SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 05 Agustus 2012

Keraton Kasepuhan: Antara Islam dan Kejawen


Oleh: Bambang Wibiono. S.I.P

Untuk mengetahui konstruksi realitas kekuasaan (politik) dari Keraton Kasepuhan terhadap kondisi sosial politik di sekitarnya, maka ini tidak bisa terlepas dari faktor historis yang membangun konstruksi itu hingga saat ini. Kedudukan dan posisi keraton yang ada saat ini terbangun dari perjalanan politik dan pemerintahan keraton pada saat pendiriannya hingga mengalami dinamika sampai pasca kemerdekaan dan menyatakan diri bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan topik ini akan selalu berkaitan dengan faktor kesejarahan Keraton Kasepuhan serta kebudayaan yang mengikutinya.
Berbicara tentang konsep Islam dan tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” dengan “tradisi kecil”. Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin[1] yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Pertautan antara agama dan budaya ini juga terjadi dalam perkembangan agama dan budaya di Cirebon sebagai kota pelabuhan. Secara kultural, sejak dahulu, Cirebon merupakan wilayah yang heterogen. Cirebon merupakan wilayah percampuran dari berbagai kebudayaan baik Jawa, Sunda, Cina, Arab, maupun Eropa. Karena kondisi masyarakat yang heterogen inilah, Cirebon diartikan sebagai campuran, yang berasal dari kata sarumban.
Cirebon termasuk daerah multietnis. Di sini tinggal masyarakat dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Cina dan India. Kondisi ini tak lepas dari peran Pelabuhan Cirebon yang dulu dikenal sebagai jalur sutra perdagangan dan telah membuat Cirebon berjaya pada masa itu. Berbagai bangsa datang ke Cirebon, di antaranya Cina, Gujarat, Persia, dan India. Pada perkembangan itu, Cirebon menjadi pusat berbagai bidang, termasuk seni budaya.
Selain percampuran dari berbagai kebudayaan itu, Cirebon juga merupakan tempat percampuran berbagai kepercayaan. Sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon, wilayah Jawa Barat dan Cirebon khususnya masih sangat kental dengan agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme dinamisme warisan leluhur. Padjadjaran sebagai kerajaan terbesar di Pasundan, merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Budha.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa menjadi salah satu buktinya. Pada kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan atau kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu. Oleh karena itu wajar jika seorang Sultan atau raja mendapat penghormatan yang besar dari masyarakat, terlebih lagi seorang raja mendapatkan legitimasi agama.
Datangnya Sunan Gunung Jati dan Kesultanan Cirebon yang berlandaskan Islam membawa peran syiar dan dakwah Islam di wilayah Jawa Barat. Ketika Islam datang di tanah Jawa, dakwah yang dijalankan tidak bersifat dogmatis yang mengharuskan pengikutnya menjalankan syariat tanpa ada kecuali. Islam yang disampaikan para wali lebih menggunakan pendekatan kultural, sehingga pada waktu itu Islam masih bercampur dengan budaya dan tradisi yang masih berbau Hindu-Budha serta animisme-dinamisme. Penerapan ajaran Islam seperti inilah yang sampai sekarang dilaksanakan di lingkungan keraton.
Budaya Jawa maupun Sunda yang terbuka memudahkan pengaruh Islam masuk ke dalam nilai-nilai tradisi dan budaya. Masuknya Islam yang dibawa para wali menggunakan metode kultural yang menyesuaikan dengan tradisi dan budaya masyarakat. Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan pendekatan yang kompromis, mengingat latar belakang sosiologis masyarakat yang lengket dengan tradisi nenek moyang. Keberhasilan dalam dakwah Islam ini mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam.
Dahulu Sunan Gunung Jati diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah, bahkan tasawuf. Sunan Gunung Jati dipandang sebagai pengikut tarekat kubrawiyah dari Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah. Selain masalah ilmu agama, Sunan Gunung Jati juga memiliki ilmu mistik, di samping masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah tangga, ekonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan.
Berkenaan dengan masalah kesehatan, Sunan Gunung Jati mempunyai peran dakwah yang khas dalam masalah ini. Pengobatan lahir harus diatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah) seperti daun-daun dan akar-akaran. Kesehatan dan pengobatan batin yang semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan mantra-mantra, oleh Sunan Gunung Jati diganti dengan doa-doa sesuai ajaran Islam. Kecendrungan ini diyakini mempunyai metode dakwah melalui media pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya memberikan informasi tentang seringnya Sunan Gunung Jati bertindak sebagai tabib (ahli pengobatan).
Diceritakan dalam kisah-kisah tradisi, bahwa meskipun sebagai panatagama, dakwah Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal yang aneh, legendaris, dan ahistoris. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa dakwah seperti ini terkadang menggunakan  dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan karamat wali.[2]
Simbol-simbol sosial dan juga budaya yang tampak pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati dapat dilihat dari berbagai aspek yang sebagian masih terlihat pada masa kini. Siddique[3] memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (cosmic symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepala naga. Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat.
Tahap pertama adalah syari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon). Sampai sekarang keempat simbol itu masih ada di Cirebon. Misalnya saja simbol barong dalam wujud kereta masih disimpan di keraton. Pagelaran wayang dan seni tari topeng juga menjadi kesenian kalangan keraton. Bahkan keraton menjadi tempat belajar kesenian-kesenian Cirebon seperti tari topeng.
Simbol-simbol itu seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keislaman yang berasal dari tradisi Wali Songo termasuk Sunan Gunung Jati. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya tidak lain untuk menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam.
Shadaqah ini pada masa sekarang dianggap telah jauh dari masa para Wali dan telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali. Karena praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya ini, ada kalangan luar keraton, termasuk beberapa kalangan pesantren yang menentangnya.[4] Namun  dalam kenyataannya, praktik keagamaan seperti ini masih mendapatkan simpati dari kalangan masyarakat luas.
Sedekahan ini seperti halnya juga sekaten yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa. Menurut Sulendraningrat,[5] sekaten berasal dari kata sekati atau sukahati, sebuah nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak-II). Setelah suaminya wafat, itu menjadi benda kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula yang  memberi pengertian bahwa gamelan sekati diartikan sebagai syahadatain (syahadat dua), yakni dua kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan, mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat. Pendapat ini seperti yang dikatakan oleh informan:

Kanjeng Sunan kiprahnya dalam syiar Islam di Jawa Barat atau Jawa bagian kulon itu di antaranya tidak dengan kekerasan dan tidak dengan paksaan, tetapi dakwah-dakwah yang melalui kesenian atau dakwah lainnya. Seperti ada peninggalan di keraton ini sebuah gamelan sekaten, yang konon dulu untuk dakwah syiar Islam melalui suatu pertunjukan. Umat yang nonmuslim ingin melihat pertunjukan itu dikenakan mengucap syahadat supaya masuk Islam. Itulah trik-trik beliau dalam mengembangkan agamanya. Mengapa disebutnya gamelan sekaten karena dari kata syahadatain. Gamelan yang untuk mengumpulkan orang yang kemudian orang-orangnya diislamkan.[6]

Selametan atau sedekahan merupakan bentuk dari ritual atau upacara tradisi keagamaan. Salah satu cara bagaimana ajaran agama atau simbol sakral dapat mencapai kehidupan sehari-hari yang nyata adalah dengan melalui upacara. Dalam upacara, simbol berperan sebagai alat penghubung antara sesama manusia dengan benda, dan juga sebagai penghubung antara dunia yang nyata dengan yang gaib.[7] Simbol-simbol yang dipakai dalam upacara di samping sebagai alat komunikasi, juga menyuarakan pesan agama dan kebudayaan sesuai dengan tujuan upacara dan sesuai dengan keinginan yang ada pada masyarakat. Menurut Geertz,[8] dalam kenyataannya bahwa simbol-simbol yang menyusun upacara tersebut memiliki makna religius maupun politis.
Bagi masyarakat Jawa, keraton bukan hanya suatu pusat politik dan budaya, tetapi keraton juga merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan, dan kesuburan. Oleh karena itu, pengaruh keraton bukan hanya menyangkut struktur sosial masyarakatnya, tetapi juga bersifat kewilayahan. Wilayah kekuasaan keraton pun akan terbagi-bagi berdasarkan kadar pengaruhnya.
Menurut Anderson,[9] berdasarkan tradisi lama Jawa, untuk memperoleh kekuasaan, seorang penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apa pun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Keratonnya tidak saja dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional seperti batu, keris, tombak, alat-alat musik suci, kereta, dan sejenisnya, tetapi juga oleh berbagai macam manusia luar biasa seperti orang bule, pelawak, orang kerdil, ahli nujum. Karena tinggal bersama dalam keraton bersama penguasa, maka kekuasaan yang dimiliki benda atau orang itu diserap dan ditambahkan pada kekuasaan penguasa.
Pada aspek agama, Kesultanan Cirebon pada awal perkembangannya memiliki ciri khas pada bidang agama yang disimbolkan pada ketokohan Sunan Gunung Jati. Periode ini merupakan puncak dari kesakralan keraton. Kesakralan tersebut telah membangun citra Cirebon sebagai pusat spiritual bagi daerah di sekitarnya.[10] Pada masa ini, Islam mencoba masuk ke dalam struktur budaya masyarakat Jawa, termasuk masyarakat Cirebon, dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Ini bisa dilihat dari seni wayang sebagai sarana dakwah oleh Sunan Kalijaga dengan memodifikasi bentuk dan lakonnya. Pagelaran wayang disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia. Lakon yang ditampilkan adalah ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius.
Strategi dakwah para Wali dalam rangka mengislamkan orang Jawa adalah dengan mengisi segala aspek kehidupan dengan muatan ajaran Islam dengan tanpa ada paksaan. Akibatnya, praktik-praktik agama Islam bercampur dengan unsur-unsur kejawen yang berbau animisme-dinamisme. Ini termanifestasi dalam ritual-ritual yang diselenggarakan keraton. Pelurusan ajaran Islam kepada masyarakat yang belum tuntas ini menyebabkan praktik-praktik kejawen masih saja dilakukan. Berikut adalah gambaran aktivitas masyarakat di keraton yang masih ada unsur kejawen yang peneliti ketahui saat observasi di lapangan:

Menjelang sore, hari Kamis bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon, ketika saya sedang berbincang-bincang dengan salah seorang informan, ada beberapa orang yang membawa tempat berupa nampan atau baskom menuju beberapa tempat di keraton, seperti di Museum Kereta Singa Barong dan Museum Benda Pusaka. Pada wadah yang mereka bawa, ada nasi tumpeng dengan lauk gesek petek (ikan asin dari ikan petek) dan beberapa lauk lainnya, cabe, bawang, dan buah-buahan berupa pisang. Selain membawa makanan, orang-orang itu juga membawa bermacam kembang dan menyan yang sudah di bakar hingga asapnya mengeluarkan aroma yang khas.
Salah seorang laki-laki tua yang membawa perlengkapan itu masuk ke dalam gedung dimana Kereta Singa Barong disimpan. Setelah saya ikuti orang itu, ternyata orang tua itu sedang melakukan ritual di sekeliling Kereta Singa Barong. Orang itu berkeliling mengitari kereta sambil membawa menyan. Setelah itu, mulutnya komat-kamit di depan kereta, lalu mengalungkan bunga melati yang sudah dirangkai ke leher kepala kereta tersebut. Orang itu kemudian meletakkan sesaji berupa makanan tadi di bawah kereta, lalu duduk sambil mulutnya terus berkomat-kamit entah membaca doa apa dengan serius. Di tempat berbeda, ada ibu-ibu yang tengah meletakkan sesaji di beberapa tempat di dalam keraton. Ibu-ibu itu juga meletakkan dupa atau menyan di beberapa sudut bangunan keraton.[11]

Menurut informan, aktivitas seperti itu biasa dilakukan oleh masyarakat sekitar. Aktivitas ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu yang dianggap sakral seperti malam Jum’at Kliwon. Aktivitas masyarakat seperti itu tampaknya dibiarkan oleh pihak keraton. Tradisi membakar dan memberi sesaji tidak ada dalam ajaran Islam. Itu adalah warisan tradisi dari budaya leluhur yang masih ada di keraton. Praktik-praktik seperti ini pun dilakukan pada saat menjelang perayaan muludan dan panjang jimat.
Gambaran ini menandakan bahwa ajaran Islam masih bercampur dengan budaya-budaya nenek moyang masa lalu yang masih dipengaruhi oleh Hindu-Budha serta animisme-dinamisme. Bahkan menurut penuturan warga sekitar keraton, pada hari-hari menjelang muludan terdapat praktik-praktik perdukunan di lingkungan keraton. Praktik perdukunan itu dilakukan oleh orang-orang yang entah dari kalangan keraton sendiri atau orang lain yang memanfaatkan situasi. Praktik-praktik seperti itu, meski mendapat kecaman dari beberapa kalangan luar keraton, namun hal seperti itulah yang menjadi daya tarik keraton.
Berdasarkan gambaran itu, secara teoritis, saat ini Keraton Kasepuhan masih memiliki pengaruhnya melalui simbol yang ditampilkan disertai dengan kesakralannya. Seperti yang dijelaskan oleh Behrend,[12] bahwa keraton dipandang sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan (replika) alam semesta. Dengan dilegitimasi oleh budaya yang dianut dalam masyarakat itu, khususnya budaya Jawa dan Sunda, Keraton Kasepuhan tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan.
Lebih lanjut lagi, Ari Dwipayana[13] mengungkapkan bahwa istana atau keraton sebagai sumber kekuasaan raja. Selama raja atau sultan bersemayam di dalam keraton, maka ia akan memperoleh kekuasaannya. Kekuasaan yang dimaksud di sini bukan pada aspek formal. Sebab keraton saat ini lebih berfungsi sebagai cagar budaya sehingga keraton tidak memiliki kewenangan atau otoritas politik di bawah kekuasaan pemerintah. Namun di sisi lain, keraton tetap memiliki kekuasaan dalam ranah kultural yang cukup signifikan. Kekuasaan dan kewibawaan sultan itu terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh politik maupun pejabat daerah hingga pusat yang bersilaturahmi datang ke keraton maupun meminta berkah dan doa dari pihak keraton. Ini menandakan begitu kuatnya pengaruh seorang sultan ataupun bangsawan keraton ketika “bersatu” dengan bangunan keraton atau istana.
Selain faktor kesatuan antara istana dengan bangsawan keraton, wibawa dan pengaruh keraton beserta orang-orang di dalamnya dikonstruksi melalui budaya dan ditampilkan lewat simbol-simbol tradisi atau upacara-upacara yang digelar keraton seperti yang disebutkan di atas. Inilah salah satu alasan mengapa keraton yang ada saat ini tetap melestarikan dan memelihara adat, tradisi, ritual, upacara, ataupun pertunjukan kesenian secara terus-menerus. Alasannya karena dalam pandangan budaya, aspek-aspek itu dapat memperkuat dan bahkan melegitimasi wibawa dan kedudukan keraton beserta sultannya.
Pada aspek keagamaan, gambaran mengenai percampuran antara ajaran Islam dan kejawen di Cirebon, setidaknya memberikan penjelasan bahwa kekuasaan, kharisma, ataupun pengkultusan keraton dan orang-orang di dalamnya juga dipengaruhi oleh kedua tradisi ini. Ajaran Islam yang mengharuskan umatnya mengikuti imam atau ulama sebagai cara mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dan tradisi kejawen yang mengkultusakan dan ‘penyembahan’ terhadap raja sebagai pemimpin dan pusat kekuasaan yang memiliki kesaktian serta dianggap sebagai wakil Tuhan atau titising dewa, cukup menjadi legitimasi posisi Keraton dan Sultan sebagai seorang raja yang memiliki pengaruh dan penghormatan di mata masyarakat secara kultural.


[1] Dalam Ridwan. 2008, “Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa”, Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya, Volume 6, No. 1, Januari-Juni 2008, P3M STAIN Purwokerto.
[2] Wildan, Dadan. 2009, “Peran Sunan Gunung Jati dalam Dakwah dan Sosial Budaya”, Makalah Seminar Sejarah Sunan Gunung Jati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam, di Keraton Kasepuhan Cirebon, 22-23 April 2001.
[3] Dalam Ibid.
[4] Berdasarkan penjelasan Pak Iman Sugiman, bahwa memang benar ada kalangan-kalangan yang menentang praktik-praktik sinkretisme di keraton. Bahkan percobaan pengeboman Masjid Agung Sang Ciptarasa banyak yang menduga merupakan salah satu bentuk penentangan kalangan Islam yang tidak suka dengan ritual-ritual keraton yang dianggap bid’ah dan syirik. Dari kalangan Pesantren Buntet juga ada yang menilai bahwa ritual di keraton saat ini lebih mengarah ke syirik. Walaupun demikian, kalangan Pesantren Buntet tetap menghormati dan menghargai Sultan sebagai keturunan wali. Hal ini terbukti bahwa Sultan diangkat sebagai sesepuh di beberapa Pondok Pesantren seperti Buntet dan ketika Sultan Arief mencalonkan diri sebagai wakil bupati, mendapatkan dukungan penuh dari Buntet. Ini diungkapkan oleh Kang Ade dan Kang Soleh pada waktu wawancara pada tanggal 4 Juni 2011.
[5] Dalam Wildan. loc. cit.
[6] Wawancara dengan Pak Iman Sugiman pada tangal 8 Maret 2011.
[7] Suparlan, dalam Heriyanto, op. cit. hal. 16
[8] Dalam Heriyanto, Ibid. Hal. 18.
[9] Anderson, B. R.O’G. “Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Budiardjo, Miriam. (Ed.) 1984, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Hal. 57.
[10] Heriyanto. op. cit. hal. 186
[11] Catatan lapangan pada tanggal 26 Mei 2011
[12] Dalam Permana, R. Cecep. op. cit. Hal. 112.
[13] Dalam Mangeng, Marthen. op. cit. hal. 42

Tidak ada komentar: