SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Selasa, 11 Juni 2013

Perempuan Aceh dalam Lampu Sorot tanpa Suara

Aceh pasca konflik tak hanya soal meniti pembangunan dan kesejahteraan, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2006 yang menegaskan hak istimewa untuk membuat berbagai peraturan daerah. Kompleksitas yang muncul akibat limpahan dana asing, politik bagi-bagi jatah, dan beragam tantangan sosial juga pada saat yang sama memunculkan sentimen identitas: pencarian sebuah afirmasi ulang mengenai apa itu menjadi ‘Aceh’. Pada titik ini, penerapan syariat Islam disepakati sebagai salah satu upaya kesana, meski praktiknya sangat problematik.
Sejak saat itu pula Aceh menjadi sorotan banyak pihak terkait berbagai kebijakannya menyoal perempuan. Awal tahun ini Walikota Lhokseumawe mengeluarkan keputusan melarang perempuan duduk mengangkang saat berboncengan di atas motor. Aturan ini memang tidak (atau belum) berwujud ke dalam peraturan daerah atau qanun. Namun, debatnya sudah sampai di tingkat nasional dan menjadi berita internasional. 
Semangat untuk mereaktualisasi identitas Aceh pun terus digali dan dikonstruksi. Bagi penguasa, identitas adalah konstruksi untuk kebutuhan politik masa kini. Seperti halnya simbolisme tentang lambang, bendera, dan wali nanggroe, tubuh perempuan juga secara langsung maupun tidak menjadi sasaran dari sentimen untuk menegakkan identitas keacehan. Tak ubahnya simbol, perempuan dianggap tonggak moralitas yang secara visual paling mudah diatur. Jika pelacuran terselubung di hotel-hotel mewah Banda Aceh dianggap punya imunitas dari razia Polisi Syariah, atau banyaknya kasus KDRT yang dialami perempuan tak tersentuh hukum, bahkan ketika kasus-kasus korupsi terlalu riskan untuk disentuh ke akarnya, maka yang paling mudah adalah melakukan razia dan larangan bagi perempuan.  
 
Menurut survei IRI tahun 2010, ulama di Aceh menempati posisi tertinggi sebagai figur yang disukai (didengar) masyarakat, sementara DPRK dan partai politik berada di urutan terendah. Di tengah-tengah itu ada LSM dan media. Jadi, duet politisi dan ulama menjadi kekuatan yang bisa mempengaruhi (atau bahkan membuat pasif) opini publik. Politisi memiliki kuasa namun tidak disukai masyarakat, sedangkan ulama tak mempunyai kekuasaan formal namun disukai masyarakat. Transaksi antara keduanya bisa sangat menggiurkan.
 
Dengan duet tersebut, penguasa dan tokoh masyarakat kerap menggunakan istilah ‘budaya’ dan menjadikannya pembenaran tunggal atas kebijakan diskriminatif. Akhirnya ‘budaya’ menjadi sesuatu yang abstrak dan retorik. Padahal budaya tak harus melulu merujuk pada satu tafsiran kokoh atas masa lalu, melainkan selalu berdialektika dalam prosesnya sampai saat ini. Pembenaran atas nama budaya jelas terjadi dalam kebijakan terkait perempuan di Aceh, namun prakteknya sangat parsial dan diskriminatif. Secara halus, ini adalah bentuk politik kekerasan terhadap perempuan.
 
Budaya, Sejarah, dan Syariat 
Dalam kebijakan dan ranah publik, perempuan kerap mendapat lampu sorot namun tanpa suara. Mereka dibentuk ke dalam sebuah entitas tunggal dan objek dari wacana dominan. Sebagai warga negara, mereka cenderung mengalami diskriminasi berlapis, baik akibat ketidaksadaran sosial melalui persepsi dan stigma ataupun kebijakan politik yang maskulin. Ini menjadikan perempuan sebagai kelas sosial yang terhegemoni.
 
Laclau dan Mouffe (1985) beranggapan, kelas bukanlah sebuah formasi apriori bagi perwujudan hegemoni, karena setiap posisi subjek (identitas atau kelompok sosial) telah dipasung dalam relasi-relasi hegemonik. Karena itu, karakter politik dari perjuangan untuk transformasi sosial perlu menggeser term diskursus politik dan membangun sebuah definisi realita baru melalui artikulasi dari berbagai posisi subjek. Ini tidak harus melulu dimediasi oleh negara karena perjuangan tersebut harus menjadi tujuan dari aksi sosial. Ini mengartikan bahwa keseluruhan isu politik dan identitas adalah persoalan kelas dan identitas yang tak terlepas dari diskursus – yaitu sebuah aksi dan wacana yang memiliki makna tertentu karena relasinya dengan yang lain.
 
Yang terjadi dalam percampurannya dengan politik adalah budaya menjadi konstruksi imajinasi. Sejarah hanya menjadi endapan yang diambil parsial, dan syariat menjadi retorika. Semua elemen ini menjadi pembenaran atas berbagai regulasi yang mendiskreditkan perempuan. Ini adalah upaya para pejabat dan tokoh masyarakat untuk mempertahankan kekuasaannya.
 
Dengan argumen ini, ada beberapa hal yang menguntungkan para penguasa. Pertama, masyarakat awam akan menerima hal itu dengan pasif, karena dianggap terkait dengan identitas Aceh dan Islam. Kedua, mengontrol ruang gerak perempuan akan menambah privilege dari aktor-aktor politik di dalam sistem patriarki yang berlaku. Hal ini berpengaruh pada ranah privat, publik, termasuk sosial politik. Ketiga, kontroversi yang muncul akan memetakan mana kelompok yang pro dan kontra pemerintah, sehingga labelisasi dapat disematkan. Keempat, berbagai persoalan buruknya tata kelola pemerintahan dan lemahnya akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan tenggelam dalam radar publik, sehingga pemerintah tidak mendapat tekanan atas problem akuntabilitas mereka. Kelima, ‘syariat Islam’ adalah diskursus yang sensitif untuk dikritisi, cepat mendapat perhatian dan dukungan, serta menonjolkan kekhasan Aceh. Justifikasi itu dapat lebih ‘instan’ dan pragmatis jika diterapkan dalam bentuk larangan ketimbang kebijakan yang lebih mendasar dan berkelanjutan.    
 
Memperdebatkan rujukan sejarah mengenai perempuan duduk menyamping di kendaraan di Aceh bisa jadi akan melahirkan dialektika pemikiran. Sejarah soal para pemimpin perempuan Aceh sebagai sultanah juga kerap diangkat untuk merespon anggapan yang bias tentang kepemimpinan perempuan. Namun, di tengah berbagai versi masa lalu, apakah merujuk pada sejarah dan budaya menjadi signifikan di tengah tarung interpretasi?
 
Persoalan budaya terkait sopan santun dan rasa malu yang mengatur bagaimana perempuan dan pria bertingkah laku di masyarakat sebenarnya sudah tercermin dalam norma sosial kehidupan sehari-hari. Artinya ia tidak dipaksa negara dalam bentuk kebijakan politik, khususnya yang tidak berdasarkan pada hasil konsultasi maupun penelitian atas persoalan dan kebutuhan sosial. Ketika hegemoni sudah diwujudkan sebagai aturan tertulis, ia menjadi pembenaran moral dan hukum melawan argumentasi publik apapun. Ia menjadi ‘realita’ baru.   
 
Berbagai kebijakan pemerintah Aceh yang mengatasnamakan syariat Islam sampai saat ini masih menimbulkan persoalan karena menjadikan yang simbolis sebagai esensi. Karena itu, tak banyak yang kemudian memilih jalan kritis untuk bersua melawan arus utama. Para anggota legislatif perempuan (yang memang sudah minim jumlahnya) tak berdaya sebagaimana absennya tokoh-tokoh masyarakat alternatif dalam ranah wacana publik. Aktivis gerakan perempuan terhimpit oleh labelisasi dan kelompok masyarakat sipil lainnya tak memiliki soliditas dan kekuatan untuk melakukan tekanan.
 
Alternatif solusinya adalah menumbuhkan gerakan transformasi sosial untuk membongkar konstruksi kelas atas perempuan. Namun, resiko untuk membongkar itu terlalu besar karena ini adalah jerat sistemik. Upaya membentuk realita baru yang lebih plural dan setara akan distigma sebagai ‘liberal’, ‘kafir’, dan ‘sekuler’ – suatu mekanisme defensif demi pelanggengan identitas yang tak hendak tuntas. Jika kondisi ini terus berlangsung, perempuan Aceh akan tetap menjadi tontonan di atas panggung, di bawah lampu sorot, namun tanpa pengeras suara untuk membuat aspirasinya di dengar. (Rizki Amalia Affiat)
 
Daftar pustaka
Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe. 1985. Hegemony and Socialist
Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso 


Sabtu, 30 Maret 2013

Produk Batik Desa Jemur, Kebumen

Kerajinan membatik di wilayah Kebumen seharusnya perlu diperhatikan oleh kita semua. Biar bagaimanapun, batik merupakan salah satu warisan tradisi budaya bangsa Indonesia. Saat ini kondisi kerajinan batik di beberapa sentra batik Kebumen cukup memprihatinkan. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian dari pihak pemerintah selaku pemangku kebijakan. Misalnya saja pengrajin batik di Dusun Peniron, Desa Jemur, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen. Di Desa tersebut terdapat 2 kelompok pengrajin batik yang bernama Kelompok Kenanga dan Mawar yang masing-masing diketuai oleh Ibu Siti Nurjanah (mbak Nurjanah) dan Ibu Wahyuni (mbak Wahyuni).

Jika anda ingin mengunjungi tempat membatik ini, butuh waktu kurang lebih 15 menit dari jalan utama. Dari jalan utama di Pejagoan, anda masuk ke jalan desa sejauh 1,5 KM dan menyusuri jalan yang berada di pinggir kali/sungai. Setelah menemukan sekolah MI Ma'arif, di seberang jalannya akan anda temui jembatan sebagai jalan masuk menuju Dusun Peniron tempat pengrajin batik Desa Jemur. Jika anda bingung, anda bisa tanyakan pada warga sekitar yang pasti sudah mengetahui tempat batik ini.

Batik yang dihasilkan dari desa ini adalah khusus batik tulis. Terkadang barang yang ada pun terbatas karena terbatasnya juga permodalan, pemasaran, dan sumberdaya manusia yang ada. Jika anda ingin memesan kain batik, setidaknya memerlukan waktu 3 minggu sampai 6 minggu tergantung jenis motif dan pewarnaannya. Harganya pun bervariasi mulai harga 200 ribuan, bahkan sampai harga 700 ribu juga ada.
Kain yang digunakan untuk membatik ini menggunakan jenis kain Primisima kelas terbaik atau jenis kain Kereta Kencana dengan ukuran 1 lembar kain 2,5 x 1 meter. Berikut beberapa kain batik hasil buatan Ibu Nurjanah dan teman-temannya yang bisa anda beli.

motif suketan;
harga 250 ribu





Jenis motif Jahe:
harga 200 ribu


jenis motif: Gabah wutah kupu-kupu. 
harga: 250 ribu



Jenis motif: Sekar jagat Pisang Bali
Harga: 450 ribu

Jenis motif: Sekar jagat sawahan
harga: 450 ribu


Sekar jagat atau motif jagatan merupakan motif khas Kebumen sehingga harganya pun lebih mahal. Hal ini dikarenakan selain motif ini merupakan motif dan warna klasik, motif jagatan lebih rumit pembuatannya dan juga harus melewati sedikitnya 4 kali pewarnaan. Jadi wajar bila harganya lebih mahal dari motif batik yanglainnya. Namun demikian, harga batik ini relatif lebih murah dibandingkan jika anda mencarinya di toko batik, atau di pengrajin lainnya dengan motif dan kualitas yang sama.

Beberapa motif tersebut saat ini ready stok. Namun tidak menutup kemungkinan ketika anda hendak membeli, barangnya sudah tidak ada/sudah laku. Untuk mendapatkan motif yang sama bisa memesannya dan menunggu kurang lebih satu bulan. Untuk memesan dalam jumlah banyak pun bisa dilayani, hanya saja butuh waktu yang lebih lama dan tidak bisa diburu-buru untuk tetap menjaga kualitas batik.

Motif-motif tersebut hanya contoh dari beberapa motif batik yang dihasilkan. Anda bisa datang langsung melihat pembuatan batik, membelinya langsung. Jika anda berminat, silahkan menghubungi di nomor kontak 089665666998.
Anda juga dapat menghubungi kami untuk bertanya lebih lanjut tentang katalog batik yang tersedia via email di: wibiono_crb@yahoo.co.id 
 

Senin, 18 Maret 2013

AJARAN MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA DALAM SULUK LINGLUNG


Pengertian dan Sejarah Suluk Linglung Sunan Kalijaga

Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan menuju kesempurnaan batin. Di samping pengertian tersebut dalam perspektif lain suluk diartikan sebagai khalwat, pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis. 

Dalam sastra Jawa suluk berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu.

Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan rohani.

Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya "bingung". Bingung di sini diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.
Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.

Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.39 Kitab kuno yang diberi nama Suluk  Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta memakai isim, berbagai macam do'a. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.

Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis diatas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.

Kondisi Teks dan Kandungan Ajaran Suluk Linglung Sunan Kalijaga Tentang Makrifat

Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.

Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari'at Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula.
Dengan begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut, adalah sebagai berikut;
Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu). Dalam teks aslinya, "pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning uripe, sanget kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput, anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul kewala".

Artinya: "menceritakan tentang seorang alim ulama' yang cerdik dan pandai yang sudah bisa merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan dan perjalanan untuk tidak memperdulikan dampak yang terjadi.  Beliau bernafsu untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali, itulah tujuan yang diharapkan semata-mata".

Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi bimbang dan tidak menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri kepada Allah, yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari kembang.

Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya. Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan kehidupan dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.

Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia tetap kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat selesai.

Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila orang ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila ingin tahu tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada suksma. Dalam teksnya dijelaskan:
“Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,...”

Artinya "berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi atau mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab hatinya kalah perang dengan nafsunya".

Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara dana) pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.

Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa ketika berguru kepada Sunan Bonang.

Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang
menyamar menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara. Dalam teksnya dijelaskan:
Pada bait ketiga " wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng jeng suhunan benang"

Artinya "berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh "ngaluwat" ditanam ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang.

Dan pada bait ketujuh belas, " pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang"

Artinya, "untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana ingin tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan seperti caranya anak kijang".

Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:

  • Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.
  • Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.
  • Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah mengampuni kesalahan orang.
  • Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak mencela.
  • Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan
  • atau bertaubat.
  • Cahaya ata Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas.
  • Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat. Di samping itu diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh anggota badan:

  1. Mata, tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.
  2. Telinga, tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-perkataan yang buruk
  3. Hidung, tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lain.
  4. Lisan, tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-perkataan buruk,
  5. Aurat, tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zina
  6. Tangan, tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang lain,
  7. Kaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan untuk istirahat dan intropeksi.

Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan ibadah haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut disebutkan:
"Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya murang margi".

Artinya, "Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji menuju Makkah dia menempuh jalan pintas.”

Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga untuk pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.

Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera yang kemudian nabi khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang Hidayatullah (petunjuk Allah).

Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah anugerah yang tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan "nyuwun wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga suci", artinya bahwa untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci, suci secara dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.

Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan Kalijaga untuk mencari kepandaian dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan kota suci, kota sebagai kiblat bagi seluruh umat Islam yang mampu naik haji, sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi umat Islam yang mampu naik haji sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.

Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog antara Syeh Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan kematian dengan berbagai aspeknya.

Dalam teks aslinya "nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji,...margone tan kanggo lunga, mring ka'bah yen arsa wruh ing ka'bah jati, jati iman hidayat".

Artinya, "oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar ka'bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya ka'batullah (ka'bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam hati. Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan yang sebenarnya, kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah yang dinamakan iman hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya).

Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan semacam itu.

Dalam teksnya dijelaskan, "pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng, abang, kuningsamya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya".

Artinya, " sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam, merah, kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.

Godaan yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu yang timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan rasa ingin marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala tindakannya selalu merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu amarah biasa digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua, aluamah, nafsu yang menimbulkan keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan. Orang yang menuruti nafsu aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna hitam. Ketiga sufi'ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan nafsu ini selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak mau berusaha.

Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning. Keempat, mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang yang menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal ini dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.

Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu, dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai) waranggana (cita-cita yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara, dapatlah ia mencapai martabat yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam. Nafsu aluamah disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan tetap terpelihara.

Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan ketenteraman hidup, tertolong sebagaimana mestinya.

Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul yakin, makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji.

Dalam teks aslinya disebutkan "urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ora ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki".

Artinya: "jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari keterangan tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu wajib sholat, di dalam dunia ini? ".

Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang sholat sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang harus disembah, yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Begitu pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu Allah. Adanya manusia itulah yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.

Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes air yang tidak mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia tidak akan sanggup membuatnya.

Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman; " dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana mestinya" (al-An-'am: 91).

Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang kemudian lama-lama dapat mengetuk "pintu" Allah dengan hati yang istiqomah, dia melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh hidayah dari Allah.54 Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat. Dalam teksnya dijelaskan "tauahid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru'yat minangka saksi" artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat (ya dengan melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan nyata".

Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian ini berisi tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya disebutkan " kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara mangsa, iya anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki, tan kena pisahenna.

Artinya; "cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada ditubuh? Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan”

Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena segala yang muncul di muka bumi karena Allah. Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang jiwa menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.

Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan "tunggal lawan sang hyang widi", hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh Kinanthi bait 53 " Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki".

Artinya; "Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”

Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga tidak hanya melibatkan dunia dalam microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.

Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut fana (hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.

Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya fana' tak ubahnya dengan fana' tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.

Refrensi:
Rus'an , Mutiara Ihya' Ulumuddin Iman Al-Ghozali, (Semarang: Wicaksana, 1984)
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik; Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta: Kencana, 2004)
http : // www. Serambi. Co. id / modules.
Ahmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta, 2004)
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya), (Jakarta : Balai Pustaka)
Purwadi dan Siti Maziyah, Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : Panji Pustaka 2005)
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga " Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis kultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

* diambil dari http://www.wartamadani.com/2013/03/ajaran-makrifat-sunan-kalijaga-dalam.html