SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Kamis, 06 November 2014

Alor: Sebuah Peta Yang Terlupa (4)



Lanjutan…

Sulitnya air menjadi kendala besar bagi sebagian wilayah di Alor. Terlebih saat musim kemarau tiba, alam pulau Alor seperti kering kerontang. Hampir tidak ada warna hijau setiap pandangan mata diarahkan ke segala penjuru, kuning dan gersang! Meski demikian, tak ku lihat raut muka mengeluh setiap orang yang kutemui di sana. Mungkin mereka sudah sangat terbiasa menghadapi kejamnya alam tandus dan panas. 

Belemana menjadi desa pertama penjelajahanku di pelosok Alor. Dari sini juga pengalaman menghadapi kondisi alam dan karakter masyarakatnya dipelajari. Pengalaman ini menjadi bekalku menghadapi desa-desa selanjutnya. 

Kurang lebih empat hari kami tinggal dan berbaur di Desa Belemana. Mencari tempat tinggal orang, menelusuri, mewawancarai dengan sabar menjadi aktivitas sehari-hariku. Kesulitan yang dihadapi saat wawancara adalah kendala pemahaman bahasa. Terkadang apa yang disampaikan dengan jelas, belum tentu dipahami maksudnya oleh orang yang dituju. Untungnya, semua orang di sana, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia mengerti dan bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Berbeda dengan masyarakat Jawa dan Sunda. Umumnya para orang tua/ yang sudah sepuh di Jawa kurang bisa berbahasa Indonesia, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Alhasil jika ada orang asing yang tidak mengerti bahasa Jawa akan kesulitan berkomunikasi.

Hari pertama di Belemana aku lalui dengan lelah. Mulai siang hari, kami berdua bergerilya mencari responden-respondenku di desa itu. Sebelumnya kami diantar ke rumah pribadi kepala desa sebagai tempat bermalam kami selama di Belemana. Rumah seorang kepala desa tidak ada menariknya sama sekali, setidaknya bagi orang-orang yang datang jauh dari kota-kota besar di Jawa. Bangunan rumah setengah jadi tanpa daun jendela di beberapa kamarnya, kursi dan tempat tidur sangat sederhana serta lantai yang beralaskan tanah adalah pemandangan interior rumah. Hanya ada beberapa foto usang yang menghias ruang tamu. Mungkin itu foto leluhur dan bapa desa sekeluarga. 

Setelah menyimpan barang bawaan, kami langsung bergegas melaksanakan tugas dengan membawa perlengkapan survey yang diperlukan. Satu-persatu ku kunjungi rumah warga. Dengan sabar dan telaten ku wawancara semua anggota keluarga yang ada di situ. Biasanya, satu rumah tangga harus diwawancarai sebanyak tiga buku. Itu jumlah minimal. Sedangkan satu buku kuesioner ada yang berjumlah 60 lembar. Bisa dibayangkan kira-kira butuh waktu berapa jam utk bisa mewawancarai satu keluarga responden. 

Untuk pengalaman pertama, karena belum terbiasa, bisa 3-4 jam aku wawancara satu rumah tangga. Sedangkan tugas kami harus mewawancara sedikitnya 8 keluarga di desa itu. Hari pertama itu aku hanya sanggup mewawancarai 2 responden saja. Ketika wawancara di rumah yang ketiga, belum sampai tuntas karena malam telah larut dan gelap makin pekat. Kami pun kesulitan penerangan untuk bisa membaca dan menulis di kuesioner karena hanya ditemani nyala lampu tempel atau senter yang ku bawa. 

Jam 10 malam waktu setempat kuputuskan untuk pulang ke “basecamp” di rumah pak kades, atau orang Alor biasa menyebut bapa desa. Aku diantar Bapa desa pulang ke rumah. Di jalan aku bertemu Risna teman satu tim ku di Belemana yang juga baru pulang wawancara. Ternyata tidak jauh berbeda. Dia pun hanya dapat 2 responden saja di hari pertama itu, itu pun belum lengkap katanya. 

Sampai di rumah bapa desa yang temaram, karena memang listrik dari genset milik desa hanya menyala sampai jam 9 atau jam 10 malam saja, kami merasa lega. Temaram cahaya dari genset itu pun tentu tidak bisa menerangi seluruh rumah warga di desa. Hanya beberapa rumah saja yang bisa menikmati lampu. Selebihnya, tidur dalam kegelapan. 

Jalanan desa yang berbukit dan tidak rata, ditambah gelapnya suasana membuat kakiku harus rela menendang bebatuan. Tidak jarang pula temanku hampir tersungkur. Maklum, karena mata kami hanya terbiasa pada gemerlap hidup perkotaan yang terang benderang. Otomatis, mata kami mendadak “rabun” ketika harus berhadapan dengan suasana gelap gulita. Bahkan sesekali aku tidak melihat ada orang yang tengah duduk di depan rumahnya dan menyapa kami yang jalan beriringan. “Haii kakak, mau kemana? Mampirlah dulu kemari”, hanya suara sapa seperti itu yang ku dengar, sedangkan mata ini tidak mampu menangkap bayang dalam bayang kegelapan. 

Aku sejenak meregangkan otot tubuhku yang terasa kaku karena lelah. Dengan cepat, bapa desa dan istrinya segera menghidangkan teh manis hangat dan ubi. Sambil melemaskan otot dan menikmati kehangatan minuman, ternyata diam-diam sang tuan rumah menyiapkan makan malam untuk kami semua. Mata mengantuk dan lelah tak tertahan pun dipaksa untuk sejenak bertahan hanya sekedar melegakan upaya tuan rumah untuk menjamu kami. Menu yang dihidangkan sangat sederhana. Hanya ada nasi dan ikan asin beserta sambal tomat yang diuleg atau ditumbuk tidak sampai halus. Tapi itu terasa istimewa ditempat yang serba susah ini.

Bagi kami yang sedang lelah, soal rasa adalah nomor sekian. Yang penting makan, kemudian segera beristirahat. Sebelum tidur ku sempatkan untuk merapel solat magrib dan isya. Hidup di sana tidak tau waktu solat. Maklum karena seluruh warga menganut agama kristiani. Alhasil, taka da kumandang adzan terdengar. Jujur, sering waktu solatku terlewat karena tidak tau waktu. 

Selesai kewajibanku hari itu, ku tunaikan hak tubuhku yang letih setelah seharian beraktivitas. Tidur adalah hal yang terindah bagiku saat itu. Meski dingin mulai menusuk tulang, karena kamar kami tidak ada daun jendela yang menghalangi angin menerpa masuk, ku pejamkan mata ini. Aku pun tidur dalam gelap dan dinginnya udara malam Alor.

Malam seolah merangkak cepat sekali. Tak terasa hari telah pagi. Pantas saja dinginnya makin menjadi. Aku pun terbangun. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.00 WITA. Aku bermalas-malasan untuk bangkit. Baru sekitar jam 05.30 aku bangun untuk mencari air berwudlu. Jauh ku susuri perbukitan di desa itu untuk menemukan sumber air. Telinga dan mata ku pasang baik-baik untuk bisa menangkap sumber air. Setelah kurang lebih 1 KM ku berjalan, akhirnya ku temukan sumber air itu. 

Ku basuh muka lusuh ini. Ku rasakan sejuk dan segarnya air yang mengalir dari dalam tanah ini. Tidak banyak. Hanya sebuah kubangan kecil sumber mata air itu. Setelah berwudlu, aku mencari tempat datar tak jauh dari situ untuk menunaikan solat subuh. Jaket yang ku pakai, ditambah dedaunan yang lebar kujadikan alas. Tanpa tau arah, ku hadapkan wajah ini ke arah yang ku yakini kiblat ku. Khidmat sekali solat di alam terbuka saat itu. Allahu akbar!

Usai solat, kusempatkan berjalan-jalan menyusuri desa. Dari atas bukit, terlihat kilau emas mentari yang muncul dari permukaan laut. Subahanallah, Puji Tuhan semesta alam yang telah menciptakan keindahan dalam keburukan. Buruk karena memang kondisi alam gersang nan tandus. Namun Tuhan Maha tau mana yang pas untuk umatnya. Masyarakat Alor lah yang dipilih-Nya untuk mampu menaklukan tandusnya alam liar di sana. Dari “keburukan” itu, Dia munculkan segala keunggulan dan hikmah di baliknya. Diantaranya pemandangan lautan yang hijau, biru dan jernih. Udara yang jernih dan bebas dari polusi ini pun menjadi salah satu nilai lebih bagi orang yang terbiasa hidup di padatnya perkotaan di Jawa. 

Ku hirup udara pagi yang segar itu dalam-dalam. Ku pejamkan mata. Ku rasakan aliran oksigen itu memenuhi rongga paru-paru dan seluruh sel-sel darahku. Serasa ingin ku buang semua racun oksigen yang masih mengendap di paru-paru dan aliran darahku dan digantikan dengan murninya udara pagi di Alor. Lalu ku buka mata perlahan. Kusaksikan maha karya Tuhan layaknya lukisan kanvas yang berada di hadapanku. Gunung dan perbukitan saling menjulang berwarna kuning dan kehijauan. Deburan ombak lautan di cakrawala memantulkan kilau yang indah, burung-burung beterbangan, desir dedaunan tertiup angin lembut menghasilkan melodi alami yang merdu. 

Tak terasa air mataku menetes. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Itulah pertanyaan yang menohok mahluk picik tak tau terima kasih sepertiku ini. Baru kemarin aku mengutuki dalam hati tentang kondisi Alor yang sengsara dan beratnya harus menjalani hidup di dalamnya. Tapi hari ini, 8 Oktober 2013 aku mengakui di hadapan semesta tentang hebatnya Alor, dan tangguhnya masyarakat di sana. 

Di tempat ku berpijak ini, ku dirikan solat. Ku edarkan pandangan, betapa maha luasnya ‘rumah Tuhan’ ini. Bagiku, inilah rumah Tuhan yang sesungguhnya. Bukan masjid, gereja, kuil atau tempat peribadatan apapun di muka bumi ini. Itu hanyalah sekat-sekat kecil tempat manusia mengkotak-kotakan dirinya sendiri tanpa enggan memandang luasnya hakikat tempat ibadah. 

(bersambung...)