap rumah melakukan membatik. Karena menurunnya minat membatik itulah, kini Desa Tanuraksan tidak seperti julukannya, yaitu kampung batik. Para pembatik di desa itu biasanya menyetor hasil batiknya ke Ibu Hikmah untuk dijual, meskipun ada yang menjualnya sendiri ketika ada yang memesan.
Usaha Ibu Hikmah lumayan besar, namun untuk masalah wilayah pemasaran penjualan masih terbatas di wilayah Kebumen. Meskipun pernah mengikuti berbagai ajang pameran, mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional, bahkan hingga tingkat internasional seperti yang pernah diikutinya di Malaysia, Ibu Hikmah belum memasarkan hasil produksinya secara besar-besaran ke luar kota. Kalaupun hasil produksinya di jual ke luar kota, itu pun karena permintaan atau pesanan dari luar kota. Selama ini upaya promosi pun belum dilakukan, tetapi hanya sebatas mengikuti beberapa pameran batik.

2. Desa Jemur
Sedikit berbeda dengan kondisi di Desa Jemur, di sana tidak ada yang memiliki badan usaha atau toko seperti Ibu Hikmah. Di Desa Jemur terdapat dua kelompok pengrajin batik. Sebenarnya di Desa Jemur, seperti di Desa Tanuraksan, banyak terdapat pembatik. Namun menurut Ibu Siti Nurjanah, setidaknya ada sekitar 30an pengrajin batik di desa itu. Karena jumlah itu, akhirnya dibagi menjadi 2 kelompok pembatik, yaitu: Kelompok Kenanga dan Mawar. Di Desa Jemur kondisinya lebih terlihat bahwa itu kawasan batik, karena ada beberapa rumah warga yang sedang mengerjakan batik.
Bahkan menurut penuturan beberapa orang, Desa Jemur lebih terkenal batik tulisnya. Tidak heran, terkadang Toko Batik Sekar Jagat milik Ibu Hikmah meminta pasokan batik tulis dari Desa Jemur ketika ada pesanan. Ibu Hikmah pun membenarkan hal itu. Menurutnya Desa Jemur kualitas batik tulisnya cukup rapi dan halus.
 ·         Permasalahan
Di Desa Jemur, Kecamatan Pejagoan ini mengkhususkan dalam pengrajin batik tulis. Ketika mendatangi kelompok pengrajin batik tulis Kenanga, di sana terdapat beberapa orang sedang membatik. Dari penuturan Ibu Siti dan kawan-kawannya, diketahui bahwa masyarakat di desa itu pun sama kondisinya dengan di Tanuraksan. Masyarakat mulai enggan meneruskan tradisi membatik dikarenakan dianggap tidak menjanjikan, selain membutuhkan modal yang besar, tenaga, ketekunan, serta waktu yang tidak sedikit. Setidaknya diperlukan waktu 1-2 minggu untuk dapat menghasilkan 1 potong kain batik. Jika motif yang dibuat cukup rumit dan memerlukan pewarnaan yang banyak seperti motif Sekar Jagat, maka untuk menghasilkan 1 potong kain batik bisa menghabiskan waktu 1 bulan. Pengorbanan tenaga dan waktu itu tidak sebanding dengan harga kain batik yang hanya berkisar 120-300 ribu saja. Untuk motif yang rumit dan memerlukan waktu pengerjaan hingga 1 bulan saja hanya dihargai 300-350 ribu.
Selama ini kendala yang terjadi selain persoalan modal adalah bahwa membatik bukan menjadi pekerjaan pokok, tetapi hanya pekerjaan sambilan atau hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Pemasaran hasil produksi pun terbatas hanya di lingkungan sekitar dan tergantung pada adanya pesanan atau tidak. Inilah yang membuat batik tidak berkembang di Kebumen. Selain itu, pihak pemerintah pun kurang memperhatikan terhadap potensi batik di daerahnya. Menurut Ibu Siti, dahulu ketika masa pemerintahan Rustriningsih, batik cukup laku karena para pegawai dianjurkan mengenakan batik. Namun sekarang batik telah digantikan lurik, sehingga batik mulai tidak laku.
Kelompok pembatik Desa Jemur sampai saat ini belum pernah mempromosikan kerajinan batiknya lewat media apapun, bahkan mengikuti pameran pun belum pernah. Tetapi pernah ada seorang warga yang mencoba promosi lewat internet. Hasilnya, pernah ada orang dari Jakarta datang mencari alamat di desa itu untuk memesan batik. Dari peristiwa itu, dapat disimpulkan bahwa promosi lewat media sangat membantu dalam memasarkan produk batik. Hanya saja peluang itu belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
 3. Desa Seliling
Satu daerah lagi di Kebumen yang merupakan sentra pengrajin batik yang masih aktif, yaitu Desa Seliling. Sebenarnya ada beberapa desa penghasil batik di Kebumen, yaitu Desa Jemur, Seliling, Gemeksekti, Surotrunan, Bojongsari, Tanjungsari, dan Kambangsari. Namun saat ini yang masih aktif memproduksi hanya tinggal tiga desa, yaitu Gemeksekti, Jemur, dan Seliling.
Di Desa Seliling terdapat dua kelompok pembatik yang berada di Dusun Pegandulan dan Dusun Beji. Di Dusun Pegandulan teradap kelompok pengrajin batik yang bernama “Mekar Sari” yang diketuai oleh Pak Muhtadin, sedangkan untuk di Dusun Beji dipimpin oleh Pak Teguh. Memasuki Desa Seliling memang tidak nampak aktivitas membatik. Begitupun ketika memasuki dusun Pegandulan. Hanya ada papan penunjuk arah yang bertuliskan Kelompok Pengrajin Batik “Mekar Sari” yang berada di pinggir jalan utama desa.
Untuk sampai ke tempat pengrajin dari jalan utama harus melewati jalan sempit yang tidak mulus. Skitar beberapa ratus meter dari jalan utama desa terdapat rumah yang di depannya dipasang sepanduk lusuh yang menandakan bahwa di situ tempat pengrajin batik Desa Seliling. Di sekitar rumah itu hampir tidak ada tanda-tanda bahwa dusun itu terdapat kelompok pembatik. Menurut Pak Muhtadin, di dusun Pegandulan hanya ada sekitar 10 orang pengrajin batik, itu pun kebanyakan sudah sepuh.
 ·         Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi oleh para pengrajin batik di Desa Seliling ini pada umumnya sama seperti yang dialamai desa lainnya. Dari segi sumberdaya manusia, para pembatik umumnya sudah sepuh dan tidak ada regenerasi. Para keturunannya saat ini mulai enggan untuk meneruskan tradisi membatik, sehingga dikhawatirkan ketika para sesepuh yang biasa membatik sudah tidak ada, maka begitu juga dengan batiknya akan tenggelam.
Persoalan permodalan juga selalu menjadi kendala bagi usaha batik. Mahalnya harga-harga bahan baku untuk membatik cukup menjadi kesulitan para pengrajin yang melakukan usaha membatiknya dengan modal sendiri. Ditambah lagi saat ini harga  minyak tanah sangat mahal. Minyak tanah sangat diperlukan untuk pemanasan malam dalam hal pembatikan menggunakan canthing. Jika menggunakan minyak tanah, maka biaya produksi pun akan semakin mahal.
Permasalahan lainnya adalah soal pemasaran. Selama ini para pengrajin hanya memproduksi untuk kebutuhan sendiri dan juga ketika ada pesanan kain batik. Karena hal inilah batik dari Desa Seliling tidak dikenal oleh orang dari luar daerah. Kurangnya pengetahuan dalam hal pemasaran modern, membuat usaha batik di Desa Seliling ini melakukan penjualan “ala kadarnya” saja, karena memang produksinya pun terbatas.

Tidak ada komentar: