SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Selasa, 20 Januari 2015

Alor: Sebuah Peta Yang Terlupa (5)

Berakhirnya Petualangan Belemana


…. Lama-lama aku makin terbiasa dengan kehidupan di sini, di Alor. Berjibaku dengan teriknya cuaca, berjibaku dengan peluh dan debu seharian karena harus naik turun bukit menenteng tas berisi segepok buku yang tak lain adalah kuesioner, bercengkrama dengan kerasnya watak pribumi Alor makin membuatku nyaman. Hari-hari selanjutnya ku habiskan di desa itu dengan tenang dan santai seolah tanpa beban. Hanya deadline pengisian kuesioner yang terus memburu keasyikanku di sana. Andai saja tak diburu waktu, mungkin akan sedikit ku luangkan waktu bersantai dan mendalami kehidupan masyarakatnya.
Karena masih awalan, tak jarang wawancara pengisian kuesioner pun sering tersendat dan agak lamban. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti maksudnya. Untuk mengklarifikasi permasalahan teknis seperti ini diperlukan kordinasi dengan tim, khususnya dengan supervisor (SPV) atau bagian editor. Kembali masalah menghampiri. Kondisi di sana sangat sulit memperoleh sinyal untuk berkomunikasi jarak jauh. Handphone canggih dan pulsa yang banyak menjadi tak berguna sama sekali. Seandainya ada yang menjual pulsa berikut sinyalnya, mungkin akan laris diserbu. Sayangnya, yang dijual hanya perangkat ponsel dan pulsanya saja. Selebihnya, tergantung infrastruktur jaringan di sana.
Untuk mengatasi permasalahan ini, aku terpaksa harus turun gunung hanya untuk segedar mengirim sms, terima sms, telepon dan menerima telepon. Biasanya ku sempatkan waktu dipagi hari untuk menuruni perbukitan mencari daerah yang mampu menangkap sinyal. Kurang lebih 1,5 kilometer harus kususuri dan letaknya di bawah Desa Belemana. Uniknya lagi, sinyal pada handphone baru akan muncul setelah jam 7 pagi. Sebelum itu, jangan harap. Mungkin karena pemancar atau penguat sinyal di sana harus menggunakan generator, dan generator itu baru dinyalakan pada jam 7 pagi.
Saat ada sinyal, mendadak banyak pesan yang masuk. Itu sms yang mungkin tertunda sejak beberapa hari lalu saat sinyal tak menyentuh HP ku. Satu per satu pesan ku balas. Momen ini aku manfaatkan untuk menghubungi pacarku dan keluargaku di tanah seberang sana. Karena sulitnya sinyal, maka aku kirimkan pesan pada orang yang aku anggap penting agar jika ingin menghubungi hanya pagi hari, sekitar jam 7. Karena itulah, tiap pagi, selepas solat subuh aku turun gunung hanya untuk mencari sinyal. Biasanya tepat jam 8 pagi aku baru kembali.
Saat itulah aku menyaksikan aktivitas masyarakat desa memulai harinya. Mulai dari mandi, mencuci, pergi berkebun, bersekolah, bermain, ku amati semua. Bahkan tempat ku duduk untuk bertelepon tak jauh dari sekolahan. Dari sana aku pun mengamati aktivitas dan kegiatan belajar. Sungguh memperihatinkan. Semangat anak-anak itu tidak sebanding dengan penampilannya yang terlihat lusuh. Ku lihat bagaimana mereka berjalan beriringan mendaki dan menuruni bukit untuk berangkat menimba sesuatu yang bernama ilmu. Tawa riang dan canda gurau mereka tak menampakkan betapa sulitnya hidup mereka, setidaknya dalam penilaianku.
Kegiatan belajar mengajar mereka begitu santai. Bahkan jam pulang sekolah di sana lebih awal disbanding yang aku tau selama di Jawa. Bukan karena sengaja santai. Tapi memang ku perhatikan, guru di sana jumlahnya tidak memadai. Ku lihat dari kejauhan, dari celah jendela sekelompok kecil anak yang tengah tekun membaca dan menulis. Entah apa yang mereka baca dan tulis. Tak kulihat ada sosok pengajar di ruang itu. Sampai sejam ku amati tetap tak bergeming seperti itu. Di ruang yang lain kulihat anak-anak berteriak semangat menjawab dan menirukan perkataan sang “oemar bakri” yang menenteng buku dan penggaris kayu di tangan kirinya.
Luar biasa. Meski tak ada seorang pun yang mengajar, mereka tetap duduk manis dan belajar apa yang bisa dipelajari. Duduk dan tetap membaca apa yang bisa dibaca, tetap menulis apa yang bisa ditulis. Aku sedikit membayangkan dan membandingkan dengan situasi kegiatan belajar di kota kelahiranku. Ada guru yang mengajar pun terkadang banyak siswa yang membandel kemudian membolos dan asik nongrong di kantin sekolah. Apalagi situasinya tidak ada guru, pasti akan lebih kacau. Dijamin, siswa yang berada di dalam kelas, duduk manis dan belajar tidak genap sampai 50 persen. Tapi lihatlah mereka. Lihatlah putra putri Alor yang dengan semangat dan tekunnya belajar di sekolah. Walaupun belum tentu mereka bisa belajar di rumah. Sejauh pengamatanku, khususnya untuk siswa sekolah dasar dan sebagian siswa SMP, kesempatan belajar hanya ada saat di sekolah. Sebab yang mereka bawa pulang ke rumah hanya beberapa buku tulis lusuh yang berisi corat-coret semua pelajaran yang di dapat di kelas. Pikiranku sejenak melayang jauh menembus ruang dan waktu.
Tak terasa terik matahari menyadarkan pada keasikan melamunku. Setelah selesai bertelepon ria dan SMS-an, ku angkat tubuh ini dari duduk nyamannya. Jam digital di tanganku sudah menunjuk pada pukul 8. Waktunya kembali ke basecamp dan kembali beraksi!
Fiuuhhh….perjalanan kembali terasa lebih berat. Desa yang berada di balik bukit serasa nun jauh di sana. Ku kumpulkan tenaga untuk melangkahkan setapak demi setapak perbukitan Belemana.
Tak terasa tiga hari sudah aku dan Risna tinggal di Desa Belemana. Hari keempat, tepatnya hari Kamis, temanku Dedy Pedor datang ke Belemana. Dia adalah SPV di tim DK-Alor. Tugasnya mengatur semua kerja tim dan sekaligus memastikan tim nya bekerja dengan baik tanpa ada kendala. Mungkin dia datang sengaja untuk memastikan kondisi di lapangan. Kedatangannya bagiku cukup menggembirakan. Setelah dirasa semua kuesioner terisi dan semua responden didatangi dan diwawancara, akhirnya siang itu kami pamit mohon diri untuk pulang ke basecamp induk di Maritaing, Kecamatan Alor Timur.  
Bermodalkan motor sewaan dengan kondisi seadanya, aku dan Dedy berboncengan menuju Maritaing. Sedangkan Risna menyewa ojek dari warga Belemana. Ternyata perjalanan Belemana-Maritaing cukup jauh, tapi perjalanan bermotor kami tak menggunakan helm atau jaket tebal untuk melindungi badan dari angin.
Kami pulang dengan perasaan senang akan berkumpulnya kembali dengan teman-teman. Tentu akan banyak sesi berbagi cerita seru di sana, pikirku…

(….bersambung)