SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Rabu, 05 Februari 2014

Alor: Sebuah Peta yang Terlupa




Oleh: Bambang Wibiono


Otonomi daerah diupayakan dengan maksud mendistribusikan kewenangan pusat kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, pelayanan publik, dan pengaturan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Namun dengan otonomi daerah tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan kondisi di daerah. Kenyataannya bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan di daerah secara merata, khususnya di daerah-daerah terluar dari Indonesia. Wilayah Indonesia Timur biasanya merupakan daerah yang paling tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Distribusi ekonomi belum merata hingga pelosok-pelosok negeri.

Tulisan ini ingin membahas dan menampilkan potret kehidupan sosial ekonomi di salah satu daerah terluar dari Indonesia, yaitu Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini bukanlah hasil penelitian yang komprehensif, namun lebih kepada penjelasan deskriptif tentang sebagian besar kehidupan masyarakat di Alor yang penulis lihat dan alami ketika melakukan kunjungan dan survey di beberapa kecamatan di Kabupaten Alor. Boleh dibilang ini lebih sekedar catatan hasil perjalanan. Dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, data dan fakta yang terlihat akan dibahas dengan perspektif penulis, namun bukan bermaksud mengeneralisasikan.

Alor, sebuah mutiara yang terpendam di laut

Sungguh menyedihkan memang, menjadi bagian Indonesia namun serasa dikucilkan. Pembangunan dan perubahan sosial ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah metropolitan saja, khususnya Jawa-sentris. Mari berhitung tentang berapa daerah kabupaten/kota di luar Jawa yang mengalami perkembangan secara ekonomi? Ada berapa provinsi yang pembangunan infrastrukturnya memadai dengan kemudahan akses?

Banyak orang yang enggan jika harus mendapatkan penempatan kerja di wilayah luar Indonesia seperti NTT, khususnya bagi orang Jawa. Yang ada di benak kita ketika berbicara Nusa Tenggara Timur adalah wilayah yang jauh dari peradaban, udik orang-orangnya, terbelakang, miskin, sulit akses komunikasi dan transportasi, dan seabrek permasalahan infrastruktur lainnya. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut. Memang itulah kenyataan di sebagian besar wilayah NTT. Begitu juga dengan Kabupaten Alor.

Kabupaten Alor terletak di sebuah pulau yang terpisah dari gugusan pulau Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu feri atau pesawat perintis yang jadwal pemberangkatannya pun terbatas. Setelah menginjakkan kaki di tanah Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas, bahkan jika pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Namun di tengah kondisi yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir seluruh lautan di Alor. Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata melebihi Bali. Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang. Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. 

Sulitnya akses

Kendala utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi, maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan kendaraan. Bahkan banyak diantaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui dengan sepeda motor sekalipun saat musim hujan. Ini diperparah dengan sulitnya akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada biasanya menggunakan genset milik desa sebagai sumber listrik, namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas, rata-rata sekitar jam 6 sore sampai jam 11 malam saja. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.

Permasalahan ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di Alor sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa, atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya.

Kendala berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi. Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo meter sudah tidak dikeluhkannya lagi. 

Kendala lainnya adalah sulitnya akses komunikasi lewat telepon. Satu-satunya yang memungkinkan adalah komunikasi menggunakan jaringan seluler atau lewat HP. Itu pun tidak semua desa atau kecamatan ada jaringan. Jaringan yang bisa digunakan di Alor hanya menggunakan Telkomsel, namun terbatasnya pemancar dan tower penguat sinyal, jadi tidak bisa menjangkau seluruh desa. Karena sulitnya sinyal, tak heran ada istilah-istilah aneh yang dikenal warga di plosok-plosok desa terkait dengan sinyal ini. Ada yang namanya pohon sinyal, tiang sinyal, rumah sinyal, dsb. Ini dikarenakan sinyal hanya bisa di dapat di tempat-tempat tersebut saja. Jadi, jika warga ingin berkomunikasi mengirim SMS atau telepon harus ke tempat-tempat itu. Kadang pada malam hari banyak orang berkumpul di bawah pohon hanya untuk menelpon atau SMS-an. Anehnya lagi, sinyal hanya bisa diterima untuk mengirim atau menerima SMS hanya pada posisi tertentu saja. Jika bergeser atau berubah posisi saja, sinyal akan lenyap. Karena sulitnya jaringan seluler ini, tak heran banyak masyarakat yang memiliki handphone namun bukan untuk keperluan komunikasi, tetapi hanya untuk hiburan dan mainan.

Budaya dan Karakter Orang Alor

Dari sisi budaya dan karakternya, orang Alor memiliki sifat dan karakter yang keras. Itu terlihat dari cara bicaranya, suaranya, serta gerak-gerak tubuh ketika berkomunikasi. Jadi jika kita berasal dari Jawa yang cenderung lebih halus dalam bertutur kata akan memandang orang alor sangat keras dan kasar. Bahkan ketika mereka berbicara terkesan sedang bertengkar atau berdebat seru, padahal mungkin sedang biasa saja. Orang sana juga memiliki sifat yang terbuka dan terus terang apa adanya dan tidak segan dan malu untuk mengakui kebodohannya, ketidak-tahuannya, dan ketidaksukaannya kepada orang lain.

Satu hal positif yang dimiliki masyarakat Alor adalah jiwa menolongnya sangat tinggi, apalagi terhadap orang asing yang tidak dikenal. Jika mereka ingin menolong, akan diusahakan sampai tuntas. Pernah suatu ketika berkunjung ke suatu desa dan hendak mencari salah seorang warga yang entah di mana rumahnya, tiba-tiba ada warga yang telah mengamati sejak saya datang ke desa itu. Dia menghampiri dan menawarkan diri untuk singgah di rumahnya yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang belum layak untuk dibilang rumah. Dia menyuguhkan minum dan semua makanan yang dia punya di rumah itu sebelum bertanya tentang maksud kedatangan saya di desa itu. Mungkin karena melihat wajah dan lelah serta tas bawaan yang berat di punggung saya yang membuat dia membiarkan saya istirahat sejenak. Setelah itu ia menanyakan tujuan kedatangan saya ke desa itu. Setelah saya jelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak berbincang-bincang tentang apa saja sampai saya mulai gelisah dengan tugas saya di desa tersebut. Melihat kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu khawatir jika orang-orang yang saya cari sudah dihubungi semua. Bahka warga yang sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantar saya ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. Hal seperti ini selalu saya alami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk membantu apa saja yang saya perlukan.

Situasi yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh, ternyata kini hampir tidak terlihat lagi. Mungkin telah tergerus oleh budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan? Bahkan tak jarang mereka malah menyesatkan kita.





Masyarakat yang tradisional, udik, katrok, menurut saya lebih “modern” dari segi nilai sosial kemanusiaannya, dan mentalnya. Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dokotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.


(bersambung)...