Oleh: Bambang Wibiono. S.I.P
Untuk
mengetahui konstruksi realitas kekuasaan (politik) dari Keraton Kasepuhan
terhadap kondisi sosial politik di sekitarnya, maka ini tidak bisa terlepas
dari faktor historis yang membangun konstruksi itu hingga saat ini. Kedudukan
dan posisi keraton yang ada saat ini terbangun dari perjalanan politik dan
pemerintahan keraton pada saat pendiriannya hingga mengalami dinamika sampai
pasca kemerdekaan dan menyatakan diri bergabung ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan topik ini akan selalu berkaitan
dengan faktor kesejarahan Keraton Kasepuhan serta kebudayaan yang mengikutinya.
Berbicara
tentang konsep Islam dan tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua
bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” dengan “tradisi kecil”.
Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin[1] yang
menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang
menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan
dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal
telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak
budaya yang ragam (unity and diversity).
Pertautan
antara agama dan budaya ini juga terjadi dalam perkembangan agama dan budaya di
Cirebon sebagai kota pelabuhan. Secara kultural, sejak dahulu, Cirebon merupakan wilayah
yang heterogen. Cirebon merupakan wilayah percampuran dari berbagai kebudayaan
baik Jawa, Sunda, Cina, Arab, maupun Eropa. Karena kondisi masyarakat yang
heterogen inilah, Cirebon diartikan sebagai campuran, yang berasal dari
kata sarumban.
Cirebon termasuk
daerah multietnis. Di sini tinggal masyarakat dengan budaya Jawa, Sunda, hingga
Cina dan India. Kondisi ini tak lepas dari peran Pelabuhan Cirebon yang dulu
dikenal sebagai jalur sutra perdagangan dan telah membuat Cirebon berjaya pada
masa itu. Berbagai bangsa datang ke Cirebon, di antaranya Cina, Gujarat,
Persia, dan India. Pada perkembangan itu, Cirebon menjadi pusat berbagai
bidang, termasuk seni budaya.
Selain
percampuran dari berbagai kebudayaan itu, Cirebon juga merupakan tempat
percampuran berbagai kepercayaan. Sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon,
wilayah Jawa Barat dan Cirebon khususnya masih sangat kental dengan agama
Hindu-Budha serta kepercayaan animisme dinamisme warisan leluhur. Padjadjaran
sebagai kerajaan terbesar di Pasundan, merupakan kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha.
Sejak
awal, budaya Jawa
yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka
sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat serba
memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi
keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama
‘Syiwa-Budha’.
Ciri
lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap
raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Pada kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk
legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising
dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai
keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan
atau kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan
kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu. Oleh karena itu wajar
jika seorang Sultan atau raja mendapat penghormatan yang besar dari masyarakat,
terlebih lagi seorang raja mendapatkan legitimasi agama.
Datangnya
Sunan Gunung Jati dan Kesultanan Cirebon yang berlandaskan Islam membawa peran syiar
dan dakwah Islam di wilayah Jawa Barat. Ketika Islam datang di tanah Jawa,
dakwah yang dijalankan tidak bersifat dogmatis yang mengharuskan pengikutnya
menjalankan syariat tanpa ada kecuali.
Islam yang disampaikan para wali lebih menggunakan pendekatan kultural,
sehingga pada waktu itu Islam masih bercampur dengan budaya dan tradisi yang
masih berbau Hindu-Budha serta animisme-dinamisme. Penerapan ajaran Islam
seperti inilah yang sampai sekarang dilaksanakan di lingkungan keraton.
Budaya
Jawa maupun Sunda yang terbuka memudahkan pengaruh Islam masuk ke dalam
nilai-nilai tradisi dan budaya. Masuknya Islam yang dibawa para wali
menggunakan metode kultural yang menyesuaikan dengan tradisi dan budaya
masyarakat. Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial
budaya setempat, berkembang dengan pendekatan yang kompromis, mengingat latar
belakang sosiologis masyarakat yang lengket dengan tradisi nenek moyang.
Keberhasilan dalam dakwah Islam ini mewujud dalam berbagai kemasan ritual
Islam.
Dahulu Sunan Gunung Jati
diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah, bahkan tasawuf.
Sunan Gunung Jati dipandang sebagai pengikut tarekat kubrawiyah dari Syekh
Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah. Selain masalah ilmu agama, Sunan Gunung Jati juga memiliki ilmu mistik,
di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga
dan rumah tangga, ekonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan
kebudayaan.
Berkenaan
dengan masalah kesehatan, Sunan Gunung Jati mempunyai peran dakwah yang khas
dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus diatasi dengan obat-obatan maddiyah
(lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran. Kesehatan dan pengobatan
batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat,
jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh Sunan Gunung Jati diganti dengan doa-doa
sesuai ajaran Islam. Kecendrungan ini diyakini mempunyai metode dakwah melalui
media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya
memberikan informasi tentang seringnya Sunan Gunung Jati bertindak sebagai
tabib (ahli pengobatan).
Diceritakan dalam kisah-kisah tradisi, bahwa meskipun
sebagai panatagama, dakwah Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat
Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan ahistoris. Dalam
naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa dakwah seperti ini terkadang menggunakan
dukungan kesaktian, azimat-azimat yang
dimiliki, dan karamat wali.[2]
Simbol-simbol
sosial dan juga budaya yang tampak pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati
dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih terlihat pada masa kini.
Siddique[3]
memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis
dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (cosmic symbol) diwujudkan dalam bentuk
payung sutra berwarna kuning dengan kepala naga. Payung ini melambangkan
sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara
simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at,
tarekat, hakekat, dan ma’rifat.
Tahap
pertama adalah syari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah
perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat
yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang
disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng,
dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa
(Cirebon). Sampai sekarang keempat simbol itu masih ada di Cirebon. Misalnya
saja simbol barong dalam wujud kereta masih disimpan di keraton. Pagelaran
wayang dan seni tari topeng juga menjadi kesenian kalangan keraton. Bahkan
keraton menjadi tempat belajar kesenian-kesenian Cirebon seperti tari topeng.
Simbol-simbol
itu seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan)
yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keislaman yang berasal dari tradisi Wali Songo termasuk Sunan Gunung Jati.
Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari
shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya tidak lain untuk
menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa
penting dalam Islam.
Shadaqah ini pada masa sekarang dianggap telah jauh dari masa
para Wali dan telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat
luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis
yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali. Karena praktik-praktik
yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya ini, ada kalangan
luar keraton, termasuk beberapa kalangan pesantren yang menentangnya.[4] Namun dalam kenyataannya, praktik keagamaan seperti
ini masih mendapatkan simpati dari kalangan masyarakat luas.
Sedekahan ini seperti halnya juga sekaten yang
dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. yang
biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat,[5] sekaten berasal dari kata sekati atau
sukahati, sebuah
nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri
dari Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak-II). Setelah suaminya wafat, itu
menjadi benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula yang memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan
sebagai syahadatain (syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon
ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal
mengucapkan dua kalimat syahadat. Pendapat
ini seperti yang dikatakan oleh informan:
Kanjeng Sunan kiprahnya dalam syiar Islam di Jawa
Barat atau Jawa bagian kulon itu di antaranya tidak dengan kekerasan dan
tidak dengan paksaan, tetapi dakwah-dakwah yang melalui kesenian atau dakwah
lainnya. Seperti ada peninggalan di keraton ini sebuah gamelan sekaten,
yang konon dulu untuk dakwah syiar
Islam melalui suatu pertunjukan. Umat yang nonmuslim ingin melihat pertunjukan
itu dikenakan mengucap syahadat supaya masuk Islam. Itulah trik-trik beliau
dalam mengembangkan agamanya. Mengapa disebutnya gamelan sekaten karena
dari kata syahadatain. Gamelan yang untuk mengumpulkan orang yang
kemudian orang-orangnya diislamkan.[6]
Selametan atau sedekahan merupakan bentuk dari ritual
atau upacara tradisi keagamaan. Salah satu cara bagaimana ajaran agama atau
simbol sakral dapat mencapai kehidupan sehari-hari yang nyata adalah dengan
melalui upacara. Dalam upacara, simbol berperan sebagai alat penghubung antara
sesama manusia dengan benda, dan juga sebagai penghubung antara dunia yang
nyata dengan yang gaib.[7]
Simbol-simbol yang dipakai dalam upacara di samping sebagai alat komunikasi,
juga menyuarakan pesan agama dan kebudayaan sesuai dengan tujuan upacara dan
sesuai dengan keinginan yang ada pada masyarakat. Menurut Geertz,[8]
dalam kenyataannya bahwa simbol-simbol yang menyusun upacara tersebut memiliki
makna religius maupun politis.
Bagi masyarakat Jawa, keraton bukan hanya suatu
pusat politik dan budaya, tetapi keraton juga merupakan pusat keramat kerajaan.
Keraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber
kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman,
keadilan, dan kesuburan. Oleh karena itu, pengaruh keraton bukan hanya menyangkut
struktur sosial masyarakatnya, tetapi juga bersifat kewilayahan. Wilayah
kekuasaan keraton pun akan terbagi-bagi berdasarkan kadar pengaruhnya.
Menurut Anderson,[9]
berdasarkan tradisi lama Jawa, untuk memperoleh kekuasaan, seorang penguasa
harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apa pun yang dianggap
mempunyai atau mengandung kekuasaan. Keratonnya tidak saja dipenuhi oleh
koleksi benda-benda pusaka tradisional seperti batu, keris, tombak, alat-alat
musik suci, kereta, dan sejenisnya, tetapi juga oleh berbagai macam manusia
luar biasa seperti orang bule, pelawak, orang kerdil, ahli nujum. Karena
tinggal bersama dalam keraton bersama penguasa, maka kekuasaan yang dimiliki
benda atau orang itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa.
Pada aspek agama, Kesultanan Cirebon pada
awal perkembangannya memiliki ciri khas pada bidang agama yang disimbolkan pada
ketokohan Sunan Gunung Jati. Periode ini merupakan puncak dari kesakralan
keraton. Kesakralan tersebut telah membangun citra Cirebon sebagai pusat
spiritual bagi daerah di sekitarnya.[10] Pada
masa ini, Islam mencoba masuk ke dalam struktur budaya masyarakat Jawa,
termasuk masyarakat Cirebon, dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Ini bisa
dilihat dari seni wayang sebagai sarana dakwah oleh Sunan Kalijaga dengan
memodifikasi bentuk dan lakonnya. Pagelaran wayang disimbolkan sebagai gambaran
kehidupan manusia. Lakon yang ditampilkan adalah ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada
nuansa yang religius.
Strategi dakwah para Wali dalam rangka
mengislamkan orang Jawa adalah dengan mengisi segala aspek kehidupan dengan
muatan ajaran Islam dengan tanpa ada paksaan. Akibatnya, praktik-praktik agama
Islam bercampur dengan unsur-unsur kejawen yang berbau animisme-dinamisme.
Ini termanifestasi dalam ritual-ritual yang diselenggarakan keraton. Pelurusan
ajaran Islam kepada masyarakat yang belum tuntas ini menyebabkan praktik-praktik
kejawen masih saja dilakukan. Berikut adalah gambaran aktivitas
masyarakat di keraton yang masih ada unsur kejawen yang peneliti ketahui
saat observasi di lapangan:
Menjelang sore, hari Kamis bertepatan dengan
malam Jum’at Kliwon, ketika saya sedang berbincang-bincang dengan salah seorang
informan, ada beberapa orang yang membawa tempat berupa nampan atau
baskom menuju beberapa tempat di keraton, seperti di Museum Kereta Singa
Barong dan Museum Benda Pusaka. Pada wadah yang mereka bawa, ada nasi
tumpeng dengan lauk gesek petek (ikan asin dari ikan petek) dan
beberapa lauk lainnya, cabe, bawang, dan buah-buahan berupa pisang. Selain
membawa makanan, orang-orang itu juga membawa bermacam kembang dan menyan yang
sudah di bakar hingga asapnya mengeluarkan aroma yang khas.
Salah seorang laki-laki
tua yang membawa perlengkapan itu masuk ke dalam gedung dimana Kereta Singa
Barong disimpan. Setelah saya ikuti orang itu, ternyata orang tua itu sedang
melakukan ritual di sekeliling Kereta Singa Barong. Orang itu berkeliling
mengitari kereta sambil membawa menyan. Setelah itu, mulutnya komat-kamit
di depan kereta, lalu mengalungkan bunga melati yang sudah dirangkai ke leher
kepala kereta tersebut. Orang itu kemudian meletakkan sesaji berupa
makanan tadi di bawah kereta, lalu duduk sambil mulutnya terus berkomat-kamit
entah membaca doa apa dengan serius. Di tempat berbeda, ada ibu-ibu yang tengah
meletakkan sesaji di beberapa tempat di dalam keraton. Ibu-ibu itu juga
meletakkan dupa atau menyan di beberapa sudut bangunan keraton.[11]
Menurut informan, aktivitas seperti itu biasa dilakukan
oleh masyarakat sekitar. Aktivitas ini biasanya dilakukan pada hari-hari
tertentu yang dianggap sakral seperti malam Jum’at Kliwon. Aktivitas masyarakat seperti itu tampaknya
dibiarkan oleh pihak keraton. Tradisi membakar dan memberi sesaji tidak
ada dalam ajaran Islam. Itu adalah warisan tradisi dari budaya leluhur yang
masih ada di keraton. Praktik-praktik seperti ini pun dilakukan pada saat
menjelang perayaan muludan dan panjang jimat.
Gambaran
ini menandakan bahwa ajaran Islam masih bercampur dengan budaya-budaya nenek
moyang masa lalu yang masih dipengaruhi oleh Hindu-Budha serta
animisme-dinamisme. Bahkan menurut penuturan warga sekitar keraton, pada
hari-hari menjelang muludan terdapat praktik-praktik perdukunan di
lingkungan keraton. Praktik perdukunan itu dilakukan oleh orang-orang yang
entah dari kalangan keraton sendiri atau orang lain yang memanfaatkan situasi.
Praktik-praktik seperti itu, meski mendapat kecaman dari beberapa kalangan luar
keraton, namun hal seperti itulah yang menjadi daya tarik keraton.
Berdasarkan gambaran itu, secara teoritis, saat ini
Keraton Kasepuhan masih memiliki pengaruhnya melalui simbol yang ditampilkan
disertai dengan kesakralannya. Seperti yang dijelaskan oleh Behrend,[12]
bahwa keraton dipandang sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan
(replika) alam semesta. Dengan dilegitimasi oleh budaya yang dianut dalam
masyarakat itu, khususnya budaya Jawa dan Sunda, Keraton Kasepuhan tidak hanya
dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat
kerajaan.
Lebih lanjut lagi, Ari Dwipayana[13]
mengungkapkan bahwa istana atau keraton sebagai sumber kekuasaan raja. Selama
raja atau sultan bersemayam di dalam keraton, maka ia akan memperoleh
kekuasaannya. Kekuasaan yang dimaksud di sini bukan pada aspek formal. Sebab
keraton saat ini lebih berfungsi sebagai cagar budaya sehingga keraton tidak
memiliki kewenangan atau otoritas politik di bawah kekuasaan pemerintah. Namun
di sisi lain, keraton
tetap memiliki kekuasaan dalam ranah kultural yang cukup signifikan. Kekuasaan
dan kewibawaan sultan itu terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh politik maupun
pejabat daerah hingga pusat yang bersilaturahmi datang ke keraton maupun
meminta berkah dan doa dari pihak keraton. Ini menandakan begitu kuatnya
pengaruh seorang sultan ataupun bangsawan keraton ketika “bersatu” dengan
bangunan keraton atau istana.
Selain faktor kesatuan antara istana dengan bangsawan
keraton, wibawa dan pengaruh keraton beserta orang-orang di dalamnya
dikonstruksi melalui budaya dan ditampilkan lewat simbol-simbol tradisi atau
upacara-upacara yang digelar keraton seperti yang disebutkan di atas. Inilah
salah satu alasan mengapa keraton yang ada saat ini tetap melestarikan dan
memelihara adat, tradisi, ritual, upacara, ataupun pertunjukan kesenian secara
terus-menerus. Alasannya karena dalam pandangan budaya, aspek-aspek itu dapat
memperkuat dan bahkan melegitimasi wibawa dan kedudukan keraton beserta
sultannya.
Pada aspek keagamaan, gambaran mengenai percampuran antara
ajaran Islam dan kejawen di Cirebon,
setidaknya memberikan penjelasan bahwa kekuasaan, kharisma, ataupun
pengkultusan keraton dan orang-orang di dalamnya juga dipengaruhi oleh kedua
tradisi ini. Ajaran Islam yang mengharuskan umatnya mengikuti imam atau ulama sebagai cara mendekatkan
diri pada Sang Pencipta,
dan tradisi kejawen yang
mengkultusakan dan ‘penyembahan’ terhadap raja sebagai pemimpin dan pusat
kekuasaan yang memiliki kesaktian serta dianggap sebagai wakil Tuhan atau titising dewa, cukup menjadi legitimasi posisi
Keraton dan Sultan sebagai seorang raja yang memiliki pengaruh dan penghormatan
di mata masyarakat secara kultural.
[1] Dalam Ridwan. 2008, “Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam
Jawa”, Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya, Volume 6, No. 1,
Januari-Juni 2008, P3M STAIN Purwokerto.
[2] Wildan, Dadan. 2009, “Peran Sunan Gunung Jati dalam Dakwah dan
Sosial Budaya”, Makalah Seminar Sejarah Sunan Gunung Jati dan
Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam, di Keraton Kasepuhan Cirebon,
22-23 April 2001.
[3] Dalam Ibid.
[4] Berdasarkan penjelasan Pak Iman Sugiman, bahwa memang benar ada
kalangan-kalangan yang menentang praktik-praktik sinkretisme di keraton. Bahkan percobaan
pengeboman Masjid Agung Sang Ciptarasa banyak yang menduga merupakan salah satu bentuk
penentangan kalangan Islam yang tidak suka dengan ritual-ritual keraton yang
dianggap bid’ah dan syirik. Dari kalangan Pesantren Buntet juga ada yang
menilai bahwa ritual di keraton saat ini lebih mengarah ke syirik. Walaupun demikian, kalangan
Pesantren Buntet tetap menghormati dan menghargai Sultan sebagai keturunan
wali. Hal ini terbukti bahwa Sultan diangkat sebagai sesepuh di beberapa Pondok
Pesantren seperti Buntet dan ketika Sultan Arief mencalonkan diri sebagai wakil
bupati, mendapatkan dukungan penuh dari Buntet. Ini diungkapkan oleh Kang Ade
dan Kang Soleh pada waktu wawancara pada tanggal 4 Juni 2011.
[9] Anderson, B. R.O’G. “Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan
Jawa”, dalam
Budiardjo, Miriam. (Ed.) 1984, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Penerbit
Sinar Harapan, Jakarta. Hal. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar