SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 05 Agustus 2012

Bangunan Keraton Kasepuhan sebagai Wujud Akulturasi Budaya


Oleh: Bambang Wibiono. S.I.P

Keraton Kasepuhan dahulu bernama Keraton Pakungwati. Nama ini merupakan nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuwana yang namanya diabadikan menjadi nama keraton. Ketika didirikan Keraton Kanoman oleh Sultan Anom ke-I pada tahun 1679, sejak saat itu nama Keraton Pakungwati disebut Keraton Kasepuhan sampai sekarang.
Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dahulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di Kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina, India, Arab, dan Eropa. Hal inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini yang bukan Jawa dan bukan Sunda. 
Kesan romantisme dan akulturasi tersebut sudah terasa dari awal sebelum memasuki lokasi keraton. Sebelum memasuki halaman keraton, di bagian luar sebelah utara keraton terdapat sebuah alun-alun. Semenjak masa Sunan Gunung Jati, alun-alun tersebut dinamai Sang Kalabuwana. Dahulu, alun-alun tersebut berfungsi sebagai rapat akbar, apel besar laskar, baris-berbaris, latihan perang-perangan, dan pentasan perayaan besar negara.
Di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung yang dibangun oleh Dewan Waliyullah Sembilan. Masjid itu kira-kira dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi dengan nama Sang Ciptarasa. Bangunan ini digunakan sebagai tempat beribadah dan kegiatan Islam.
Memasuki lingkungan keraton, terdapat selokan yang membatasi alun-alun dengan keraton. Untuk memasuki lingkungan keraton, harus melewati jembatan yang diberi nama Kreteg Pangrawit. Kreteg berarti perasaan tajam, dan rawit artinya lembut atau halus. Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang melintasi jembatan itu diharapkan yang berniat baik saja.[1]
Di sebelah barat jalan masuk ke keraton terdapat bangunan bernama Langgar Agung. Langgar Agung dijadikan mushola orang-orang dalem seperti Sultan dan kerabatnya beserta kaum dalem dalam melaksakan ibadah solat harian, solat tarawih, solat Idul Fitri, Idul Adha. Di depan Langgar Agung terdapat gardu tempat bedug yang dinamakan “Sang Magiri”. Di Langgar Agung ini pula dahulu diadakan selamatan seperti: selamatan bubur slabruk pada tanggal 10 Muharam, selamatan apem pada tanggal 15 Shafar, Muludan pada tanggal 12 Robiul Awal yang dilaksanakan ba’da Isya. Selain selamatan itu, ada juga tazilan selama puasa Ramadhan, selamatan Lebaran pada 1 Syawal, syawalan pada tanggal 8 Syawal, dan peringatan Idul Qurban setiap tanggal 10 Dzulhijah. Semua acara selametan itu masih dilakukan hingga sekarang.
Ketika memasuki halaman dalam keraton, akan terlihat sebuah Taman Dewandaru yang di tengahnya terdapat dua patung macan putih dan dua meriam kuno. Keberadaan dua patung macan putih di gerbangnya, selain melambangkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjadjaran, juga memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjadjaran. Gerbangnya yang menyerupai Pura di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.[2]
Taman atau halaman keraton yang berupa lingkaran dinamakan dewandaru. Dinamakan demikian karena di dalam taman tersebut ditanami pohon dewandaru delapan batang. Makna dari taman ini adalah bunderan atau lingkaran berarti sepakat, satu kesatuan. Dewan atau dewa merupakan orang halus, daru berarti cahaya. Makna ini maksudnya bahwa “jadilah orang yang menerangi sesama mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan.”
Di dalam bundaran taman tersebut terdapat nandi atau patung lembu kecil sebagai koleksi yang merupakan lambang kepercayaan Hindu. Di taman itu ditanami pohon soka sebagai lambang hidup bersuka hati. Patung dua macan putih sebagai lambang bahwa Negara Cirebon merupakan penerus Negara Padjadjaran. Di sebelah selatan bundaran terdapat sekelompok pot bunga yang berjumlah delapan yang ditengahnya terdapat Tugu Manunggal pendek yang diartikan sebagai lambang kepercayaan Islam, menyembah kepada Allah yang satu dzat dan sifat-Nya.[3]
Gapura yang menyerupai bangunan pura, hiasan keramik Cina serta tembok yang terbuat dari bata merah merupakan bukti bahwa ini adalah akulturasi dari berbagai kebudayaan. Nuansa akulturasi kian terlihat ketika memasuki ruang depannya yang berfungsi sebagai museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada umumnya, seperti kereta kencana, singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini juga terdapat berbagai barang koleksi keraton berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Sanga. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Selain itu, di halaman belakang terdapat taman istana dan beberapa sumur dari mata air yang dianggap keramat dan membawa berkah. Kawasan ini ramai dikunjungi peziarah pada upacara panjang jimat yang digelar pihak keraton setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Menurut Dewi dan Anisa,[4] terbentuknya akulturasi budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor geografis dan historis. Anggapan ini sangatlah wajar karena sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir utara Jawa. Pada posisinya yang demikian, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang luas dan dalam. Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Untuk pemukiman wargi atau bangsawan keraton, sebagian besar berada di luar tembok keraton. Meskipun ada juga bangsawan atau keluraga keraton yang tingal di dalam keraton, yaitu di sebelah timur bangunan Siti Inggil atau sebelah utara puing-puing Dalem Agung Pakungwati.
Pada masa lalu, berdasarkan toponim yang masih dapat diinventarisir, dengan mengambil Keraton Kasepuhan sebagai titik pusat, terdapat beberapa toponim sebagai berikut:
1.      Sebelah timur Keraton Kasepuhan adalah Pejelagrahan atau jlagrahan.
2.      Sebelah selatan Keraton Kasepuhan adalah Pegambiran, tempat pedagang gambir.
3.      Sebelah barat keraton adalah Jagastru, yaitu tempat pertahanan.
4.      Sebelah utara Keraton Kasepuhan antara lain; Pekalipan, tempat alim ulama dari kata khalifah; Panjunan, tempat pembuat gerabah; Pekalangan; Kejaksan, tempat tinggal Pangeran Kejaksan; Pasuketan, tempat para pencari dan penjual rumput (suket=rumput); Jagabayan, tempat para penjaga keamanan; Pesayangan, tempat pengrajin tembaga; Pagongan, tempat pengrajin gamelan atau gong; Kampung Arab di sebelah utara masjid; dan Kampung Cina di sebelah timur masjid.[5]


[1] Saleh, R. 1985, “Tentang Baluwarti Kraton Kasepuhan”, Brosur tentang Kraton Kasepuhan yangn ditulis oleh staf ahli Kraton Kasepuhan, tidak diterbitkan. Hal. 1.
[2] Lihat foto halaman depan dan gapura keraton pada lampiran.
[3] Saleh, R. op. cit. Hal. 2
[4] Happy Indira Dewi & Anisa. op. cit. hal. 55.
[5] Adrisijanti, 1997 dalam Heriyanto op. cit. Hal. 103. Lihat juga Sunardjo, op. cit. Hal. 44-45.

Tidak ada komentar: