SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Senin, 13 Oktober 2008

Relasi Kekuasaan Pusat dan Daerah dalam Otonomi Khusus Aceh

oleh: Bambang Wibion1o

oktober, 2008


Lahirnya wacana otonomi daerah adalah salahsatunya disebabkan oleh efektifitas dan efisiensi dari penyelenggaraan pemerintahan. Sangat tidak memungkinkan bila pemerintah mengatur seluruh daerah di Indonesia yang wilayahnya tersebar dan dibatasi oleh laut dan selat. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang bagi daerah untuk dapat menata, mengatur rumah tangga daerahnya, terutama yang sangat dibutuhkan oleh daerahnya. Tidak ada yang paham mengenai kebutuhan dan permasalahan daerah, kecuali daerah itu sendiri. Maka dengan hadirnya otonomi daerah, memberikan sebuah solusi bagi permasalahan yang dihadapi daerah selama ini. Daerah tidak perlu menunggu lama keputusan dari pusat.

Namun apakah otonomi daerah saja sudah cukup mengatasi permasalahan daerah? Ternyata dalam perkembangannya, itu belum cukup. Mengingat wilayah Indonesia yang luas dengan budaya dan adat yang beragam, maka ternyata masih diperlukan sebuah perlakuan khusus bagi suatu daerah yang memiliki keunikan tersendiri maupun karena latar belakangnya. Perlakuan khusus ini dikenal dengan sebutan otonoi khusus.

Di Indonesia ada beberapa daerah yang menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan otonomi khusus. Namun yang akan dibahas di sini adalah otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengingat terdapat latar belakang yang panjang dalam mencapai otonomi khusus ini. Lantas bagaimana kemudian pola hubungan antara kekuasaan atau kewenangan pusat dan daerah setelah adanya otonomi khusus di Aceh ini?

Latar belakang dan alasan otonomi

Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berlatar belakang dari adanya tujuan politis dan tujuan administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Maddick (1963 dalam Riyadmadji, 2007) menyatakan bahwa secara rasional tujuan politisnya ialah adanya kebutuhan untuk menciptakan civic consciousness dan political maturity melalui pemerintah daerah. Argumen yang senada juga dinyatakan oleh Loughlin (1981:1, dalam Ibid.) yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan daerah perlu untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Sedangkan Smith (1985) berargumen bahwa keberadaan pemerintah daerah perlu untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya dalam daerah-daerah yang berbeda.

Sementara itu dari tujuan administratif alasan rasional membentuk pemerintahan daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomis melalui desentralisasi perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dari sini lahir suatu kebutuhan untuk membentuk unit-unit pemerintahan di tingkat lokal (sub national governments) baik atas prinsip devolusi/ desentralisasi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi.

Secara akademis hakekat otonomi daerah merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Dalam kaitan ini terdapat beberapa kewenangan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, serta urusan moneter dan fiskal. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan Pemerintah Pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.

Sementara itu pelaksanaan otonomi khusus di beberapa negara merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetrik (asymetric decentralization). Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.

Otonomi Khusus Secara yuridis dasar implementasi adanya otonomi khusus dan istimewa adalah pasal 18B UUD 1945, pasal 18 ayat (1) berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemerintah NKRI memberikan legitimasi bagi daerah tertentu untuk melaksanakan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah daerah Papua dan Aceh

Diberikannya kesempatan untuk melaksanakan pemerintahan secara khusus di Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001 tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menghentikan konflik vertikal yang terjadi di daerah itu. Para kalangan menilai bahwa UU tersebut hanya bersifat untuk meredam gejolak semakin memanasnya situasi Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga bila kita lihat dasar pemberlakuan UU tersebut hanya dikarenakan kondisi objektif yang memaksa bagi pemerintah. Karenanya konflik masih saja berlangsung di wilayah itu.

Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah istimewa Aceh didasarkan pada, antara lain kondisi riil masyarakat Aceh yang belakangan ini memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan itu muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada system yang terpusat. System itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak segera direspons dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan kondisi tesebut, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999, merumuskan dalam Gars-Garis Besar Haluan Negara 1999, kebijakan menyangkut Pembangunan Daerah. Dalam kebijakan itu, MPR menetapkan ketentuan khusus untuk tiga Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Dalam keterangan pemberian status khusus itu disebutkan:

“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh ….” (Ni’matul Huda, 2005: 68)


Sampai dengan disahkannnya UU Pemerintahan Aceh (UUPA), untuk sementara ini, secara teoretis-legalistik kita hanya mengenal dua macam otonomi daerah, yaitu otonomi khusus (otsus) di Aceh dan Papua, dan otonomi umum yang mengacu pada UU 32/2004 dan produk peraturan yang mengikutinya, -sebut saja sebagai Otoda 2004-, yang berlaku bagi daerah di luar Aceh dan Papua.

Namun, dalam perjalanan pelaksanaannya, kita masih memerlukan koridor hukum model lain. Disahkannya UUPA pada 11 Juli 2006, memberi bukti ketidaksempurnaan otsus. Demikian juga dalam evaluasi pelaksanaan Otoda 2004, sangat banyak macam ragam perkembangan yang memerlukan penyelesaian jalan tengah.

Mengapa? Selama ini, kedua model otonomi itu tak sanggup mengakomodasi dinamika dan realitas pemerintahan daerah. Otsus, misalnya, ternyata membuat Aceh eksklusif, menyedot dana APBN masing-masing lebih dari Rp 12 triliun per tahun, yang akan diggelontorkan selama 15 tahun atau lebih. Walaupun begitu, secara politis, untuk kedua provinsi tersebut, otsus adalah keputusan terbaik yang kita miliki sampai saat ini.

Di pihak lain, model umum seperti model Otoda 2004 sudah tidak sanggup lagi mengakomodasi realitas perbedaan dan karakteristik provinsi, kota, dan kabupaten yang semakin hari menemukan dirinya berbeda dengan daerah lain, sebut saja kondisi itu sebagai situasi asimetris. Maklum, daerah kita begitu beragam. Sedangkan salah satu kelemahan besar perundangan kita adalah penyeragaman atas kondisi sosial, ekonomi, sejarah pemerintahan, dan perbedaan khasanah adat pemerintahan. Jadilah, Otoda 2004 semacam baju all-size yang sering kurang pas dengan pemakai yang ukurannya beragam. Akibat penyeragaman, terjadi tarik ulur yang keras antara pusat dan daerah. Ada gejala saling serang antara pusat dan daerah.

Selama ini pemerintah daerah menganggap ada usaha resentralisasi, sementara pusat menganggap daerah selalu meminta jatah terlalu luas padahal hak-hak terbatasnya. Mendagri sering dicap sebagai sentralis, sedangkan kepala daerah dianggap pembangkang. Sementara pemegang opsi otsus cenderung meminta jatah lebih dari keistimewaan yang telah diberikan

Menurut Syaukani (2002: 212), ada beberapa kesalahpahaman dalam menterjemahakan otonomi daerah. Kesalahpahaman tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. otonomi semata-mata dikaitkan dengan uang. Tidak ada yang menafihkan bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat dalam menggerakan pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah ”kewenangan”.

  2. Daerah belum siap dan belum mampu. Pernyataan ini adalah keliru. Satu hal yang penting adalah bahwa Daerah harus diberi kepercayaan dan kewenangan.

  3. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggunggung jawabnya untuk membantu dan membina Daerah. Harus kita pahami bahwa negara kita adalah negara kesatuan, maka tidak ada alasan pemerintah pusat untuk melepaskan tanggung jawabnya. Dengan bantuan pemerintah bukan berarti bahwa makna otonomi daerah akan terkurangi maknanya, otonomi bukanlah pelepasan tanggung jawab tetapi ”pelimpahan wewenang”.

  4. Dengan otonomi daerah dapat melakukan apa saja. Pada hakikatnya memang demikian tetapi tetap ada norma-norma tertentu yang harus tetap diperhatikan, yaitu norma kepatutan dan norma kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara.

Pola Hubungan Kekuasaan

Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi tersebut mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom.

Beberapa poin Nota Perdamaian Indonesia-GAM yang menjadi dasar UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berkaitan dengan perubahan pola hubungan dan kewenangan pusat terhadap daerah adalah sebagai berikut:

  • Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

  • Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

  • Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.

  • Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

  • Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

  • Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

MoU Helsinki itulah yang kemudian melahirkan sebuah konsep baru dalam bidang otonomi daerah, yaitu otonomi khusus. Ini memang terlihat sangat khusus, sebab Provinsi Aceh memliki kewenangan yang sangat besar dalam hal mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya. Bahkan dalam beberapa aspek menyamai kedudukannya sebagai sebuah Negara berdaulat.

Melihat isi perjanjian tersebut, dapat terlihat bahwa daerah khusus memliliki kewenangan yang setara dengan pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi terkait dengan kebijakan daerah khusus. Segala kebijakan yang berkenaan dengan daerah Aceh dari pemerintah pusat, pemerintah harus meminta persetujuan dari pemerintah daerah.

Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) dan (2), bahwa pemerintahan Aceh dan kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik. Yang menjadi batasan kewenangan pemerintah pusat hanyalah yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Bahkan segala urusan yang berkaitan langsung dengan Aceh, sekalipun itu adalah persetujuan internasional yang dilakukan pemerintah, harus mendapatkan pertimbangan, konsultasi, dan persetujuan DPR Aceh.

Dalam Pasal 7 Ayat (3) dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Pemerintah dapat:

a. melaksanakan sendiri;

b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;

c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan

d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.

Perimbangan hasil kekayaan

Akibat diskriminasi dalam hal distribusi hasil pembangunan pada masa sentralisasi, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak daerah, maka Aceh sekarang menginginkan menguasai 70% kekayaan alam untuk digunakan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Ini mengindikasikan bahwa seharusnya pemerintah memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk dapat mengelola dan menggunakan kekayaannya untuk kemakmuran daerahnya. Namun apakah itu dapat terealisasikan?

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 181 Ayat (1) huruf (b), ternyata baian dari hasil pertambangan minya hanya sebesar 15%, dan dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. Padahal kita tahu bahwa kedua sektor ini, merupakan sumber penghasilan terbesar dari daerah Aceh. Hanya dari sektor kehutanan, perikanan, pertambangan umum, dan panas bumi saja yang mendapat bagian 80%. Dari sini terlihat bahwa ternyata pemerintah pusat masih meninginkan campur tangan dan “keuntungan” yang lebih besar untuk pusat, atau dengan kata lain ternyata otonomi khusus yang diinginkan rakyat Aceh belum sepenuhnya terlaksana.



Kesimpulan

Otonomi khusus sebagai sebuah solusi dari konflik akibat diskriminasi kekayaan, sentralisasi, dan pengabaian hak-hak rakyat Aceh selama ini ternyata dilihat belum mampu menjawab permasalahan. Hal itu terlihat dari keraguan pemerintah pusat untuk “melepas” Aceh sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan yang sangat luas disbanding daerah lainnya. Pemerintah pusat masih menginginkan campur tangannya di daerah Aceh, oleh karena alasan kekayaan alam. Ini dilihat belum optimalnya pembagian kekayaan seperti yang diinginkan dalam perjanjian Helsinki.

Dalam bidang strukltural dan politik, terlihat bahwa Aceh layaknya sebuah Negara berdaulat yang memiliki kewenangan yang setingkat atau sederajat dengan pemerintah pusat. Kedudukan yang sejajar ini memberikan peluang bagi pemerintah Aceh untuk dapat menata, membenahi, dan mengurus rumah tangga daerahnya. Sebab segala kebijakan pusat yang menyangkut Aceh harus melalui konsultasi dan persetujuan dari pemerintahan setempat dalam hal ini DPRA dan atau Gubernur.




Daftar Pustaka


Azmi, Zul. 2008, “Dilematika Otonomi Khusus Aceh” Artikel dalam http://www.peoplecrisiscentre.org

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riyadmadji, Dodi. 2007. “Mengapa Otonomi Khusus?”, artikel dalam http://www.ditjen-otda.go.id

Sabarno, Hari. 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.

Said, M Mas’ud, 2007. “UUPA, Ketidaksempurnaan Otsus”, Artikel dalam http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=631&tit=Berita%20Utama%20-%20UUPA,%20Ketidaksempurnaan%20Otsus

Soebiantoro, M, dkk. 2007, Politik dan Pemerintahan Lokal, FISIP-Unsoed, Purwokerto.

Syaukani, HR dkk. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed


Potret Pikada dalam UU No 5 Tahun 1974, UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004

Oleh Bambang Wibiono1





Latar Belakang

Perubahan dalam bidang politik pasca orde baru telah membuka peluang bagi daerah untuk mengembangkan sistem politik di daerah yang disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya. Era reformasi yang muncul dalam paradigma pemerintahan daerah, memberikan titik cerah terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, dalam kaitannya membangun demokrasi tingkat lokal. Paradigma baru ini banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam pengelolaan dan perencanaan otonomi daerah, seperti diperbaharuinya prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi yang mengedepankan kemandirian daerah dalam mengelola potensi daerah. Dalam mengimplementasikan konsep-konsep tersebut, pemerintah era reformasi membuat dua undang-undang mengenai otonomi daerah, yaitu UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004, yang selanjutnya memiliki aturan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Penafsiran mengenai konsep desentralisasi dan dekonsentrasi pada dua undang-undang ini, diterapkan dengan adanya pemilihan kepala daerah dengan mengedepankan prinsip demokratisasi daerah. Pilkada dalam konteks otonomi daerah, merupakan hal pokok yang harus dilakukan dalam memberdayakan potensi daerah dalam hal pendidikan politik kepada masyarakat. Konsep pilkada ini bertujuan untuk mengakomodir tuntutan reformasi dalam kaitannya dengan Indonesia yang sedang mengalami transisi politik dari sistem otoriter kepada system demokrasi.

Namun penerapan gagasan pilkada tersebut memiliki perbedaan dalam dua undang-undang otonomi daerah, yang dikarenakan adanya perbedaan penafsiran mengenai keadaan masyarakat ditingkat lokal. Seperti konsep pilkada UU No 22 tahun 1999 yang merupakan penyempurnaan UU No 5 tahun 1974 dan konsep Pilkada UU No 32 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan UU No 22 tahun 1999. Ini pun dapat kita lihat dari adanya masalah dalam menerapkan konsep pilkada pada masing-masing UU tersebut, yang kemudian menjadi catatan kritis mengenai pelaksanaan pilkada dalam penafsiran dua UU tersebut.

Pilkada era orde baru (UU No 5 Tahun 1974)

Hadirnya Undang-undang otonomi daerah yang baru tersebut telah memberikan peluang bagi terbukanya demokratisasi yang selama ini terkunci rapat. Bagaimana ketika masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 telah menutup kebebasan daerah untuk dapat mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah pusat, dalam hal ini terpusat pada kekuasaan Presiden menjadi satu-satunya pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Tanpa “restu” dari presiden, maka mustahil sebuah kebijakan akan diimplementasikan dan berjalan.

Wajah pelaksanaan Pemerintahan Daerah dapat ditelusuri dari Pelaksanaan Pilkada. Kapabilitas dari institusi pemerintahan daerah dapat dinilai dari bagaimana mekanisme pelaksanaan Pilkada atau rekruitmen pemimpinnya. Semakin baik mekanisme rekruitmen, maka akan terbuka kemungkinan semakin baik pula pemerintahannya.

Pelaksanaan Pilkada pada masa orde baru dengan payung hukum UU No 5 Tahun 1974 tidak mampu memberikan peluang bagi siapapun untuk turut berpartisipasi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Calon kepala daerah dipilih oleh DPRD, yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk mendapat persetujuan. Jadi di sini presiden memegang peran sentral dalam menentukan siapa yang layak menjadi kepala daerah. Padahal belum tentu presiden mengetahui permasalahan yang dihadapi daerah secara jelas, dan juga bagaimana kualifikasi dari calon kepala daerah tersebut.

Dari mekanisme yang terpusat ini akan membuka peluang bagi praktek kecurangan dan terbukanya budaya patron client. Presiden dapat menentukan calon kepala daerah hanya berdasakan pertimbangan like and dislike. Oleh karena begitu kuatnya peran pemerintah pusat, maka DPRD selaku legislatif yang seharusnya memilih calon pemimpin daerah, menjadi tidak berfungsi. Sebab walaupun calon yang hendak dipilih telah melalui seleksi, tetapi pemerintah pusat dapat seenaknya menolaknya tanpa alasan jelas.

Walaupun UU menyatakan, gubernur kepala daerah, bupati kepala daerah dipilih DPRD, tapi dalam implementasinya, DPRD memilih calon yang sudah mendapat “restu” pusat. Untuk bupati/walikota harus mendapat restu Mendagri, sedangkan gubernur harus mendapat restu Presiden.

Dari pola rekruitmen dan penempatan jabatan publik yang seperti ini membuka peluang lebar bagi praktek money politics, politik dagang sapi, serta kompetisi yang tidak fair. Dengan demikian orang yang dihasilkan tidak jelas kapabilitas dan kualitasnya.

Dengan sistem yang demikian, elite di daerah berkepentingan untuk mendekatkan diri ke pusat kekuasaan. Nasib kekuasaan elite di daerah berada di tangan pemerintah pusat. Artinya, elite daerah lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada pusat kekuasaan daripada masyarakat yang dipimpinnya.

Namun yang menjadi salah satu kelebihan dari sistem ini adalah terciptanya stabilitas keamanan. Sebab pemerintahan orde baru menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan tiga pilar, yaitu stabilitas keamanan, pembangunan ekonomi, dan pemerataan. Dengan demikian rakyat tidak boleh disibukkan dengan aktifitas perpolitikan.

Pilkada era reformasi

Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik “ala” UU No. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU No. 22 Tahun 1999.

Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, pertama, sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan- yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir orang di DPRD (Oligarkis).

Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktek politik dagang sapi dan money politics.

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik-seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.

Keempat, Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat-warganya. Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.

Mewujudkan Good Governance

Konsep good local governance dalam kaitan ini, diartikan sebagai bentuk pemerintahan lokal yang didalamnya terdapat hubungan yang dinamis antara eksekutif, legislatif dan masyarakat lokal. Keseimbangan hubungan ini yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah membangun kepemimpinan daerah. Sebab awalnya undang-undang otonomi daerah era reformasi dibentuk sebagai pencarian masyarakat akan figure pemimpin yang berdasarkan aspirasi dan keinginan masyarakat, artinya konsep keterwakilan tetap dikedepankan dalam melakukan proses demokrasi local (local democration).

Penerapan UU No 22 tahun 1999 wujud konkret pemerintahan lokal yang baik diwujudkan dengan keterwakilan masyarakat di dewan legislatif daerah (DPRD). DPRD difungsikan sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah yang kemudian disahkannya. Kepala daerah dipilih berdasarkan mekanisme yang ada dalam kelembagaan DPRD, yang didalamnya terdapat perwakilan masyarakat melalui partai-partai politik. Cara ini sebenarnya hampir sama dengan cara yang dilakukan pada era orde baru dengan menggunakan mekanisme perwakilan, namun perbedaannya ada pada keterbukaan atau lebih terbukanya untuk masyarakat mengetahui proses berjalannya pemilihan kepala daerah.

Konsep keterwakilan DPRD yang merupakan perwujudan demokrasi lokal, menimbulkan permasalahan yang menyebabkan tidak lancarnya pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugasnya. Pemilihan kepla derah yang notabenenya dilakukan oleh DPRD, dijadikan sebagai alat kepentingan partai politik semata, dengan menggunakan legitimasi dari masyarakat. Pemilihan kepala daerah melalui kepala daerah ini, yang kemudian menimbulkan politik uang dalam prosesnya. Artinya, calon kepala daerah dapat menggunakan lobi-lobi politik kepada partai politik yang nantinya dapat mendukung calon tersebut. Namun konsekuensinya yang harus diterima adalah calon harus memberikan sejumlah dana kepada partai politik untuk melanggengkan langkahnya.

Berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004 memiliki aturan yang berbeda dalam hal memilih kepala daerah. Berawal dari evaluasi pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang cenderung carut marut dan tidak bisa memunculkan sebuah good local governance, maka dibuat aturan baru mengenai pilkada langsung. Proses partisipasi langsung dari masyarakat merupakan prinsip dasar dari diberlakukannya pilkada langsung ini. Inilah yang menjadi sejarah baru dalam pelaksanaan pilkada yang melibatkan seluruh rakyat lokal dalam “hajatan” besar lima tahunan ini. Prinsip pemerintahan lokal yang baik, tetap menjadi prinsip utama dalam kebijakan ini.

Dalam pelaksanaannnya Pilkada langsung tetap melibatkan peran partai politik sebagai kendaraan politiknya, dan kemudian calon kepala daerah itu baru bisa masuk dalam bursa pencalonan pilkada langsung. Bedanya dari UU No 22 Tahun 1999, partai politik berada di luar parlemen dan dijadikan sebagai legalisasi pencalonan. Cara ini digunakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya deal-deal politik partai di DPRD, sebab permasalahan ini menyangkut kredibilitas DPRD sebagai perwakilan rakyat ditingkat lokal.

Pencarian sosok seorang kepala daerah melalui mekanisme pilkada langsung, memberikan pencerahan pada masyarakat mengenai solusi terhadap permasalahan yang terjadi didalam pemilihan kepala daerah di DPRD. Namun, pencerahan ini tidak selamanya berjalan dengan baik. Prinsip menggunakan partai politik sebagai kendaraannya, menyebabkan pindahnya praktek KKN yang semula di DPRD, kini di dalam tubuh partai politik. Penyimpangan ini yang kemudian menyebabkan beralihnya fungsi partai politik itu sendiri sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat yang berubah kepada orientasi kekuasaan belaka. Ini yang menimbulakan pula oligarki partai politik, yang menggunakan kekuasaannya untuk menarik dana sebesarnya dari calon kepala daerah.

Dampak dari tidak berjalannya proses kemandirian daerah ini, menyebabkan proses demokrasi yang coba bangkit dari keterpurukan pasca ketidak berhasilan UU No 22 Tahun 1999 tidak berjalan. Proses menuju pemerintahan local yang baik tidak bisa berjalan dengan semestinya, proses yang seharusnya mendapatkan bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat, dibohongi oleh kelicikan partai poltik sebagai kendaraan politik.

Kecenderungan Konflik dalam Pilkada

Dalam salah satu agenda pilkada, kompetisi politik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan dalam proses demokratisasi daerah. Kompetisi dalam hal ini merupakan bentuk bagaimana calon kepala daerah untuk menggunakan cara yang baik untuk merebut simpati masyarakat atau konstituen. Oleh karena itu, selain bertujuan untuk membangun demokratisasi daerah, pilkada digunakan sebagai alat untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam hal pemilihan kepala daerah, sebab dalam hal ini masing-masing pihak diposisikan sama tanpa ada diskriminasi.

Ketidakpuasan masyarakat melihat kenyataan calon kepala daerah mereka kalah yang menyebabkan potensi timbulnya konflik antar masyarakat semakin besar. Pada penerapan UU No 22 Tahun 1999, yang memilih kepala daerah melalui DPRD, memiliki potensi konflik yang besar. Sebab dalam peraturannya, parpol yang berada didalamnya dapat melakukan lobi politik yang dapat berpotensi pada kecemburuan antar parpol yang menyebabkan “kerusuhan” politik di DPRD. Sebab dalam sistem ini, hukum alam akan berlaku, artinya partai yang memiliki jumlah suara yang besar dan didukung oleh lobi partai, akan memenangkan calon yang mereka ajukan.

Terlalu banyaknya kompromi politik di DPRD, karena partai politik dapat melakukan hal yang sesuai dengan kehendak mereka, yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat melihat mekanisme yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Konflik yang lain adalah konflik antar pendukung calon yang tidak puas dengan kekalahan calon kepala daerahnya, dan berpotensi konflik dengan pendukung calon yang lain. Inilah yang kemudian coba diminimalisir dengan dibuat aturan mengenai pelaksanaan pilkada langsung yang diharapkan memberikan keterbukan kepada masyarakat guna menyalurkan aspirasi yang mereka kehendaki.

Pasca berakhirnya prinsip otonomi daerah berdasarkan UU no 22 tahun 1999, masyarakat mengalami yang dinamakan dengan dengan eforia otonomi daerah dengan dibuatnya suatu konsep pilkada langsung guna memilih kepala daerah dengan menggunakan azas keterbukaan masyarakat. Seperti dijelaskan diawal bahwa pilkada akan menimbulkan kompetisi politik, tidak lupa dengan pilkada langsung yang didalamnya terkandung kompetisi yang lebih terbuka dari masing-masing pasangan calon. Dan ini yang kemudian besarnya harapan masyarakat terhadap makin besarnya peran mereka dalam proses pilkada langsung tersebut.

Namun di balik eforia pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal. Jika diidentifikasi secara mendalam, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi potensi timbulnya konflik politik dalam era pilkada langsung.

Pertama, dalam peraturan UU no 32 tahun 2004 mengenai pilkada langsung, menutup kemungkinan adanya calon independen dalam proses tersebut. Karena partai diberikan otoritas yang penuh sebagai sarana calon untuk menuju kursi kepala daerah. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik, karena di daerah memiliki sosok figur yang mereka sukai dan figur itu merupakan non-partai.

Kedua, besarnya ambisi partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi kepala daerah menyebabkan tidak diperhatikannya polarisasi politik yang ada dalam arus politik daerah. Ini yang kemudian menimbulkan konflik terhadap kutub politik yang tidak bisa diakomodir, yang seharusnya pencalonan kandidat calon harus memperhatikan kekuatan politk dan sosial yang ada di masyarakat bersangkutan.

Ketiga, pelaksanaan pilkada langsung memang dilaksanakan oleh KPUD dengan tanggung jawab langsung kepada DPRD. Ini yang kemudian membuka peluang adanya intervensi dari partai politik kepada KPUD melalui lembaga DPRD (didalamnya terdapat partai politik). Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung.

Keempat, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin".



Kesimpulan

Berjalannya era reformasi didalamnya memiliki potensi konflik dalam Pilkada jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi karena tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan lemahnya aturan pelaksanaannya. Jika potensi konflik dalam Pilkada tidak minimalisir, bukan tidak mungkin proses demokrasi ditingkat lokal akan berjalan lamban. Karena kita tahu bahwa kehidupan yang demokratis yaitu kehidupan yang dimana masyarakatnya memiliki kebebasan untuk merumuskan kecenderungan politik mereka melalui jalur perserikatan atau perkumpulan, yang didalamnya memiliki kompetensi yang sehat dan berjalan damai.

Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 dan tentang Pilkada, maupun kendala sosial yang masih membelenggu. Agenda ini harus sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis, ini bukan suatu pandangan yang merendahkan terhadap perilaku masyarakat politik tertentu, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi.

Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan perjuangan rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004. Tetapi di balik itu, kita juga harus waspada terhadap potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakmampuan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.





DAFTAR PUTAKA


Dwipayana, Ari. 2005, “Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah”, dalam http://www.plod.ugm.ac.id/makalah/pilkadal_dan_otoda.htm

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Manan, Bagir. 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta.

Nurhasim, Moch. Dhurorudin, Mashad Heru Cahyono, Irine Hiraswari Gayatri, Syafuan Rozi, Tri Ratnawati. 2005, Konflik Antar Elite Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rozaki dkk, Abdur. 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta.

Tim IRE. 2002, Annual Report 2001-2002 Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, IRE Press, Yogyakarta.




1Mahasiswa ilmu politik FISIP Unsoed

Rabu, 24 September 2008


Pentingnya Kebebasan Substantif dalam Pembangunan

(menelaah pemikiran Amartya Sen)

oleh: Bambang Wibiono


Pembangunan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam perjalanan sebuah bangsa, apalagi bagi negara yang sedang berkembang. Berbagai teori ekonomi pertumbuhan diagung-agungkan oleh hampir seluruh negara yang menganut paham pembangunan. Namun, apa yang terjadi selama ini adalah sebuah disparitas antara pencapaian angka pertumbuhan dengan realitas yang terjadi di masayarakat. Ketika sebuah negara mengklaim dirinya telah mencapai angka pertumbuhan yang signifikan, namun dalam ranah empiris masih banyak kasus-kasus kemiskinan. Jika demikian yang terjadi, lantas apa yang dapat dijadikan parameter dalam mengukur sebuah pembangunan? Inilah sebuah pertanyaan yang membangun sebuah gagasan Amartya Sen dalam bukunya yang terkenal, Development as Freedom (1999).

Dalam salah satu babnya (bab 4) yang berjudul “Poverty as Capability Deprivation”, dia menjelaskan mengenai sebuah konsep kebebasan substantif. Konsep ini sangat berkaitan erat dengan pembangunan. Menurutnya pembangunan harus mengutamakan aspek kebebasan substantif ini. Dalam pembangunan, seharusnya memberikan seluas mungkin kemerdekaan yang nyata dan harus dapat dinikmati oleh semua orang.

Kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya bukan hanya persoalan kebebasan memilih, berpendapat, atau berorganisasi, tetapi juga pesoalan jaminan bebas dari kemiskinan dan kelaparan, jaminan kesehatan, dan hak memperoleh pendidikan yang layak, keamanan, serta kebebasan-kebebasan yang menyangkut hak manusia. Namun menurut Sen, itu saja tidak cukup. Ada hal lain, yang semuanya mengacu pada satu masalah, yaitu harus adanya kemampuan dari tiap individu untuk dapat mencegah terjadinya pengurangan atau pencabutan hak-hak dasar mereka untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sen menyebutkan bahwa pembangunan yang benar adalah bila individu mampu mencapai sebuah cara hidup dan tingkat martabat dimana kemampuan personal bisa diwujudkan. Tingkat penghasilan seseorang misalnya, memang sangat terkait dengan tingkat kesempatan yang tersedia melalui penghasilan tersebut. Namun tingkat tersebut baru disebut pantas apabila cukup untuk menjamin sebuah kehidupan yang lebih lama atau sebuah kehidupan sosial yang bebas dari kejahatan. Variabel-variabel di luar penghasilan inilah yang menentukan nilai negatif atau positif pendapatan yang diperoleh oleh seseorang.

Jika tanpa hal ini, semuanya akan sia-sia. Untuk apa ketika terbukanya peluang untuk dapat menikmati pendidikan, adanya jaminan kesehatan, adanya kebebasan berpolitik, adannya jaminan dan peluang untuk dapat menikmati hidup layak, namun rakyat tidak memiliki kemampuan untuk dapat mencegah pencabutan hak dia oleh pihak lain. Jika mereka tidak mampu mencegah mencegahnya, berarti kemerdekaan yang sesungguhnya belum diperoleh. Jika demikian, rakyat hanya hidup dalam fatamorgana kemakmuran. Seolah-olah negara itu telah mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan yang dilihat dari angka-angka satatistik, namun sesungguhnya rakyat tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertahankan hak mereka. Oleh karena itu pembangunan bukan hanya persoalan angka-angka pendapatan nasional, adanya ketersediaan bahan pangan atau apapun itu, namun lebih kepada kemampuan individu. Kemerdekaan harus dijadikan tujuan dan cara pembangunan.

Sebuah pernyataan yang mendukung argumen Sen adalah yang diungkapkan oleh Mansour Fakih (2006), bahwa teori pembangunan dan globalisasi yang begitu diagung-agungkan oleh negara maju yang diterapkan pada negara dunia ketiga telah gagal dalam mewujudkan tujuannya bagi negara di Asia. Slogan pembangunan, modernisasi, dan globalisasi hanyalah sebuah alat untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dimiliki negara Dunia Ketiga untuk kepentingan negara kapitalis dunia.

Negara Newly Industrial Countries yang menjadi percontohan telah hancur dan tidak bisa bertahan diterpa oleh badai krisis multidimensi yang melanda dunia. Padahal negara-negara tersebut telah berhasil mencapai angka pertumbuhan yang fantastis, adanya ketersediaan bahan pangan—hingga Indonesia misalnya—mampu berswasembada pangan. Revolusi sebagai solusipun bukan suatu langkah yang tepat dalam memperbaiki keadaan. Karena menurut Irma Adelman (dalam Fakih, 2006:66), 40-60 % penduduk di negara miskin menjadi semakin buruk. Yang diperlukan adalah human resource development untuk mencapai pertumbuhan dengan pemerataan. Dengan pembangunan sumberdaya manusia diharapkan akan dapat menumbuhkan kesadaran dan daya kritis masyarakat terhadap proses pembangunan baik ekonomi maupun politik.

Kasus kemiskinan yang melanda Indonesia pasca krisis tahun 1997, hingga sekarang tidak kunjung selesai. Namun sebenarnya kasus kemiskinan ini bukan hanya terjadi sekarang, tetapi jauh sebelumnya, bahkan ketika Indonesia disebut sebagai negara yang sukses dalam melakukan pembangunan dan masuk dalam NIC.

Jika merujuk pada konsep pembangunan yang diutarakan Sen, terutama mengenai kebebasan substantif, sebenarnya Indonesia belum melakukan apa yang disebut sebagai pembangunan. Karena pada masa orde baru, rakyat Indonesia hidup dalam sebuah kekangan pemerintahan otoriter. Rakyat tidak mampu memperoleh akses ke dalam kehidupan politik, sehinga tidak dapat menontrol pemerintah. Ketika Indonesia melakukan swasembada pangan, di sudut negeri ini masih banyak kelaparan, bahkan di daerah sumber beras seperti Garut. Lantas apa arti swasembada pangan?

Sekarang, ketika reformasi bergulir, kebebasan rakyat telah dibuka, ternyata kemiskinan, kelaparan dan berbagai kasus turunannya kian marak. Pemerintah kita belum lama menyatakan bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan perbaikan, angka kemiskinan telah berkurang, GNP meningkat, tetapi apa yang dapat kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita? Begitu maraknya aubade kemiskinan yang setiap saat kita lihat dan kita dengar di media. Apakah ini yang dinamakan pembangunan? Apakah ini yang dinamakan pertumbuhan? Jawabannya adalah bukan! Alasannya adalah karena tidak adanya kemerdekaan dan tidak adanya jaminan terhadap rasa aman, baik itu dari kejahatan, maupun rasa tidak aman karena takut tidak dapat makan, takut tidak dapat melanjutkan sekolah, takut tidak mendapat pekerjaan, dan ketakutan lainnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mampu menjamin keamanan itu semua. Rakyat belum dapat menikmati hidup yang sewajarnya, dan artinya belum tercapainya mutu atau kualitas kehidupan manusia. Ditambah lagi, rakyat tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri dan mencegah agar tidak terjadi pencerabutan hak dari dirinya itu.

Dalam menangani kasus kemiskinan di negara Indonesia, pemerintah cenderung hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dinilai dengan materi. Hal itu dibuktikan oleh program-program pemerintah dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, seperti bantuan langsung tunai, pembagian sembako, kesehatan gratis. Yang dilupakan oleh pemerintah adalah mengenai strategi peningkatan mutu hidup, bukan hanya pemenuhan kebutuhan sesaat. Bagaimana cara meningkatkan kemampuan rakyatnya untuk mencegah pencerabutan hak, dan pada akhirnya akan dapat berperan dan turut menentukan proses pembangunan.



Pustaka Acuan

Fakih, Mansour. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-IV, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sen, Amartya. 1999, Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford.

Tomatipasang, Roem. 2000, “Kemerdekaan: Tujuan dan Cara Pembangunan”, (diterjemahkan bebas dari Bab 2 buku Amartya Sen, 1999, Development as Freedom), dalam Wacana Edisi 5 Tahun II, 2000, Insist Press, Yogyakarta.

Witdarmono, H. 2000, “Amartya Sen dengan Konsep Pembangunannya”, http://www.unisosdem.org