SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 05 Agustus 2012

Mengenal Kondisi Beberapa Pengusaha Batik Cilacap


Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P

Batik Cilacap memiliki sejarah yang sama dengan batik Banyumasan yang lain. Batik Banyumas sendiri memiliki sejarah yang tidak terlepas dari budaya asli Banyumas maupun pengaruh budaya lain seperti Jogjakarta dan Surakarta, maupun Pekalongan. Sejarah asal mula batik Banyumas dan juga Cilacap memang belum dapat dilacak permulaannya, namun dari informasi para sesepuh dan penggiat batik di wilayah ini, disebutkan batik Cilacap dan Maos khususnya berasal dari adanya Kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Ini berawal dari adanya pengikut Pangeran Diponegoro yang mengungsi di daerah Banyumas.
Sejarah Batik Cilacap sendiri dimulai di Sukoraja ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Ketika itu, banyak pengikut Pangeran Diponegoro yang pindah dari Solo dan Yogya dan menetap di Banyumas dan sekitarnya, termasuk Maos. Banyak di antara mereka turut pula anggota keluarga kerabat Keraton Yogya dan Solo yang menolak kebijakan kolonial Belanda. Mereka pindah dan turut membawa serta seni membatik. Lama-kelamaan ketrampilan membatik tersebar luas di kalangan masyarakat Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan sekitarnya. Itulah sebabnya, batik Banyumasan, termasuk Cilacap mendapat banyak pengaruh batik Yogya dan Solo.

1. Desa Maos
Sentra batik di Cilacap yang cukup terkenal berada di wilayah maos, tepatnya Desa Maos Lor dan Maos Kidul. Berdasarkan informasi, perintis pengrajin batik Maos berada di Maos Kidul, yaitu batik Kencana. Namun, ketika saya mengunjungi ke sana, ternyata pemilik Batik Tulis Kencana, yaitu Ibu Maryo telah meninggal dunia 40 hari yang lalu.
Di sepanjang jalan utama Maos, terdapat 1 rumah batik bernama “Rumah Batik Onel Exotika” milik Ibu Maria yang terletak di Desa Maos Lor. Hanya saja rumah batik ini merupakan murni penjualan dan tidak memproduksi batik sendiri. Stok batik yang ada di toko merupakan pasokan dari para pengrajin batik di sekitar Maos. Bahkan toko batik milik Ibu Maria tidak hanya menjual batik Cilacap, tetapi juga batik dari daerah lain seperti Cirebon, Pekalongan, Solo, Banyumas, dsb.
Rumah Batik Onel lumayan sukses. Hal ini dilihat dari omzet per bulan yang bisa mencapai 15 juta. Promosi yang dilakukan pun tidak hanya mengikuti pameran-pameran yang diadakan pemerintah kabupaten atau propinsi, tetapi juga berupa spanduk, iklan di radio, iklan di yellowpages, bahkan lewat internet walaupun belum dioptimalkan. Pengaruh dari promosi ini dianggap cukup berpengaruh terhadap penjualan. Ada beberapa orang dari luar kota yang memesan batik di tokonya karena melihat iklan. Untuk wilayah Cilacap atau Maos, sudah sangat dikenal. Hal ini karena tidak ada saingan. Untuk wilayah Maos hanya ada dua usaha batik, yaitu Rumah Batik Onel dan Rajasa Mas milik Ibu Euis yang letaknya tidak jauh dari toko batik Onel.
Usaha batik yang kedua adalah Rajasa Mas milik Ibu Euis dan Pak Tonik yang berada di Jalan Penatusan, Maos Lor. Usaha batik ini terbesar di Cilacap karena jangkauan pemasarannya sangat luas sampai tingkat nasional bahkan ke internasional. Usaha batik milik Ibu Euis ini pernah mengikuti ajang pameran tingkat nasional dan internasional. Toko atau galeri batiknya tidak hanya di Maos, tetapi juga ada cabang di Semarang dan Jakarta.
Memasuki Jalan Penatusan, terlihat beberapa rumah menjemur kain batik. Memang Desa Maos Lor terkenal pengrajin batiknya. Tak heran sentra industri batik Cilacap berada di tempat ini.
Jumlah pekerja di Toko Batik Rajasa Mas sangat banyak, hingga ratusan. Hanya saja sebagian besar pengerjaan membatik dilakukan di rumah masing-masing. Walaupun demikian, aktivitas membatik juga terlihat di tempat usahanya. Itu terlihat dari beberapa orang yang tengah asik membatik, mewarnai, dan menjemur kain-kain batik.
Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu Euis dengan usaha yang sebesar itu boleh dikatakan hampir tidak ada. Masalah modal pun tidak menjadi kendala walaupun pada awal merintisnya dengan modal pribadi yang sangat terbatas. Namun sekarang modal didapat dari pinjaman Bank Jateng dan beberapa pemodal lain.
Dari segi periklanan atau promosi pun nampaknya tidak ada kendala. Promosi dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pameran, iklan media cetak, media elektronik, bahkan melalui internet. Tidak heran jika usaha batik Rajasa Mas sangat dikenal, apalagi di wilayah Cilacapnya sendiri. Jenis batik yang diproduksi pun tidak hanya batik tulis, tetapi juga batik cap dan printing.

2. Desa Klumprit, Kecamatan Nusawungu
Satu desa lagi di wilayah Cilacap yang terdapat pengrajin batik adalah di Desa Klumprit, Kecamatan Nusawungu. Di desa ini terdapat kelompok pembatik yang bernama “Canting Emas” milik Bapak Suripto. Kondisi desa ini tidak tampak seperti desa yang banyak pembatiknya. Bahkan ketika bertanya kepada warga sekitar yang melintas, mereka tidak mengetahui lokasi pembatik ini.
Dari penjelasan Pak Suripto diketahui bahwa tradisi membatik di desanya sudah hampir punah. Pendapat ini pun disetujui oleh warga yang saya tanyai ketika bertemu di jalan. Pada saat ini aktivitas membatik sedang vakum. Masyarakat desa sedang fokus pada pertanian.
Aktivitas membatik di desa ini dilakukan sebagai sambilan, karena biasanya warga telah memiliki pekerjaan pokok. Selain itu, para pembatik di desa ini umumnya sudah sangat sepuh. Seperti penuturan salah seorang warga yang juga pembatik. Ia mengaku dulu sering membatik, tetapi untuk saat ini sudah tidak lagi karena usia yang sudah sepuh dan penglihatannya pun mulai berkurang, sehingga kesulitan dalam membatik karena menurutnya membatik perlu ketelitian.
Produksi batik Canting Emas tidaklah banyak karena memang dengan modal yang seadanya. Motif batik khas yang diproduksi memang tidak diketahui, namun secara umum motif yang dihasilkan diantaranya Sida Mukti, Bubur Sente, prang rusak, semen rama, semen asli, dll.
Kendala yang dihadapi usaha batik di Desa Klumprit ini selain persoalan modal, bahan baku, berkurangnya minat membatik, juga persoalan kreativitas dalam hal desain. Kebanyakan pembatik hanya bisa membatik tanpa pandai mewarnai dan finishing, sehingga ini menjadi kendala sendiri dalam memproduksi batik.
Permasalahan lainnya adalah penjualan. Saat ini orang lebih memilih membeli pakaian batik jadi ketimbang bersusah payah membatik. Jika harus membatik perlu dana yang cukup besar, tenaga yang tekun serta waktu yang lama. Sedangkan jika membeli barang jadi, harganya cukup murah. Kebanyakan orang tidak mau melihat jenis batiknya tulis, cap atau printing, tetapi yang terpenting harganya murah. Karena itulah tradisi membatik mulai ditinggalkan, selain membatik sudah mulai dianggap tidak prospektif jika dijadikan usaha.
Pak Suripto dan teman-temannya sendiri pernah mengikuti beberpa pelatihan tentang batik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, baik kabupaten atau propinsi. Usaha batik Pak Suripto ini pernah ditawari untuk mengikuti pameran di Jakarta, namun beliau tidak menyanggupinya. Alasannya, dia belum percaya diri untuk menampilkan hasil batiknya serta stok batiknya sangat terbatas. Sejauh ini promosi pun belum pernah dilakukannya. Mungkin karena persoalan produksi, SDM, keuangan, persoalan pemasaran dan promosi menjadi kendala perkembangan batik Desa Klumprit ini. 

Tidak ada komentar: