Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P
Batik
Cilacap memiliki sejarah yang sama dengan batik Banyumasan yang lain. Batik
Banyumas sendiri memiliki sejarah yang tidak terlepas dari budaya asli Banyumas
maupun pengaruh budaya lain seperti Jogjakarta dan Surakarta, maupun
Pekalongan. Sejarah asal mula batik Banyumas dan juga Cilacap memang belum
dapat dilacak permulaannya, namun dari informasi para sesepuh dan penggiat
batik di wilayah ini, disebutkan batik Cilacap dan Maos khususnya berasal dari
adanya Kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Ini berawal
dari adanya pengikut Pangeran Diponegoro yang mengungsi di daerah Banyumas.
Sejarah
Batik Cilacap sendiri dimulai di Sukoraja ketika Perang Diponegoro berakhir
pada tahun 1830. Ketika itu, banyak pengikut Pangeran Diponegoro yang pindah
dari Solo dan Yogya dan menetap di Banyumas dan sekitarnya, termasuk Maos. Banyak
di antara mereka turut pula anggota keluarga kerabat Keraton Yogya dan Solo
yang menolak kebijakan kolonial Belanda. Mereka pindah dan turut membawa serta
seni membatik. Lama-kelamaan ketrampilan membatik tersebar luas di kalangan
masyarakat Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan sekitarnya.
Itulah sebabnya, batik Banyumasan, termasuk Cilacap mendapat banyak pengaruh
batik Yogya dan Solo.
1. Desa Maos
Sentra batik di Cilacap yang cukup terkenal
berada di wilayah maos, tepatnya Desa Maos Lor dan Maos Kidul. Berdasarkan
informasi, perintis pengrajin batik Maos berada di Maos Kidul, yaitu batik
Kencana. Namun, ketika saya mengunjungi ke sana, ternyata pemilik Batik Tulis
Kencana, yaitu Ibu Maryo telah meninggal dunia 40 hari yang lalu.
Di sepanjang jalan utama Maos, terdapat 1 rumah
batik bernama “Rumah Batik Onel Exotika” milik Ibu Maria yang terletak di Desa
Maos Lor. Hanya saja rumah batik ini merupakan murni penjualan dan tidak
memproduksi batik sendiri. Stok batik yang ada di toko merupakan pasokan dari
para pengrajin batik di sekitar Maos. Bahkan toko batik milik Ibu Maria tidak
hanya menjual batik Cilacap, tetapi juga batik dari daerah lain seperti
Cirebon, Pekalongan, Solo, Banyumas, dsb.
Rumah Batik Onel lumayan sukses. Hal ini
dilihat dari omzet per bulan yang bisa mencapai 15 juta. Promosi yang dilakukan
pun tidak hanya mengikuti pameran-pameran yang diadakan pemerintah kabupaten
atau propinsi, tetapi juga berupa spanduk, iklan di radio, iklan di yellowpages, bahkan lewat internet
walaupun belum dioptimalkan. Pengaruh dari promosi ini dianggap cukup
berpengaruh terhadap penjualan. Ada beberapa orang dari luar kota yang memesan
batik di tokonya karena melihat iklan. Untuk wilayah Cilacap atau Maos, sudah
sangat dikenal. Hal ini karena tidak ada saingan. Untuk wilayah Maos hanya ada
dua usaha batik, yaitu Rumah Batik Onel dan Rajasa Mas milik Ibu Euis yang
letaknya tidak jauh dari toko batik Onel.
Usaha batik yang kedua adalah Rajasa Mas milik
Ibu Euis dan Pak Tonik yang berada di Jalan Penatusan, Maos Lor. Usaha batik
ini terbesar di Cilacap karena jangkauan pemasarannya sangat luas sampai
tingkat nasional bahkan ke internasional. Usaha batik milik Ibu Euis ini pernah
mengikuti ajang pameran tingkat nasional dan internasional. Toko atau galeri
batiknya tidak hanya di Maos, tetapi juga ada cabang di Semarang dan Jakarta.
Memasuki Jalan Penatusan, terlihat beberapa
rumah menjemur kain batik. Memang Desa Maos Lor terkenal pengrajin batiknya.
Tak heran sentra industri batik Cilacap berada di tempat ini.
Jumlah pekerja di Toko Batik Rajasa Mas sangat
banyak, hingga ratusan. Hanya saja sebagian besar pengerjaan membatik dilakukan
di rumah masing-masing. Walaupun demikian, aktivitas membatik juga terlihat di
tempat usahanya. Itu terlihat dari beberapa orang yang tengah asik membatik,
mewarnai, dan menjemur kain-kain batik.
Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu Euis dengan
usaha yang sebesar itu boleh dikatakan hampir tidak ada. Masalah modal pun
tidak menjadi kendala walaupun pada awal merintisnya dengan modal pribadi yang
sangat terbatas. Namun sekarang modal didapat dari pinjaman Bank Jateng dan
beberapa pemodal lain.
Dari segi periklanan atau promosi pun nampaknya
tidak ada kendala. Promosi dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pameran,
iklan media cetak, media elektronik, bahkan melalui internet. Tidak heran jika
usaha batik Rajasa Mas sangat dikenal, apalagi di wilayah Cilacapnya sendiri.
Jenis batik yang diproduksi pun tidak hanya batik tulis, tetapi juga batik cap
dan printing.
2. Desa Klumprit, Kecamatan Nusawungu
Satu desa lagi di wilayah Cilacap yang terdapat
pengrajin batik adalah di Desa Klumprit, Kecamatan Nusawungu. Di desa ini
terdapat kelompok pembatik yang bernama “Canting Emas” milik Bapak Suripto. Kondisi
desa ini tidak tampak seperti desa yang banyak pembatiknya. Bahkan ketika
bertanya kepada warga sekitar yang melintas, mereka tidak mengetahui lokasi
pembatik ini.
Dari penjelasan Pak Suripto diketahui bahwa
tradisi membatik di desanya sudah hampir punah. Pendapat ini pun disetujui oleh
warga yang saya tanyai ketika bertemu di jalan. Pada saat ini aktivitas
membatik sedang vakum. Masyarakat desa sedang fokus pada pertanian.
Aktivitas membatik di desa ini dilakukan
sebagai sambilan, karena biasanya warga telah memiliki pekerjaan pokok. Selain
itu, para pembatik di desa ini umumnya sudah sangat sepuh. Seperti penuturan
salah seorang warga yang juga pembatik. Ia mengaku dulu sering membatik, tetapi
untuk saat ini sudah tidak lagi karena usia yang sudah sepuh dan penglihatannya
pun mulai berkurang, sehingga kesulitan dalam membatik karena menurutnya
membatik perlu ketelitian.
Produksi batik Canting Emas tidaklah banyak
karena memang dengan modal yang seadanya. Motif batik khas yang diproduksi
memang tidak diketahui, namun secara umum motif yang dihasilkan diantaranya
Sida Mukti, Bubur Sente, prang rusak, semen rama, semen asli, dll.
Kendala yang dihadapi usaha batik di Desa
Klumprit ini selain persoalan modal, bahan baku, berkurangnya minat membatik,
juga persoalan kreativitas dalam hal desain. Kebanyakan pembatik hanya bisa
membatik tanpa pandai mewarnai dan finishing,
sehingga ini menjadi kendala sendiri dalam memproduksi batik.
Permasalahan lainnya adalah penjualan. Saat ini
orang lebih memilih membeli pakaian batik jadi ketimbang bersusah payah
membatik. Jika harus membatik perlu dana yang cukup besar, tenaga yang tekun
serta waktu yang lama. Sedangkan jika membeli barang jadi, harganya cukup
murah. Kebanyakan orang tidak mau melihat jenis batiknya tulis, cap atau printing, tetapi yang terpenting
harganya murah. Karena itulah tradisi membatik mulai ditinggalkan, selain
membatik sudah mulai dianggap tidak prospektif jika dijadikan usaha.
Pak Suripto dan teman-temannya sendiri pernah
mengikuti beberpa pelatihan tentang batik yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah, baik kabupaten atau propinsi. Usaha batik Pak Suripto ini pernah
ditawari untuk mengikuti pameran di Jakarta, namun beliau tidak menyanggupinya.
Alasannya, dia belum percaya diri untuk menampilkan hasil batiknya serta stok
batiknya sangat terbatas. Sejauh ini promosi pun belum pernah dilakukannya.
Mungkin karena persoalan produksi, SDM, keuangan, persoalan pemasaran dan
promosi menjadi kendala perkembangan batik Desa Klumprit ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar