Oleh: Bambang Wibiono. S.I.P
Keraton Kasepuhan dahulu bernama Keraton Pakungwati.
Nama ini merupakan nama
Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuwana yang namanya diabadikan menjadi
nama keraton. Ketika didirikan Keraton Kanoman oleh Sultan Anom ke-I
pada tahun 1679, sejak saat itu
nama Keraton Pakungwati disebut
Keraton Kasepuhan sampai sekarang.
Mengunjungi
Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dahulu. Keberadaan Keraton Kasepuhan juga
kian mengukuhkan bahwa di Kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi
yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi
juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina, India, Arab, dan Eropa.
Hal inilah yang membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini
yang bukan Jawa dan bukan Sunda.
Kesan romantisme dan akulturasi tersebut sudah
terasa dari awal sebelum memasuki
lokasi keraton. Sebelum memasuki
halaman keraton, di bagian luar sebelah utara keraton terdapat sebuah
alun-alun. Semenjak masa Sunan Gunung Jati, alun-alun tersebut dinamai Sang Kalabuwana. Dahulu, alun-alun
tersebut berfungsi sebagai rapat akbar, apel besar laskar, baris-berbaris,
latihan perang-perangan, dan pentasan perayaan besar negara.
Di sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung yang dibangun oleh Dewan Waliyullah Sembilan. Masjid itu kira-kira dibangun pada tahun 1422
Saka atau 1500 Masehi dengan nama Sang
Ciptarasa. Bangunan ini digunakan sebagai tempat beribadah dan kegiatan
Islam.
Memasuki lingkungan keraton, terdapat selokan yang membatasi alun-alun
dengan keraton. Untuk memasuki lingkungan keraton, harus melewati jembatan yang
diberi nama Kreteg Pangrawit. Kreteg berarti perasaan tajam, dan rawit artinya lembut atau halus.
Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang melintasi jembatan itu diharapkan yang
berniat baik saja.[1]
Di sebelah barat jalan masuk ke keraton terdapat bangunan bernama Langgar Agung. Langgar Agung dijadikan mushola orang-orang dalem seperti Sultan dan kerabatnya
beserta kaum dalem dalam melaksakan
ibadah solat harian, solat tarawih, solat Idul Fitri, Idul Adha. Di depan
Langgar Agung terdapat gardu tempat bedug
yang dinamakan “Sang Magiri”. Di Langgar Agung ini pula dahulu diadakan selamatan seperti:
selamatan bubur slabruk pada tanggal
10 Muharam, selamatan apem pada tanggal 15 Shafar, Muludan pada tanggal 12
Robiul Awal yang dilaksanakan ba’da
Isya. Selain selamatan itu, ada juga ta’zilan selama puasa Ramadhan, selamatan Lebaran pada 1 Syawal, syawalan pada tanggal 8 Syawal, dan peringatan Idul Qurban setiap tanggal 10 Dzulhijah. Semua acara selametan itu masih dilakukan hingga
sekarang.
Ketika memasuki halaman dalam keraton, akan terlihat sebuah Taman Dewandaru
yang di tengahnya terdapat dua
patung macan putih dan dua meriam kuno. Keberadaan dua patung
macan putih di gerbangnya, selain melambangkan bahwa Kesultanan Cirebon
merupakan penerus Kerajaan Padjadjaran, juga memperlihatkan pengaruh agama
Hindu sebagai agama resmi Kerajaan Padjadjaran. Gerbangnya yang menyerupai Pura
di Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa, pagar Siti Hingilnya
dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton terbuat dari bata merah
khas arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya akulturasi.[2]
Taman atau halaman keraton yang berupa lingkaran dinamakan dewandaru. Dinamakan demikian karena di
dalam taman tersebut ditanami pohon dewandaru
delapan batang. Makna dari taman ini adalah bunderan atau lingkaran berarti sepakat, satu kesatuan. Dewan atau dewa merupakan orang halus, daru
berarti cahaya. Makna ini maksudnya bahwa “jadilah orang yang menerangi
sesama mereka yang masih hidup dalam rasa kegelapan.”
Di dalam bundaran taman tersebut terdapat nandi atau patung lembu kecil sebagai
koleksi yang merupakan lambang kepercayaan Hindu. Di taman itu ditanami pohon
soka sebagai lambang hidup bersuka hati. Patung dua macan putih sebagai lambang
bahwa Negara Cirebon merupakan penerus Negara Padjadjaran. Di sebelah selatan bundaran terdapat sekelompok pot bunga yang
berjumlah delapan yang ditengahnya terdapat Tugu
Manunggal pendek yang diartikan sebagai lambang kepercayaan Islam,
menyembah kepada Allah yang satu dzat dan sifat-Nya.[3]
Gapura
yang menyerupai bangunan pura, hiasan keramik Cina serta tembok yang terbuat
dari bata merah merupakan bukti bahwa ini adalah akulturasi dari berbagai
kebudayaan. Nuansa
akulturasi kian terlihat ketika memasuki ruang depannya yang berfungsi sebagai
museum. Selain berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada umumnya,
seperti kereta kencana, singa barong, dua tandu kuno, dan berbagai jenis
senjata pusaka berusia ratusan tahun, di museum ini juga terdapat berbagai
barang koleksi keraton berupa perhiasan dan senjata dari luar negeri, seperti
senapan Mesir, meriam Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang terbuat
dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna bendera yang melambangkan Wali Sanga. Ini membuktikan bahwa Kesultanan
Cirebon juga terpengaruh oleh budaya Jawa dan agama Islam.
Selain itu, di halaman
belakang terdapat taman istana dan beberapa sumur dari mata air yang dianggap
keramat dan membawa berkah. Kawasan ini ramai dikunjungi peziarah pada upacara panjang jimat yang digelar pihak keraton
setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Menurut Dewi dan Anisa,[4]
terbentuknya akulturasi budaya Cirebon yang menjadi ciri khas masyarakatnya
hingga dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor geografis dan historis. Anggapan
ini sangatlah wajar karena sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan
sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir utara
Jawa. Pada posisinya yang demikian, Cirebon menjadi sangat terbuka bagi
interaksi budaya yang luas dan dalam. Cirebon menjadi tempat bertemunya
berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Untuk pemukiman wargi atau bangsawan keraton, sebagian
besar berada di luar tembok keraton. Meskipun ada juga bangsawan atau keluraga
keraton yang tingal di dalam keraton, yaitu di sebelah timur bangunan Siti
Inggil atau sebelah utara puing-puing Dalem Agung Pakungwati.
Pada masa lalu,
berdasarkan toponim yang masih dapat diinventarisir, dengan mengambil Keraton
Kasepuhan sebagai titik pusat, terdapat beberapa toponim sebagai berikut:
1.
Sebelah timur Keraton Kasepuhan adalah Pejelagrahan atau jlagrahan.
2.
Sebelah
selatan Keraton Kasepuhan adalah Pegambiran,
tempat pedagang gambir.
3.
Sebelah
barat keraton adalah Jagastru,
yaitu tempat pertahanan.
4.
Sebelah
utara Keraton Kasepuhan antara lain; Pekalipan, tempat alim ulama dari
kata khalifah; Panjunan, tempat pembuat gerabah;
Pekalangan; Kejaksan, tempat tinggal Pangeran Kejaksan; Pasuketan, tempat para pencari dan penjual rumput (suket=rumput); Jagabayan, tempat para penjaga keamanan; Pesayangan, tempat pengrajin tembaga; Pagongan, tempat pengrajin gamelan atau gong; Kampung Arab di sebelah utara masjid; dan Kampung Cina di
sebelah timur masjid.[5]
[1] Saleh, R. 1985,
“Tentang Baluwarti Kraton Kasepuhan”,
Brosur tentang Kraton Kasepuhan yangn
ditulis oleh staf ahli Kraton Kasepuhan, tidak diterbitkan. Hal. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar