SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Rabu, 30 Desember 2009

Sejarah Cirebon

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

A. Perkembangan Awal

1. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

2. Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

B. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

1. Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

3. Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

4. Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

5. Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

C. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

1. Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

a. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
c. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2. Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

D. Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

E. Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.

Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

Minggu, 07 Juni 2009

Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua
oleh: Bambang Wibiono*

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.

Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.

Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?

Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.

Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.

Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.

Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.

Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.

Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu. Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua
Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.

Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.

Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.
***

* Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua
oleh: Bambang Wibiono*

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.
Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.
Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?
Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.
Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.
Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.
Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.
Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.
Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.
Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu. Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua

Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.
Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.
Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.
***

* Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto