SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Rabu, 06 Oktober 2010

Tidak Ada "nol Pengetahuan"*

Beberapa hari yang lalu temanku yg bernama Zamzam Muhammad Fuad menulis notes dalam facebook dan menge-tag ku. Aku kira tulisannya cukup bagus sebagai bahan renungan dan kajian. Untuk itu aku sengaja menyalinnya dan memposting kembali di blog ku ini. begini tulisannya


Sejak dahulu, perihal nol pengetahuan memang telah jadi perdebatan filosofis. Descartes berusaha menyangsikan seluruh pengetahuan purba-nya, guna mendapat ilmu pengetahuan murni (atau baru?). Karl Popper mengutuk metode berpikir deduksi. Geertz mengaplikasikan dalam metode grounded. Paling tidak, mereka ini adalah orang yang meniscayakan bahwa kegiatan berfikir sangat mungkin berawal dari nol.

Namun di ruang yang jauh, keadaannya jadi jomplang. Edward Said membuktikan bahwa intelektualisme hanyalah repetisi. Menurut Said, footnote, daftar pustaka yang berserakan menjadi bukti. Kalau tidak ada footnote atau daftar pustaka bukan berarti sebuah karangan dapat dibenarkan orisinalitasnya. Ortodoxy, dogma, hipotesa, asumsi, akan membuntuti pengarang untuk memandu setiap intelektualisme-nya. Simon Philpot dengan cantik mengkontekstualisasikan tesis ini pada diskursus politik Indonesia. Pengetahuan tidak hanya menular lewat buku saja. Novelis Ayu Utami pernah mengutarakan: ilmu pengetahuan manusia bisa ditularkan lewat darah, gnosis sanguinis. Seorang Psikoanalis Prancis, Jacques Lacan menyarankan: tidak ada subjek yang betul-betul mandiri. Perkembangan subjek terjerembab dalam mirror stage, dimana, tanpa sadar, subjek akan terus menjadi subjek-subjek yang lain. Tokoh-tokoh yang saya catat di atas, adalah segolongan orang yang anti-orisinalitas. Mereka agaknya percaya pada peribahasa dari Yunani:Tidak ada yang baru di bawah matahari.

Tanya kenapa, kenapa tanya

Malu bertanya sesat di jalan. Seingat saya, jika ingatan saya belum samar, peribahasa ini mulai di internalisasi sejak bangku sekolah dasar. Terlukis besar pada dinding, di samping imam bonjol mengendarai kuda. Kemudian hari baru saya sadari, ”tanya”, memiliki bermacam kategori yang sungguh problematik.

Tanya merupakan penanda bahwa manusia makhluk berfikir. Kemampuan bertanya adalah bukti bahwa kita eksis sebagai manusia. Tidak mungkin ada ”manusia” tanpa diawali dengan pertanyaan ”siapa saya?”. Kalau tidak percaya bahwa segala sesuatu bermula dari pertanyaan, sekarang saya tanya: adakah pengetahuan tentang sesuatu tanpa disertai pertanyaan terlebih dahulu?

Sebegitu pentingnya ”bertanya”, hingga guru/dosen tidak bosan bertanya: ”siapa yang mau bertanya”/”adakah yang ingin ditanyakan”? Kemampuan bertanya adalah harta yang mesti dibangkitkan, dipelihara, dan pada kesempatan ini, ”bertanya” akan saya pertanyakan.

Bertanya, pernah dijadikan Sokrates sebagai berhala. Bertanya adalah selera. Dia berkeliling lapangan dan pasar, untuk bertanya. Bolehlah kita sebut Sokrates adalah penggila pertanyaan. Kalau tidak gila betulan. Pertanyaan tolokan Sokrates mungkin; ”mengapa manusia tidak pernah bertanya”? Sokrates hidup dengan bertanya, matipun karena bertanya. Saking kagumnya, Plato membuat ikhtisar panjang tentang pertanyaan-pertanyaan yang pernah dipertanyakan Sokrates.

Cerita tentang Sokrates kontras dengan peribahasa yang ada di awal paragraf hulu. Zaman Sokrates, bertanya merupakan aktifitas sesat. Sedangkan pada peribahasa kita, tidak bertanya menjadi sebabnya tersesat. Apakah sikap manusia kekinian, tentang aktifitas bertanya, sudah begitu jauh berbeda dengan masa Sokrates? Bahwa di satu peradaban menjadi hujatan, di peradaban lain jadi pujaan? Pada kali ini bolehlah saya pertanyakan: Demikiankah?

Untuk memetakan mana pertanyaan yang dihujat, mana pertanyaan yang dipuja, ada 2 hal yang mesti jadi perhatian: pertama, pertanyaan murni. Kedua, pertanyaan nge-test. Saya coba meraba-meraba apa yang diasumsikan beberapa orang tentang kedua jenis pertanyaan ini.

Pertanyaan murni adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki nol pengetahuan tentang sesuatu hal yang ditanyakan. Pertanyaan murni diyakini banyak terdapat pada anak usia dini. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan murni adalah tanda seorang insan yang pembelajar dan cerdas. Wajar apabila pertanyaan murni adalah model pertanyaan yang dipuja.



Ini berbeda dengan pertanyaan nge-test. Pertanyaan nge-test adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Pengguna pertanyaan jenis ini kerap dijuluki manusia ”sok tidak tau”, inversi dari manusia ”sok tau”. Sokrates, karena disangka demen menggunakan jenis pertanyaan ini, dipaksa minum racun. Pertanyaan nge-test merupakan pertanyaan yang menjengkelkan. Oleh karena itu, dihujat.

Sekena-kenanya, itu adalah hasil rabaan saya terhadap beberapa opini tentang 2 jenis pertanyaan di atas. Namun, bagi saya, tidak sesederhana itu. Goenawan Mohammad pernah menyitir perkataan Derrida: memaafkan yang murni adalah memaafkan kesalahan yang tak mungkin termaafkan. Jika saya boleh membanting pernyataan di atas kedalam konteks persoalan ”pertanyaan”: bertanya yang murni adalah bertanya tentang pertanyaan yang tidak mungkin ada jawabannya. Proyek ini sulit sekali. Belum lagi ditambah dengan kemampuan kita untuk men ”jawab se-kena-nya”

Pertanyaan murni tidak memiliki ukuran standar. Usia sebagai ukuran, dapat dengan mudah dihancurkan. Adik saya Sekolah Dasar pernah bertanya:

-”mas, dah punya pacar?”
-”belum, dek”
-”bohong”

Tersirat: adik saya yakin, saya sudah punya pacar. Artinya, pertanyaan adik saya bukan bertolak dari nol pengetahuan.

Contoh lain ketika seorang bocah ingusan bertanya:

-mbak, tau mainanku?"

Tersirat: si bocah ingusan merasa tau, bahwa mbaknya tau keberadaan mainannya. Ilustrasi ini sinonim dengan: Mengapa saya tanya tentang ”buku teks” pada dosen saya, bukan kepada kakak saya? Itu karena saya menyimpan segenap pengetahuan sebelum bertanya. Pengetahuan yang saya punya adalah: dosen akan dapat memberikan jawaban perihal ”buku teks” dibanding kakak saya.

Menurut saya (bukan murni pendapat saya), tidak ada pertanyaan yang dimulai dari nol pengetahuan. Kalau pendapat saya ini benar, pertanyaan murni atau nge-test jadi kabur maknanya. Jikapun ada, raison d’ etre pembedaan tersebut adalah pikiran yang apriori dan sentimentil.

Jika boleh sedikit sabar dan proporsional, pertanyaan nge-test pun rupanya dapat bebas dari dilema moral, baik dan buruk. Saya punya dosen namanya Bu Sofa. Beliau adalah dosen terfavorit saya (sumpah demi Allah), yang pertamakali mengajarkan tentang marx dan foucault pada saya. Beliau acapkali bertanya pada mahasiswa tentang sesuatu yang telah diajarkan. Apakah itu adalah sebuah attitude yang buruk? Jika saya ditanya: ”Zamzam, tolong jelaskan kembali perihal pemikiran Foucault barusan”. Jelas, itu adalah pertanyaan nge-test. Apakah elok jika kemudian saya jawab: ”ibu nge-test saya?”. Ilustrasi yang se-genus dengan cerita di atas, tersebar di ruang-ruang kelas sejak PAUD hingga Universitas. Saya menyangsikan ada guru PAUD yang bertanya: ”ini warna apa anak-anak?”, padahal dia sendiri tidak punya pengetahuan tentang warna.

Menurut hemat saya, cukuplah, kegiatan bertanya dimaknai sebagai aktifitas kritis. Terlepas dari sang penanya benar-benar tidak mengerti atau cuma nge-test atau cuma iseng atau cuma basa-basi, atau cuma gojek. Cukup saya saja yang dituduh ”suka nge-test dosen”. Jika boleh menyampaikan sedikit klarifikasi dan bersikap jujur perihal ”buku teks gate”, kala itu, saya benar-benar kurang mengerti apa yang dimaksud dengan ”buku teks”. Sebab tidak mau tersesat di jalan, saya bertanya.

Tulisan ini saya harapkan, khususnya, dibaca oleh civitas akademik jurusan ilmu politik. Saya sendiri tidak menyangka, mengapa saya mesti menulis ”Tanya Kenapa, Kenapa Tanya”. Satu yang pasti, ketika saya tau, bahwa di kening saya sudah distempel mahasiswa tukang bertanya nge-test, saya merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkaranya. IP saya belum 3. Toefl saya ndak sampe 450. Masih mengandalkan google translate pula. Kuliah saya 5 tahun belum rampung. Kok seakan-akan saya adalah mahasiswa paling jago, hingga bisa ngetest-ngetest dosen. Sebenarnya, saya tidak mampu untuk menghalangi interpretasi orang lain terhadap saya. Itu adalah hak orang lain. Tapi ketika saya bisa berbicara, saya tidak mau hanya diam. Ada 2 alasan saya menulis ini: Pertama, saya tidak ingin budaya bertanya menghilang dari kelas. Kedua, saya hanya ingin menjadi seorang pembelajar. Once upon a time, Bu Ana pernah bercerita pada saya: ”kita semua adalah pembelajar”. Pernyataan tersebut benar-benar saya interpretasi, fahami, resapi dalam-dalam.

Seluruh interpretasi saya kembalikan kepada pembaca. Saya biarkan semua mengambang, tidak ada kesimpulan, tidak ada epilog.

Keadilan sudah harus ada sejak dalam pikiran....
(Pramoedya A. Toer. Bumi Manusia)

*ditulis oleh Zamzam Muhammad Fuad, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman

Senin, 04 Oktober 2010

MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Penulis : Dr. Ali Syariati
Pengantar : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993
Tebal : +185 halaman


MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Oleh: Eko Supriyadi1

“Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat. Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”Ali Syari’ati, (1933-1977)


A. FATALISME PERADABAN

Dewasa ini, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telah banyak mengalami mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengah dibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga nilai-nilai, kearifan, dan identitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan kecil yang terkontaminasi dengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil mengkristalisasikan sentimensentimen, corak-corak rasial, pandangan serta pola pemikiran masyarakatnya ke dalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya kepada bangsa-bangsa lain.

Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi eksklusif Barat. Dengan menganggap produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Barat ingin menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilainilai

spiritual mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentuk yang baru, dari kungkungan etnisitas menjadi cluster universal. Filsafat, seni, teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan makhluk bernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya ada satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Pada dataran yang lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakan teknologi-teknologi baru membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagai kampiun teknologi memanfaatkan kemampuannya untuk menarik sumber-sumber alam, sumber uang, dan kekayaan negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni oleh kaum Muslim. Dengan teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinya sebagai model dan mesin pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikut segala bentuk variasi produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik. Sehingga, negara dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuan memproduksi teknologi sendiri, di-setting sedemikian rupa agar menjadi konsumen setia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan sebesar-besarnya, Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan produknya dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat dunia rela membeli habis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya cara adalah dengan membentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif. Melalui berbagai media iklan dan propaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk tersebut seolaholah merupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib dimiliki. Kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk Barat yang sebelumnya bersifat tersier menjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara kapitalis Barat mengeruk sebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga. Pencitraan tingginya status sosial, prestise, trend, dan predikat modern dinisbatkan kepada siapapun yang mampu membeli, menggunakan dan terus mengikuti model terbaru atas produk teknologi Barat. Cara yang demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logika masyarakat dunia agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebut untuk menggunakan beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagai ikon-ikon kemajuan dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif.

Homogenisasi kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeri Muslim yang pada umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority) dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan sosial, ditambah dengan rendahnya intelektualitas, mengimpor produk kebudayaan, teknologi, dan peradaban Barat ke dalam tanah air mereka sebagai usungan jargon globalisasi dan ikon modernisasi. Sudah tentu generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dari perbenturan kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengah memegang perannya sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin Negara dan masyarakat? Sebab bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalami pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua akan segera mengakhiri tugas-tugasnya untuk digantikan, dan ia mesti mempersiapkan penerus yang lebih baik dari mereka; yaitu generasi muda. Generasi muda merupakan modal paling esensial bagi masyarakat untuk menciptakan suatu perubahan. Jika pikiran generasi muda perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudokebudayaan dan toxic peradaban Barat yang materialistik dan hedonis, sulit sekali mengharapkan perubahan positif muncul dari generasi seperti mereka.

Dengan logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyata tertumpu kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat. Sebagian besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi. Cara pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonisme” dan saudara kembarnya, “materialisme”. Dunia Muslim telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaan alam dikeruk di balik jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas.

Moralitas dan nilai dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan di balik kamuflase penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untuk memperoleh legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskan untuk menggiring umat manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiak Barat. Atas nama perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasan kemerdekan justru dihalalkan terhadap negeri-negeri Muslim.

Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang mengalami satu pendulum yang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam cengekeraman Barat, dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara yang bersih dari pengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum sedang menderita westruckness dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan moral ala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat[1].

Kenyataan ini memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidak bisa terus-menerus demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk itu melakukan perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama ritual dan profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hingga tinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.

B. PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAM

Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengan demikian ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorang penulis Perancis, ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan, cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas. Mempunyai ideologi berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quo yang sudah mentradisi dalam masyarakatnya.

Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk pemikiran lain, seperti halnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideology-ideologi yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen.

Dalam bentuknya yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal ini Islam—dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat di negeri manapun yang tertindas, baik secara cultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belum terkontaminasi oleh nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam.

Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah meyakini bahwa perubahan sosial (termasuk revolusi) dan perkembangan masyarakat tidak dapat didasarkan pada kebetulan, karena masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tak tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dan menggunakannya, dia dapat berencana dan meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatu sistem keyakinan dan bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perlu dipahami sebagai sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perlu difahami sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandang sebagai ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agama kuno dalam pikiran seorang ahli agama.

Namun demikian, proses pemihakan seorang Muslim terhadap ideologi Islam tidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi kekuatan di luar dirinya, melainkan harus terinternalisasi secara sukarela atas dasar kehendak bebasnya untuk memilih dan menentukan. Jika ideologi tidak lagi merupakan manifestasi kehendak merdeka seseorang, atau dipaksakan kehadirannya, maka ia telah kehilangan ruhnya dan berubah menjadi sekedar sebuah tradisi sosial bagian dari kebudayaan, ia telah kehilangan karakteristik aslinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):

Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri.… suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan, harapan dan keberanian.”

Terdapat perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan oleh Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan ideal kemanusiaan yang sejati.” Jika Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apapun kepada masyarakat.”.[2]

Dalam konteks praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi ritualitas individu semata, melainkan ruh yang menggerakkan hati seorang Muslim untuk menempuh aksi-aksi progresif bagi kemaslahatan umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi, agama Islam bertengger di atas keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya.

Sebagai konsekuensi karakteristik universalitasnya, Islam senantiasa hadir dalam realitas masyarakat seperti apapun bentuknya dan dalam kondisi bagaimanapun. Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif terhadap kebangunan Islam itu sendiri. Karenanya Islam adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkin segala realitas kontekstual yang sedang bergejolak dalam masyarakat, untuk selanjutnya menawarkan solusi atas permasalahan yang ada.

Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidak akan mampu menjadi khasanah untuk menemukan kebijaksanaan Islam, paling jauh hanya mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual. Seorang Islam dalam bentukan yang tidak kaffah semacam ini memandang Islamnya dari suatu jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuah tanggung jawab sosial.

Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa kaum Muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhluk yang rendah, karena ia adalah rekan Allah, teman-Nya, pendukung amanah-Nya dibumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat Allah bersujud kepadanya. Manusia bidimensional yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agama yang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini atau akherat semata, melainkan agama yang mengajarkan keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam) manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis, arsitek, sastrawan, ahli kesehatan, dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti bebas nilai, tidak bermuatan ideologis tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang yang berarti tergantung pada pemilik modal. Slogan netralitas ilmiah telah didiktekan kepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para ilmuwan haruslah menjadi jiwa yang terbelah (the split personality) menjadi dua bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dan keahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang menempati wilayah saling terasing satu sama lain. Mereka mesti menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwa dia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral, bekerja dalam dunai analisis yang menuntut semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu dan menghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri mereka ke dalam ketidakbermaknaan atas karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu, motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih besar untuk mereka dapatkan dari sekedar uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia.

Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh. Sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari, sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya mencabut ruh dari sangkar badannya. Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinya kepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal, demi mendapatkan upah yang tinggi untuk kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan, ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan peristiwa apapun yang muncul di tengahtengah masyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan bidang garap ideologi. Ketika ideologi sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, maka nilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh aktivitas mereka menjadi pragmatis.

Mereka akan kekurangan sense of humanity, kemanusiaan sudah tergadaikan oleh egoisme individualistik dan tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian sesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukan ilmuwan pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antara profesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antara kehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu adalah ulil albab, rausyanfikr yang menyimpan energi untuk menggerakkan peradaban.

C. MENJADI RAUSYANFIKR!

Rausyanfikr[3] adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideology yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik.

Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untuk memimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia mengandung pengertian yang lebih detail sebagai:

Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa/ rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh pendiri agamaagama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahanpembenahan stuktural yang mendasar di masa lampau. Mereka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para nabi, rausyanfikr tidak termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar.

Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi, merasakan desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup moralitas dan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala kebuntuan filosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realitas masyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya mewakili aksi-aksi intelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan:

Setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalah menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu, dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.

Rausyanfikr merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapan terciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang meyakini sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkan syahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan mereka adalah untuk memandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan mengidentifikasi masalah riil berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama keadilan—sebagai solusi rasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam masyarakat. Syari’ati (2001) bertutur:

Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan perkataan lain: pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah. Dia adalah kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas.

Jika boleh divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”

Wallahual’lam bishawwab.



Referensi lanjut:

Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995. “Kumpulan tulisan tentang riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia dan pemberi kontribusi besar dalam dinamika kebangunan ummat Islam.”

Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati Dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999. “Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim Indonesia yang menyoroti sosok Ali Syari'ati dalam berbagai sudut pandang keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”

Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember 2003. Analisis seputar karakteristik revolusioner Islam dalam pandangan Ali Syariati, kritik-kritiknya terhadap Marxisme, berikut analisis mengenai titik singgung dan titik seberang antara Islam dan Sosialisme-Marxisme.

Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. “Pandangan Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalam memandang manusia, pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannya dalam masyarakat, berikut analisis sosiologis masyarakat Islam.”

_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979. “Pandangan Ali Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentang masyarakat dalam kacamata Islam.”

_________, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda, Jakarta, 2001. “Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al- ur'an, serta analisis tentang karakteristik Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.”

_________, Humanisme Antara Islam dan Mahzab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996. “Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme sekuler, kritik terhadap humanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme, serta tarik menarik antara Marxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali Syari’ati secara tegas menyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab Barat.”

_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997. “Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah hajji dalam analisis mistis-filosofispolitis dalam setiap tahapan hajji.”

_________, Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992. “Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah dua mahzab Islam dan filsafat doa dalam pandangan Ali Syari'ati.”

_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986. “Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang langkah-langkah yang ditempuh umat Islam dalam upaya reinterpretasi Islam, dilengkapi dengan naskah rencana praktis Husyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung pemikiran-pemikiran revolusioner Ali Syari'ati.”

_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan Sosiologis, Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1986.

“Makna syahadah dalam tradisi Islam, karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajah

Nabi Muhammad.”

_________, Reflections of Humanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man, Free Islamic Literatures, Houston, 1980.

“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan nestapa manusia di tengah pusaran
peradaban dan ideologi dunia.”

[1] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Halaman vii-ix.

[2] Ali Syari'ati, Islamology: The Basic Design for A School of Thought and Action, dalam

http//www.shariati.com//about DR. shariati.html. 23 Maret 2003.

[3] Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris

terkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan

menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta

sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal,

Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam

menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali

Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan

Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14 – 15.

Selasa, 27 Juli 2010

Pemikiran Mohammad Natsir


Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS : Ali Imran:104

Sejarah seolah olah telah melupakan mantan Menteri Penerangan, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia dan mantan Ketua Umum Partaai Politik Islam Masyumi, Mohammad Natsir (1908-1993). Apa jasa Natsir terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagaimana model politiknya dan manfaat menelusuri kehidupan M.Natsir bagai tidak penting lagi.

Siapa Mohammad Natsir ?

Mohammad Natsir adalah seorang negarawan Muslim, Ulama intelektual, pembaharu dan politisi Muslim Indonesia yang pengaruhnya melintasi lima benua. M.Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Sumatera Barat suku Chaniago dengan gelar Datuk Sinaro Panjang dan wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun.

Natsir memulai pendidikan sejak usia delapan tahun yaitu saat memasuki HIS (Hollands Inloudse School) yang didirikan oleh H.Abdullah Ahmad tahun 1915 di Padang. Di sekolah ini Natsir hanya beberapa bulan karena dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di kota Solok dan disinilah ia mulai berinteraksi dengan sistem kolonial. Lulus HIS tahun 1923, ia melanjutkan ke MULO (Middle bare Uitgebreid Larfer Onder Weys) di Padang.

Di sini ia menjadi aktivis Pandu dari Joung Islamiten Bond (JIB) cabang Padang. Tahun 1927 ia lulus dan pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke AMS (Algemme Middlebare School) ia banyak belajar ilmu pengetahuan dari barat dan mempelajari filsafat Romawi, Yunani dan Eropa. Pada usia 21 tahun Natsir sudah menguasai bahasa Belanda, Arab, Perancis, Inggris dan Latin.

Percikan Pemikiran M.Natsir : Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.

Natsir dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemikiran sangat tinggi terhadap pendidikan. Setamat AMS, meskipun terbuka peluang baginya untuk melanjutkan pendidikan dengan bea siswa dari Pemerintah Belanda ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Belanda, Natsir memilih berkiprah di dunia pendidikan dengan mendirikan Sekolah Pendidikan Islam (Pendis).

Bagi Natsir, pendidikan merupakan persoalan yang sangat penting. Maju mundurnya suatu bangsa bergantung kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam bangsa tersebut. Ia berpendapat; tak ada satupun bangsa yang terbelakang menjadi maju melainkan sesudah mengadakan perbaikan pendidikan. Bangsa Jepang menurutnya tidak akan maju manakala mereka tidak pernah membuka pintu untuk orang-orang pintar dan ahli-ahli dari negara lain yang akan memberikan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda mereka disamping mengirim pemuda-pemudanya ke luar negeri untuk mencari ilmu dan pendidikan. Lebih khusus Natsir berpendapat; pendidikan harus didasari oleh Tauhid yang tersimpul dalam dua kalimat syahadat, tujuannya adalah mendidik anak-anak agar sanggup memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia yaitu drajat yang setinggi-tingginya sesuai dengan keyakinan kaum Muslimin.

M.Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Karena Islam, menurutnya adalah agama yang sangat menghormati akal manusia dan menyuruh agar manusia menyelidiki keadaan alam dan berguru kepada alam.

Islam mewajibkan umatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu dan menghormati mereka yang punya ilmu. Islam melarang orang untuk bertaqlid buta. Islam menggembirakan pemeluknya supaya selalu berusaha, membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak.

Sebagai ulama intelektual, Natsir meninggalkan warisan antara lain Fiqhud da’wah, Capita Selecta, dan kebudayaan Islam. Selain itu M. Natsir juga dikenal sebagi seorang guru bangsa, Pendidik umat, mujahid dakwah, dan seorang alim ( ulama intelektual ).

NATSIR dan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ( NKRI )

Sebagai negarawan, Natsir dikenang karena jasanya memulihkan Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan dengan “membubarkan” Republik Indonesia Serikat ( RIS ) hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Gagasan cerdas Natsir memulihkan NKRI melalui MOSI INTEGRAL, dilakukan Natsir melalui pendekatan yang sangat manusiawi kepada fraksi – fraksi yang paling kiri sampai paling kanan, tanpa satu orang atau satu kelompokpun yang merasa kehilangan muka. Natsir telah membubarkan RIS dan memulihkan NKRI dengan cara – cara yang sangat bermartabat.

Kebesaran Natsir melintasi lima benua sampai akhir hayatnya, Natsir bukan saja Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tetapi juga Wakil Presiden Muktamar Alam Islam, dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami. Beliau adalah sosok ulama politisi terdepan, dan seorang negarawan terkemuka.

MODEL POLITIK MOHAMMAD NATSIR

Menurut Natsir, dalam perjuangan politik, orang harus pandai – pandai menimbang – nimbang sesuatu. selain harus ada prinsip yang harus dipegang teguh, terdapat pula ruang untuk berkompromi atas dasar saling memberi dan menerima.

Keanekaragaman dalam masyarakat menurutnya merupakan sunnatullah. Kemajemukan baik dari segi etnik, agama maupun aliran politik tidaklah menjadi halangan untuk membangun kerjasama yang harmonis atas kepentingan besama. Masyarakat yang majemuk menurut natsir memerlukan kalimatun sawa yakni titik temu bersama.

Baginya politik adalah sebuah seni yang memerlukan kehalusan, keindahan tersendiri. Kita harus mencapai sasaran tanpa lawan – lawan merasa terkalahkan, politik haruslah ditundukan pada etika yang tinggi. Dengan cara itu keinginan untuk berkuasa sendiri dan menghabisi orang – orang yang tak sepaham dengan menghalalkan segala cara harus dihindari.

POLITIK LUAR NEGERI BEBAS-AKTIF KABINET NATSIR

M.Natsir adalah pribadi yang sederhana. Jauh dari kecintaan terhadap harta benda. bahkan ketika menjadi menteri penerangan beliau pergi ke kantor dengan menaiki sepeda ( ngontel ) dan memakai baju dengan tambalan.

Dibalik kesederhanaannya, M. Natsir merupakan sosok manusia yang memiliki ide cemerlang dalam bidang politik yang sampai saat ini masih belum tergantikan, yaitu pemikirannya tentang kebijakan luar negri Indonesia yang bebas aktif. Istilah ini dimunculkan Natsir saat beliau menjadi Perdana menteri.

Ketika ditanya oleh parlemen mengenai politik luar negeri bebas yang akan dikembangkannya, Natsir menjelaskan bukan politik bebas yang pasif, tetapi politik bebas yang aktif. Banyak orang lupa, politik luar negeri bebas aktif adalah politik luar negeri Natsir, yang masih terus dipakai oleh berbagai kabinet, jauh sesudah natsir tidak lagi menjadi perdana menteri. Politik luar negeri bebas aktif Kabinet Natsir berbeda dengan mengayuh diantara dua karangannya Mohammad Hatta yang lebih dekat kepada Politik luar negeri yang netral.


Selasa, 20 Juli 2010

Jaringan Masyarakat Sipsil (Jams) Lapor, BK Janji Menindaklanjuti


KEJAKSAN – Dugaan adanya aliran dana dari direksi PDAM ke Komisi B DPRD, memasuki babak baru. Isu miring yang menerpa institusi wakil rakyat itu resmi dilaporkan aktivis Jaringan Masyarakat Sipil (Jams), Muhamad Rafi SE, Senin (19/7). Laporan yang juga melampirkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, langsung diterima Ketua DPRD, Drs H Nasrudin Azis SH dan Wakil Ketua Badan Kehormatan Soenarko Kasidin.

“Saya menepati janji untuk membuat laporan. Masalah ini perlu mendapatkan penyelidikan, dan bila terbukti pelakunya harus ditindak. Ini adalah bentuk pelajaran bagi anggota dewan untuk berkinerja,” ujar Rafi sesaat setelah menyerahkan berkas laporan.

Rafi mengaku kecewa dengan proses penanganan sejumlah masalah oleh DPRD yang selalu berakhir bias. Dorongan tersebut yang melatarbelakangi dirinya membuat laporan agar dugaan aliran dana dari direksi PDAM ke komisi B bisa diusut tuntas, dan oknum DPRD yang menerima dana mendapatkan sanksi. “Selama ini penanganannya selalu bias, saya membuat laporan agar masalah ini diusut tuntas,” ucap dia.

Rafi berharap, persoalan tersebut bisa memasuki tahapan penyelidikan oleh BK. Seperti yang dijanjikan Anggota BK, Agus Talik yang mengatakan akan melakukan penyelidikan bila ada pelapor. “Sekarang sudah ada pelapor, silakan ditindaklanjuti,” katanya.

Dia juga berharap agar BK serius dalam menyelidiki persoalan tersebut. Apalagi, setelah sempat dihembuskan opini bahwa kartu anggaran PDAM yang menjadi buah bibir di media massa disebut tidak benar. Padahal, kartu anggaran itu adalah asli dari internal PDAM, termasuk lampiran anggaran representasi direksi. “Saya lampirkan semuanya, kartu anggaran, anggaran representasi direksi dan hasil audit BPK,” ungkapnya. Sementara itu, Wakil Ketua BK, Soenarko Kasidin, menjanjikan bakal segera membahas dokumen-dokumen laporan yang disampaikan masyarakat. “Dibahas dulu di internal BK,” ucapnya.

http://radarcirebon.com/2010/07/20/jams-lapor-bk-janji-menindaklanjuti/

Peraturan Walikota Bunuh Sekolah Swasta

Hasil Rapat, FKKSS Berencana PTUN-Kan Perwali PPDB
KESAMBI – Akibat PPDB tahun ini, nasib sekolah swasta nyaris di ujung tanduk. Ungkapan keprihatinan mendalam itu disampaikan Forum Komunikasi Kepala SMP/MTS (FKKSS) Se-Kota Cirebon, Agus Sunandar SPd. Menurutnya, Perwali PPDB Nomor 15 tahun 2010 itu telah membunuh sekolah swasta. “Perwali ini telah membunuh sekolah swasta,” ujarnya, Kamis (15/7).

Bagi Agus, akibat Perwali dan pelaksanaan PPDB tahun ini, sebagian besar sekolah-sekolah swasta sudah dalam kondisi kolaps. Pasalnya, tidak sedikit siswa yang telah mendaftar ke sekolah swasta, namun mendaftar lagi ke sekolah negeri dan diterima di negeri. Padahal saat itu pendaftaran PPDB telah ditutup.

“Saya tidak tahu kenapa kok bisa begitu. Padahal sudah jelas pendaftaran sudah ditutup,” terangnya kepada koran ini saat ditemui di ruang kerjanya di SMP Widya Utama.
Menurutnya, kehancuran sekolah swasta jauh-jauh hari sudah dikhawatirkan para pengelola sekolah swasta dengan pemberlakuan kuota 90:10. Sebab, pada mulanya siswa yang menimba pendidikan di sekolah swasta, sebagian besar berasal dari siswa Kota Cirebon. Sedangkan luar kota sangat sedikit. Sementara di sekolah negeri siswa luar kota mulanya sebesar 40 persen. Artinya, kuota ini sama saja tidak memberi kesempatan sekolah swasta untuk maju.

”Sekarang harapannya kan bagi yang tidak tertampung di negeri, siswa bisa bersekolah di swasta. Tapi praktiknya tidak, yang tersisa itu masih juga diambil sekolah negeri. Setelah pengumuman kelulusan, penerimaan masih saja dilakukan. Apakah negeri passing grade-nya berubah setelah pengumuman, atau melakukan dengan cara lain, yang saya sendiri tidak mengerti cara apa itu,” ungkapnya.

Tidak kalah penting, kata dia, Perwali dibuat tanpa dasar hukum yang detail. Perwali itu adalah bentuk diskriminasi pendidikan. Padahal pasal 2 ayat 1 UU Sisdiknas berbunyi, Pemda wajib memberi pelayanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu, bagi setiap warga negara, tanpa diskriminasi. Pasal 4, 5 dan 6 UU Sisdiknas juga menyiratkan seperti itu.

Lebih parah lagi, sambung Agus, Perwali sudah bertabrakan dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2. Sudah diketahui secara luas, bahwa pembiayaan pendidikan di setiap daerah tidak melulu dibiayai oleh daerah, justru mayoritas didanai APBN dan APBD Provinsi. Lalu bagaimana dengan anak-anak Kota Cirebon yang bersekolah di luar Kota Cirebon, berkuliah di banyak daerah di nusantara.

”Boleh semangatnya otonomi. Tapi jangan lupa bingkainya tetap NKRI. Pengelola kota ini harus tahu dan sadar akan itu. Peraturan yang di bawah tidak boleh berlawanan dengan peraturan yang lebih tinggi,” ucapnya.

Menyikapi kondisi ini, Agus mengatakan dalam rapat FKKSS tentang evaluasi PPDB kemarin, sempat mencuat wacana untuk mem-PTUN-kan Perwali. Wacana ini juga telah mendapat dukungan dari para guru-guru swasta, karena ini menyangkut nasibnya. ”Tolong dengar wahai pemimpin kota ini. Lihat langsung di bawah sini,” pungkasnya.

Terpisah, Wakil Ketua Bidang Politik dan Kebijakan, DPD KNPI Kota Cirebon, Hartoyo mengatakan bercermin dari keadaan yang ada, sangat mendesak untuk mengevaluasi Perwali.

http://radarcirebon.com/2010/07/15/perwali-bunuh-sekolah-swasta/

Jam Pelajaran Bahasa Cirebon Minim


CIREBON – Meski Cirebon memiliki bahasa sendiri, namun bukan berarti bahasa Cirebon menjadi salahsatu pelajaran yang dianggap penting di sekolah, dan menjadi muatan local (mulok). Sehingga perlu dilakukan upaya untuk melestarikan dan memperjuangkan agar Bahasa Cirebon bisa bersaing dengan pelajaran lain.

Kapala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporbudpar) Drs Abidin Aslich, mengungkapkan, saat ini jumlah jam pelajaran Bahasa Cirebon di Kota Cirebon masih sangat minim.
“Untuk SD dalam satu minggu hanya 30 menit/minggu dan SMP 45 menit/minggu. Sedangkan untuk SMA/SMK saat ini pelajaran Bahasa Cirebon sudah tidak ada. Kami berharap dalam satu minggu pelajaran Bahasa Cirebon minimal 2 jam pelajaran, sama dengan pelajaran lainnya,” kata dia kepada Radar di sela-sela kegiatan pelatihan Bahasa dan Sastra Cirebon, Jumat (16/7).

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, Disporbudpar menggelar pelatihan bahasa dan sastra Cirebon yang diikuti guru SD, SMP, dan pengawas sekolah. Nantinya, dari hasil pelatihan tersebut bisa dijadikan dasar bagi Disporbudpar untuk mengajukan penambahan jam pelajaran Bahasa Cirebon di SD dan SMP.

“Dalam pelatihan tersebut, kami menghadirkan narasumber ahli sejarah dan ahli bahasa yakni Askadi Sastra Suganda,” ujarnya.

Mantan staf ahli walikota ini mengungkapkan, pihaknya perlu melakukan pelatihan Bahasa Cirebon karena saat ini generasi muda telah jauh dari bahasa ibu, yakni Bahasa Cirebon. Sebab, jika tidak diproteksi sejak dini, bukan tidak mungkin keberadaan Bahasa Cirebon akan punah. “Jika Bahasa Cirebon punah, maka secara tidak langsung kebudayaan Cirebon juga akan punah,” ungkap Abidin.

Lebih lanjut, dia menyatakan, Bahasa Cirebon memiliki keunikan sendiri dibandingkan dengan bahasa daerah lainnya. Sebab, dalam Bahasa Cirebon terdapat beberapa serapan bahasa asing seperti Bahasa Cina, Arab, dan Inggris.
“Mudah-mudahan dengan mengajak para guru untuk pelatihan ini, bisa mengajarkan Bahasa Cirebon kepada siswa sejak usia dini seperti SD,” tandas mantan kepala Kesbanglinmas ini.

Sedangkan, Wakil Walikota H Sunaryo HW SIP MM saat membuka acara berharap agar Bahasa Cirebon bisa menjadi pelajaran mulok pada setiap tingkatan pendidikan sejak SD hingga SMA/SMK.

Tidak hanya itu, wawali juga mengatakan, dalam sensus penduduk beberapa waktu lalu, Cirebon sudah menjadi suku tersendiri di Jawa Barat. Sehingga, sebagai warga Cirebon harus bangga, termasuk dengan menggunakan Bahasa Cirebon dalam pergaulan sehari-hari.

“Mungkin kita belum bisa seperti di Jogja yang mengharuskan PNS untuk berbahasa Jawa dalam waktu tertentu. Tetapi minimal kita telah mengimbau kepada PNS untuk mengenakan batik 2 kali dalam seminggu. Bukan tidak mungkin, ke depan ada upaya dari pemerintah untuk menggunakan Bahasa Cirebon dalam waktu-waktu tertentu,” paparnya.

http://radarcirebon.com/2010/07/17/jam-pelajaran-bahasa-cirebon-minim/

Radar Cirebon Online, 20 Juli 2010

Perwali tentang Penerimaan Peserta Didik di Kota Cirebon

KEJAKSAN – Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2010 di Kota Cirebon telah usai beberapa hari lalu. Namun, sejumlah pihak menganggap banyak kekacauan yang dipicu dengan adanya peraturan walikota (Perwali) PPDB No 15/2010. Mulai soal pembatasan kuota 90:10, minimnya siswa sekolah swasta, sampai titip menitip PPDB.

Menanggapi hal tersebut, Walikota Subardi SPd mengatakan, keberadaan Perwali PPDB dibuat untuk mengatur persoalan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaan PPBD. “Bahkan sebelum disahkan, perwali tersebut sudah disepakati bersama-sama oleh semua pihak,” kata dia kepada Radar, Senin (19/7).

Walikota menegaskan, harus ada kejelasan apakah kekacauan yang dimaksud disebabkan perwali atau hanya ekses dari adanya perwali. “Jika mau meninjau keberadaan Perwali PPBD, maka apakah itu yang menyangkut perwali atau ekses dari keberadaan perwali itu sendiri,” jelasnya.

Setiap tahun, lanjutnya, Pemkot Cirebon selalu melakukan perubahan dan evaluasi terhadap aturan PPDB untuk mengetahui kekurangannya. Dalam pembuatan perwali tersebut, Subardi mengaku, hanya berupaya mengakomodir apa yang berkembang di masyarakat, terkaitan persoalan PPDB. “Yang jelas, keberadaan Perwali PPDB demi mengakomodir dan untuk kepentingan pendidikan warga Kota Cirebon,” tandas Subardi sembari menegaskan bahwa Perwali PPDB No 15/2010 tersebut sudah tepat untuk mengatur pendidikan di Kota Cirebon.Rata Penuh
“Kalau Perwali PPDB sudah benar, tinggal bagaimana mengimplementasikannya di lapangan. Selanjutnya, setelah pelaksanaan PPDB, akan ada evaluasi tingkat kota, apakah langsung kepada saya, oleh kadisdik, atau melalui sekda,” tegas dia.

Sementara, Sekretaris Daerah (Sekda) Drs H Hasanudin Manap MM mengungkapkan, jika Perwali PPDB dilaksanakan dan diikuti oleh semua pihak, sekolah swasta dipastikan tetap akan kebagian murid.
“Sebab dalam perwali tersebut, sudah diatur tentang berapa lulusan SD dan kebutuhan SMP, dan berapa lulusan SMP dengan kebutuhan SMA/SMK yang ada,” ungkap dia.
Sehingga, jika ada keluhan dari beberapa pihak yang menyebutkan bahwa keberadaan perwali membuat kekacauan dalam PPDB, maka hal itu tidak benar. Sebab, jika perwali tersebut dilaksanakan dengan benar, maka masih banyak siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri.
“Sebab, sebelum membuat Perwali PPBD, Pemkot Cirebon telah memperhitungkan nantinya sekolah swasta tetap akan kebagian siswa dalam PPDB,” tandasnya.

Radar Cirebon Online, 20 Juli 2010
http://radarcirebon.com/2010/07/20/perwali-demi-kepentingan-warga-kota/

Sabtu, 17 Juli 2010

SAINS, AGAMA DAN KEYAKINAN

Makna sains di sini tidak hanya sekedar keilmuan dalam lingkup akademis, tetapi mencakup pengetahuan yang tersistemasikan dalam alam pemikiran manusia tentang berbagai hal yang bisa diukur dengan data-data kualitatif dan kuantitatif. Jadi sains akan lebih meluas maknanya dan fungsinya dalam perilaku manusia dalam mengelola kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, barangkali sains merupakan amanat Tuhan yang diemban oleh manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Menurut Sahirul Alim, sains menjadi salah satu persoalan yang dipelajari manusia, di samping syariat agama, teknologi dan seni.[1] Sehingga mau tidak mau, manusia muslim harus berilmu dan beramal untuk kepentingannya sendiri dalam lingkup interaksi Ketuhanan dan kemanusiaan.

Al-Quran secara baik merekam bahwa sains itu sudah seusia manusia sendiri dan begitu juga dengan agama, terlepas dalam motif dan nalar apa manusia beragama. Ketika Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, maka Tuhan juga memberikan seperangkat persepsi keilmuan untuk tugas-tugas fungsional kemanusiaan. Dalam hal ini berarti Tuhan tidak membiarkan manusia (Adam) “tersesat jalan” dalam mengaplikasikan kehendak Tuhan dalam menata konsep diri dan alam semesta. Ada tugas (atau penugasan) berarti pula ada term of reference yang menjadi acuan dan rujukan dalam menjalankan tugas tersebut secara baik dan benar. Dan Adam sudah diberikan Tuhan seperti itu. Karena itu, Adam secara sadar akan terus menampakkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang “cerdas”, dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lainnya. Dalam penampakan sebagai makhluk cerdas ini, Adam (baca: manusia) tentunya akan berdialektika dan berinteraksi dengan realitas kealaman sebagai bentuk wujud dari eksistensi Tuhan.

Maka tradisi Adam itu diwariskan juga kepada para nabi-Nya, agar kesinambungan kekhalifahan itu tidak mandeg. Namun Tuhan hanya memberikan ilmu kepada manusia (khususnya) sangatlah sedikit. Karena itu pembacaan manusia terhadap ilmu Tuhan itu berarti “Ilmu Tuhan itu tidak terhingga” dan “Ilmu makhluk sedikit tidak terhingga”. Dengan pembacaan yang seperti ini, menggambarkan bahwa manusia itu sesungguhnya sangat bodoh[2] dan tidak mempunyai citra kecerdasan, bila tidak mau dan mampu membangun interaksi dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Keterbodohan ini akan semakin meningkat, ketika manusia justru melawan Tuhan dan menanggalkan peran kekhalifahannya itu.[3] Dengan demikian, manusia tidak layak menyandang gelar kebodohan, kalau ia masih ingin eksis dalam kediriannya.

Dalam kesedikitan ilmu Tuhan itu, Tuhan tidak membiarkan manusia tetap dalam kebodohannya dan berada dalam gua kediriannya yang mencerminkan ketertutupan fitrahnya. Tuhan memberikan ciptaan-Nya yang terhampar luas dalam dunia kasat mata, termasuk diri manusia itu sendiri. Karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk iqra` dalam proses pewahyuan kepadanya. Perintah iqra` ini bermakna sangat luas, karena obyek iqra` ini tidak hanya apa yang tertulis (teks), tetapi mencakup realitas keghaiban, realitas sosial sebagai perwujudan eksistensi kedirian makhluk-Nya.

Karena itu menjadi tugas manusia untuk meng-iqra`-i Tuhan dengan semua ciptaan-Nya, termasuk diri manusia itu sendiri. Tuhan memberikan cara dalam membimbing manusia untuk iqra` ini supaya ke-Ghaiban Tuhan dan realitas makhluk-Nya di dunia ini bisa terjelaskan dalam kesadaran kosmis manusia. Adapun cara itu adalah melalui wahyu (wahyu tertulis yang terdiri dari Al-Quran dan hadits Nabi) dan fenomena alam semesta (Al-Kaun).

Wahyu tertulis memuat beberapa konsep dan bahasa serta kalam Tuhan dalam berbagai hal yang menyangkut syariat, muamalah, akidah, akhlak, maupun kehendak Tuhan yang tidak berkaitan dengan “kewajiban” terhadap manusia yang terkodifikasikan dalam Al-Quran maupun sunnah-sunnah Nabi. Tuhan membicarakan diri-Nya juga dalam wahyu tertulis ini. Maka, manusia yang mengimani-Nya harus membaca dan menangkap secara substansial dan literal dari wahyu tertulis ini.

Sedangkan Al-Kaun lebih luas dan meluas dalam pemahamannya, bahkan cenderung tak terbataskan dalam pembacaan terhadap lembarannya. Al-Kaun akan memperkuat wahyu tertulis untuk membentuk manusia yang kaffah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran sendiri. Al-Kaun juga banyak dibicarakan dalam Al-Quran, sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya menjadi dua sumbu yang mengantarkan akan eksistensi hakiki Tuhan dan ketundukan dalam keterbatasan ciptaan-Nya, terutama sekali manusia, yang diberi amanat sebagai khalifah dan diberikan sebuaah kitab suci untuk selalu membangun interaksi dengan Tuhan dan makhluk-Nya itu.

Untuk membaca Al-Kaun ini, Tuhan memberikan potensi yang lebih baik, yakni akal. Dalam pemikiran Sahirul Alim, akal ini menjadi anugerah Tuhan yang sangat berharga, sehingga manusia mampu berfikir kritias dan logis. Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW membawa sifat memuliakan sekaligus mengaktifklan kerja akal serta menuntunnya ke arah pemikiran Islam yang rahmatan lil alamin. Maka Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya dan agamanya, serta mampu membuat argumen yang rasional tentang keberagamaan dan keyakinan-keyakinanya. Dengan begitu, maka segala putusan dan perilaku yang dilaksanakannnya merupakan artikulasi dari nilai-nilai keislaman dan pertimbangan rasional yang matang, yang sudah terinternalisasikan dari dalam pribadinya. Di samping akal, juga ada karunia kemampuan lainnya, seperti kognitif, emosif dan afektif dan kemampuan jasmani (panca indera).[4]

Akal akan membantu dan menyeimbangkan kesadaran dan aksi pembacaan terhadap ilmu-ilmu Tuhan yang tidak tersimbolkan dalam wahyu tertulis. Akal akan mengurai dan menganatomi hakikat dan makna terdalam yang ditulis oleh Tuhan dengan bahasa alam (Al-Kaun). Tetapi, akal tidak juga secara bebas dalam menjustifikasi kebenaran tentang makhluk-Nya. Keimanan menjadi kunci pokok untuk kesempurnaan pemahaman dan pembacaan terhadap segala sesuatu yang disediakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah maupun hamba-Nya.

Karena itu, keimanan dan akal akan melahirkan kemampuan ganda, yakni kemampuan membangun hablum min Allah dan kemampuan mengartikulasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan di dunia ini, yang tentunya dengan seperangkat pemahaman yang benar.

Tentang Wujud Materi dalam Sains

Ketika anda melihat ke luar jendela, anda berpikir bahwa anda melihat sebuah citra dengan kedua mata anda, demikianlah yg diajarkan kita selama ini. Sesungguhnya, bukan begitu cara kerjanya. Anda tidak melihat dunia ini dengan kedua mata anda, tetapi anda melihat citra yang tercipta dalam otak anda. Ini bukan sebuah perkiraan, spekulasi filosofis, melainkan kebenaran ilmiah.

Setiap orang sepanjang hidupnya menyaksikan segala hal di dalam otaknya dan tidak dapat menjangkau benda-benda material tertentu yang dianggap mengakibatkan apa yang dialaminya. Citra-citra yang kita lihat adalah salinan di dalam otak kita dari benda-benda yang kita asumsikan ada di luar diri kita. Kita tidak pernah tahu sebatas manakah salinan-salinan tadi sesuai dengan wujud aslinya, atau apakah wujud aslinya itu sendiri memang ada atau tidak. Pernahkah kita berpikir apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan itu sama dengan apa yang di lihat, didengar, dan dirasakan oleh orang lain? Wallahu’alam

Apa yang ada di depan kita dengan bentuknya yang utuh dan apa yang dipandang oleh mata kita bukanlah ”dunia” ini. Ia hanyalah bayangannya saja, suatu penyerupaan, sebuah proyeksi yang hubungannya dengan wujud aslinya masih terbuka untuk diperdebatkan.

Terkait dengan persoalan ini, maka ketika ada yang mempertanyakan wujud Allah yang tidak ”nyata” atau tidak ”nampak” sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Karena apa yang kita lihat dan kita pegang pun sebenarnya masih bersifat asumsi bahwa benda itu memang ada dan berbentuk seperti ”itu”, dan asumsi ini berdasarkan citra yang terbayang dalam otak kita. Oleh karena itu betapa banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk ”membaca”, berpikir, merenungkan tentang semua ciptaan Allah ketika seorang mahluk hendak mengetahui dan mengenal ’wujud’ Tuhannya.

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir. (Yunus: 24)

Untuk permasalahan ini, Allah menjawabnya dalam Al-Qur’an bahwa keberadaan Allah sangat dekat dengan hamba-Nya seperti yg diterangkan dalam surat berikut ini:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah: 186)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (Al-Qaaf: 16)

Sistem Keyakinan dalam Islam

Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.

Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia.

Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal.



[1] Sahirul Alim, Sains, Teknologi, dan Islam, Yogyakarta: Dinamika, 1996, hlm. 85.

[2] Bodoh di sini tidak berarti tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Tetapi kebodohan yang menunjukkan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menangkap sinyal-sinyal Ke-Tuhanan dan pesan-pesan Tuhan dalam bahasa manusia dan kebumian.

[3] Ada seorang sufi yang membagi manusia menjadi empat macam, yakni (1) manusia yang mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (2) manusia yang mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (3) manusia yang tidak mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu memang tidak berpengetahuan; (4) manusia yang tidak mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu memang tidak mengerti.

[4] Sahirul Alim, Sains, …hlm. 60.

Kamis, 08 Juli 2010

Ramalan kiamat dalam lukisan "Perjamuan Terakhir"


VIVAnews - Leonardo Da Vinci tak hanya seniman berbakat dan ilmuwan yang jenius. Dia juga seorang peramal.

Leonardo Da Vinci bahkan meramalkan akhir dunia. Menurut Da Vinci, pada 21 Maret 4006, Bumi akan dilanda banjir bah. Bencana mahadahsyat itu akan berujung pada kiamat pada 1 November 4006.

Prediksi Da Vinci ditemukan oleh peneliti Vatikan, Sabrina Sforza Galitzia yang bekerja di bagian arsip Vatikan. Galitzia menduga, sang jenius asal Italia itu menyisipkan prediksinya dalam bentuk kode.

Kode-kode kiamat itu disisipkan dalam lukisan mahakarya Da Vinci, "The Last Supper' atau 'Perjamuan terakhir'. Kata Galitzia, lukisan itu mengandung puzel astrologi dan matematika.

Galitzia yang pernah meneliti manuskrip Da Vinci di Universitas California mengatakan, bentuk setengah lingkaran di atas lukisan Yesus dan para muridnya saat perjamuan terakhir sebelum peristiwa penyaliban, mengandung kode-kode tersembunyi. Setengah lingkaran yang dimaksud berada di tengah (lihat gambar).

"Di sana ada 'Da Vinci code', kode Da Vinci -- bukan hanya kode yang dipecahkan Dan Brown," kata Galitzia seperti dimuat laman New Kerala.

Kode Da Vinci tentang kiamat memakai simbol zodiak dan menggunakan 24 huruf latin -- pengganti simbol 24 jam dalam waktu satu hari. Namun, tak dijelaskan bagaimana simbol-simbol dalam lukisan tersebut bisa dibaca sebagai sebuah prediksi tentang kiamat. Kebiasaan Da Vinci menyelipkan kode atau pesan dalam lukisannya diakui Galitzia sebagai tuntutan zaman. Da Vinci yang ilmuwan hidup di masa-masa sulit, dia harus lincah menghindar dari tudingan bidah oleh gereja.

Mahakarya Da Vinci, 'The Last Supper' berukuran 460 cm x 880 cm, menutupi seluruh bagian dinding di Biara Santa Maria delle Grazie di Milan. Da Vinci memulai proyek lukisannya pada 1495, dan menyelesaikannya pada 1498.

Kode dalam lukisan yang sama sebelumnya diungkap Dan Brow dalam 'The Da Vinci Code' tahun 2003. Teori Dan Brown menghebohkan publik. Dalam bukunya, Dan Brown mengatakan sosok yang duduk di sebelah kanan Yesus bukan Yohanes- seperti anggapan publik.

Sosok yang memakai selendang senada baju Yesus adalah Maria Magdalena -- istri Yesus yang mengandung anak Sang Mesiah saat peristiwa penyaliban. Dalil Dan Brown mendapat bantahan dari gereja.

(Sumber:Vivanews.Com)

Selasa, 06 Juli 2010

Komunisme dan Pancasila

Oleh G Moedjanto


Pada pemerintahan Gus Dur, pernah dilontarkan gagasan untuk mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan atas penyebaran paham dan organisasi komunis di Indonesia.

Saya mencoba untuk menjelaskan bagaimana kedudukan paham komunis berhadapan dengan paham negara Pancasila. Untuk itu saya ajak pembaca mengawali dengan mencermati ciri-ciri pokok ajaran komunisme, kemudian ajaran Pancasila, Pancasila lawan komunisme, pentingnya studi tentang komunisme, dan bagaimana kita menyikapi komunisme.

Ciri pokok ajaran komunisme

Adapun ciri pokok pertama ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis, tidak mengimani Allah. Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada. Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.

Ciri pokok kedua adalah sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. Manusia itu seperti mesin. Kalau sudah tua, rusak, jadilah ia rongsokan tidak berguna seperti rongsokan mesin. Komunisme juga kurang menghargai individu, terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi.

Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis. Pemerintah komunis di Rusia pada zaman Lenin pernah mengadakan pembersihan kaum kapitalis (1919-1921). Stalin pada tahun 1927, mengadakan pembersihan kaum feodal atau tuan tanah.

Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.

Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertentangan dengan demokrasi. Salah satu pekerjaan diktator proletariat adalah membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah dan kapitalis.

Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada partai oposisi.

Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.

Ajaran Pancasila

Bagaimana halnya dengan Pancasila? Pancasila mengajarkan manusia untuk mengimani Allah, pencipta alam raya beserta isinya. Hidup manusia tergantung pada Allah. Ada juga kepercayaan tentang sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan manusia). Orang meninggal ditanggapi dengan pernyataan dari Allah kembali kepada Allah, atau kembali ke rumah Bapa.

Pancasila mengajarkan penghargaan atas manusia sebagai pribadi. Manusia dihormati karena kodratnya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Padanya terdapat budi yang luhur, yang bersedia memperlakukan orang lain dengan kasih sayang.

Pancasila, yang terdiri atas lima sila itu jelas menghormati HAM, yakni dari kebebasan beragama dan beribadah, kemanusiaan yang adil dan beradab, persaudaraan sesama bangsa, demokrasi dengan musyawarah, dan akhirnya keadilan sosial.

Pancasila mengajarkan cinta bangsa dan tanah air. Namun, hal itu diimbangi dengan cinta sesama manusia. Jadi, cinta bangsa dan tanah air itu ada dalam kerangka keluarga besar umat manusia. Maka, benarlah kata orang bahwa human kind is one (kemanusiaan itu satu).

Demokrasi Pancasila mengajarkan prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, meski mungkin harus dengan pemungutan suara, karena tidak tercapainya mufakat.

Dalam usaha meningkatkan keadilan sosial, Pancasila bukan saja memperbolehkan, tetapi malahan mendorong, individu berperan secara proaktif dalam proses produksi. Maka, banyak perusahaan yang dimiliki oleh individu didirikan.

Pancasila tidak hanya mengajarkan kebahagiaan material, tetapi juga batin. Jadi, memburu mutu kehidupan yang berimbang: kebahagiaan dan ketenteraman lahir batin.

Pancasila lawan komunisme

Dengan mencermati ciri-ciri itu sudah dengan sendirinya tampak adanya pertentangan antara dasar filsafat dan ideologi Pancasila dengan komunisme. Jadi, antara Pancasila dan komunisme tidak mungkin dipersekutukan. Itu ibaratnya minyak dan air. Atau kucing dan anjing, yang tidak mungkin ditaruh dalam satu sangkar, karena pasti bertarung.

Namun, andaikata pemerintah akan memperbolehkan adanya `komunisme di Indonesia dengan mencabut Tap XXV/MPRS/1966, itu hanya sampai taraf hidup berdampingan di atas landasan dasar filsafat dan ideologi Pancasila.

Pengalaman sejarah menunjukkan, PKI pernah mengalami dan menerima Pancasila sebagai dasar filsafat dan ideologi negara, kemudian mbalelo (berkhianat). Pemerintah, pada tahun 1960-1965 meminta PKI agar memasukkan Pancasila ke dalam anggaran dasarnya. Karena itu, keberadaannya diakui. Bung Karno percaya, PKI mau menerima Pancasila secara lahir batin, sehingga ia berani mengajarkan prinsip persatuan Nasakom. Peristiwa G30S/PKI mengesankan PKI menipu presiden, para pembesar RI, dan rakyat yang bukan komunis.

Studi tentang komunisme

Kalau orang Indonesia sekarang ditanya mengapa saudara menentang komunisme, kemungkinan tidak dapat menjawab, kecuali mengatakan hal-hal klise, seperti komunisme itu ateistis, anti-ketuhanan. Atau, mungkin takut berbeda pendapat, padahal ia harus menyanyikan lagu yang sama, nyanyian "Anti-komunisme". Jadilah orang Indonesia naif karena menentang komunisme tanpa memahami perihal komunisme.

Supaya kita tidak naif, komunisme perlu dipelajari. Ia bukan momok (makhluk menakutkan, tetapi tidak berwujud). Sekolah-sekolah, setidaknya mulai SMU/SMK, perlu mengenalinya, bukan untuk menganutnya, tetapi untuk menolaknya secara sadar. Dengan mengenalinya kita justru memperkuat kedudukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dengan mengenalinya, kita tidak lagi dapat ditipu oleh orang-orang atau gerakan-gerakan komunis.

Jangan takut jangan terima

Ada trauma (ketakutan besar) terhadap PKI karena anggapan akan keganasannya dalam pemberontakan tahun 1948 dan 1965. Benarkah rakyat takut? Ataukah elite sosial-politik yang takut? Atau rakyat tanpa memahaminya dibuat takut oleh elite sosial-politik? Jika kita mengenali komunisme dengan baik, lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya, kita tidak perlu takut berhadapan dengan komunisme. Pemahaman kita tentang komunisme akan menjadi suatu modal penting untuk menolak komunisme. Jadi jangan takut kepada komunisme, sekaligus jangan menerima komunisme.

Modal penting lain untuk menentang komunisme adalah kemakmuran rakyat. Komunisme memang sangat menarik rakyat jelata yang miskin. Hal itu bukan saja terlihat dan terasa dari propaganda ajarannya, tetapi juga karena tindakan-tindakan nyata untuk mencukupi kebutuhan material mereka.

Ambilah contoh RRC. Rakyat Cina berjumlah lebih dari 1,1 milyar. Kita tak pernah dengar kelaparan dan ketelanjangan di Cina. Karena komunisme di sana mampu memenuhi janji memakmurkan rayat; komunisme di Cina laku. Namun, supaya tetap laku, komunisme Cina mengalami liberalisasi. Secara fisik dapat mencermati busana pemimpin RRC sekarang, bukan jas tutup lagi seperti Mao Zedong dan Chou En Lai, melainkan jas buka seperti Bill Clinton atau Antony Blair.

Dalam bidang ajaran, RRC juga mengadakan liberalisasi, seperti merebaknya kebebasan beragama dan beribadah. Jadi komunisme asli tidak ada lagi.

Nah, selama negara dapat memakmurkan rakyat, rakyat/kita tak perlu takut akan bahaya laten komunisme. Sebaliknya, kita bahkan harus mampu menjinakkan komunisme menjadi "makhluk" baru yang bersahabat dengan kita yang bukan peng anut komunisme. Dunia kita bukan dunianya Stalin atau Leonid Breznev, bukan juga Mao Zedong dan Chou En Lai, bukan juga zamannya Musa dan Aidit, tetapi sudah zaman detente (pendekatan). Globalisasi tidak hanya menyangkut negara kapitalis, tetapi juga negara komunis dan negara non blok. Globalisasi itu membawa reformasi. Komunisme di Indonesia, kalau TAP XXV jadi dicabut, harus direformasi juga. Ia bukan saja menghormati HAM, tetapi lahir batin harus menjunjung tinggi Pancasila.

Semoga uraian ini menambah wawasan perihal komunisme dan bagaimana kita yang berpegang pada paham negara Pancasila menyikapi komunisme.


*) G Moedjanto, Sejarawan dan Dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/12/OPINI/komu04.htm