Oleh: Bambang Wibiono, S.I.P
Batik tulis merupakan warisan budaya Indonesia
yang sudah mendunia. Berbagai daerah menghasilkan batik dengan ragam motif dan
teknik yang bermacam-macam, Kabupaten Kebumen merupakan salah satunya.
Sebuah kebanggaan bagi orang-orang yang suka
dan cinta dengan karya anak bangsa. Batik Kebumen sudah ada sejak ratusan tahun
yang lalu, namun cerita sejarahnya masih simpang siur. Batik Kebumen dikatakan
beberapa media di bawa dari keraton Yogya. Akan tetapi sebenarnya tidak ada
bukti yang kuat tentang itu. Dari banyaknya pengrajin Batik kebumen di pusat
Batik Kebumen dari Desa Jemur, Seliling dan Gemeksekti dusun Tanuraksan, semua
Pengrajin Batik Tulis Kebumen tidak ada yang tahu secara pasti awal Batik
kebumen dibuat. Mereka semuanya kompak menjawab bahwa mereka hanya membuat saja
secara turun temurun dan tidak mengetahui secara pasti.
Sejarah batik di kebumen ada berbagai versi.
Menurut cerita dan beberapa sumber, cikal bakal batik tulis Kebumen dimulai
pada abad ke-19. Pada masa itu batik menjadi barang eksklusif bagi kalangan
keraton. Keadaan itu berubah ketika Pangeran Bumidirdjo membuka wilayah Kebumen
dan memperkenalkan batik kepada masyarakat.
Ada juga yang menjelaskan bahwa pembatikan di
Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang
dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah Penghulu
Nusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama
menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan
masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang
atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo.
Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya
terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah pohon-pohon, burung-burungan.
Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Mengenai corak batik kebumen, awalnya berkiblat
pada batik Jogja, namun kemudian hari batik kebumen menemukan coraknya dengan
filosofi dan kultur setempat.
Dahulu, batik Kebumen memiliki sejarah
gemilang. Batik tulis yang hanya untuk jarik atau sinjang itu hingga tahun
1970-an pernah merajai pasaran batik di daerah Kedu, Banyumas hingga Lampung.
Beberapa pengusaha batik pernah menjadi juragan pada zamannya, antara lain di
Desa Wonoyoso, Desa Watubarut, dan Desa Tanuraksan, semuanya di Kecamatan
Kebumen.
Pada tahun 1960 hingga tahun 1980-an, batik
tulis Kebumen mencapai masa keemasannya. Saat itu batik tulis menjadi komoditas
unggulan. Hampir seluruh wilayah di kabupaten ini memproduksi batik tulis.
Berdasarkan riwayat, batik asli Kebumen sebenarnya hanya berpusat di beberapa
desa, yaitu Desa Watubarut (Kecamatan Kebumen), Desa Seliling (Kecamatan
Alian), Desa Jemur (Kecamatan Pejagoan), dan di Kampung Tanuraksan (Desa
Gemesekti). Di Desa Watubarut yang menjadi cikal bakal usaha batik tulis,
aktivitas batik membatik kini benar-benar punah, lantaran tak ada generasi
penerus. Saat ini tinggal beberapa daerah saja yang masih bertahan dan terus
menghasilkan batik tulis, diantaranya adalah Desa Jemur, Seliling, dan
Gemeksekti.
Menurut informasi dari Dinas Perindustrian
Kabupaten Kebumen, kira-kira terdapat sekitar 300 motif klasik khas Kebumen.
Sebagian besar bercorak flora, fauna, dan geometri. Dari segi warna, batik
tulis Kebumen lebih beragam daripada batik dari daerah lainnya. Selembar kain
batik bisa mengandung empat kombinasi warna seperti cokelat, ungu, biru, hijau,
kuning, atau hitam. Ada pula batik tulis dengan dominasi warna merah
(bang-bangan) atau biru (biron).
Menurut penuturan Ibu Salbiyah, motif
batik Kebumen pada dasarnya ada tiga. Yaitu merakan (burung merak), pelataran
seperti daun-daunan yang lebar, dan jagatan atau sekar jagat. Masih ada motif
kombinasi yang bercorak lengkap, yakni kawung, ada kawung uwer dan ada kawung
jenggot.
Untuk batik kawung jenggot ini, sepintas
terkesan porno. Menurut Muhtadin, yang dikenal sebagai pengusaha batik dan juga
sebagai ketua kelompok perajin batik “MEKAR SARI”, warnanya agak berbeda dari
batik lainnya, karena didominasi warna hitam, dan ada perpaduan antara gambar
alam dan manusia, termasuk jenggot atau jambang lelaki. Kesannya seperti porno,
kawung jenggotan, namun motif batiknya justru menarik dan banyak digemari oleh
para ibu zaman dulu. Untuk jenis motif ini sangat langka, karena menurut
penuturan Pak Muhtadin di desanya hanya ada satu orang yang bisa membatik jenis
Kawung Jenggot.
Motif merakan mudah dikenali dari
ornamen bergambar burung merak, memanjang dari kepala hingga ekor. Di ujung
sayap yang panjang, ada warna melingkar kecil-kecil.
Corak pelataran juga begitu unik, yakni
perpaduan gambar dedauan, dan bunga-bungaan yang ada di halaman, atau pelataran
rumah. Adapun motif sekar jagat tergolong paling istimewa dan banyak disukai.
Sebab motif ini menggambarkan kombinasi seluruh isi alam, atau jagat raya ini.
Ada pepohonan, pemandangan alam, ada rumah, bahkan pagar rumah kadang muncul
pada motif ini.
Dari ketiga motif batik khas Kebumen, yang
dominan bertahan adalah corak sekar jagat. Motif batik ini seakan menjadi trade mark batik tulis Kebumen. Para
kolektor batik juga memburu jenis itu karena terkesan orisinil, dan kuat dalam
motif dan warna.
1. Desa Gemeksekti, Dusun Tanuraksan
Dusun Tanuraksan, Desa Gemeksekti, Kecamatan
Kebumen, Kabupaten Kebumen merupakan wilayah kampung batik. Memasuki desa itu
terdapat gapura besar bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Batik”. Sebutan
itu sangat kontras dengan kondisi yang terjadi di desa. Sepanjang jalan desa
tidak terlihat tanda-tanda bahwa desa itu adalah kampung batik. Tidak ada
tanda-tanda aktivitas masyarakat yang membatik atau menjemur kain batik.
Satu-satunya tanda adalah toko batik di sekitar pintu masuk desa serta rumah
yang dipasang papan “Paguyuban Pengrajin Batik”.
Ketika hendak bertanya-tanya mengenai batik di
desa itu, saya mencoba mendatangi rumah ketua paguyuban pembatik. Dari tuan
rumah, saya disarankan untuk datang ke rumah kepala desa yang juga pemilik toko
batik di Desa Tanuraksan. Dari sedikit penjelasan tuan rumah, menjelaskan bahwa
kondisi masyarakat sekitar sudah mulai enggan untuk membatik. Banyak masyarakat
yang lebih memilih bekerja menjadi buruh toko, petani, atau bekerja di luar
kota.
Penelusuran informasi dilanjutkan ke rumah
kepala desa yang juga pemilik Toko Batik “SEKAR JAGAD”. Ibu Hikmah adalah
pemilik satu-satunya toko batik di Desa ini. Bahkan Ibu Hikmah merupakan
satu-satunya orang di Kebumen yang memiliki showroom
batik sekaligus memproduksi. Menurutnya, dahulu, bahkan sejak jaman penjajahan,
di Tanuraksan sangat terkenal dengan pengrajin batiknya sehingga dijadikan
kampung batik. Tetapi dalam perkembangannya sekarang, masyarakat sudah mulai
meninggalkan aktivitas membatik. Menurut Ibu Hikmah bahwa memang di Desa Gemeksekti
tidak ada pengusaha batik selain toko miliknya, yang lain hanyalah pembatik
rumahan yang biasanya dikerjakan untuk mengisi waktu luang atau jika ada yang
memesan batik. Produksi batik toko milik Ibu Hikmah juga sebagian besar
dikerjakan di rumah masing-masing yang kemudian nanti disetor. Maka dari itulah
tidak ada tempat khusus bagi pegawainya membatik. Hanya terlihat orang membatik
sendirian di halaman rumah Ibu Hikmah, tepatnya tepat di belakang toko
Batiknya.
·
Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi para pengrajin batik
di Dusun Tanuraksan ini adalah mulai menurunnya minat masyarakat untuk
membatik. Hal ini dikarenakan kurangnya permodalan serta masyarakat menganggap
tidak prospeknya usaha membatik. Membatik memerlukan ketekunan dan menyita
banyak waktu, namun keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan tenaga
dan waktu yang dibuang. Mungkin karena alasan itulah mereka mulai meninggalkan
kehidupan membatik.
Sebenarnya pembatik di desa itu sangat banyak,
jumlahnya ratusan. Bahkan boleh dibilang, tiap rumah melakukan membatik. Karena
menurunnya minat membatik itulah, kini Desa Tanuraksan tidak seperti julukannya,
yaitu kampung batik. Para pembatik di desa itu biasanya menyetor hasil batiknya
ke Ibu Hikmah untuk dijual, meskipun ada yang menjualnya sendiri ketika ada
yang memesan.
Usaha Ibu Hikmah lumayan besar, namun untuk
masalah wilayah pemasaran penjualan masih terbatas di wilayah Kebumen. Meskipun
pernah mengikuti berbagai ajang pameran, mulai dari tingkat kabupaten hingga
tingkat nasional, bahkan hingga tingkat internasional seperti yang pernah
diikutinya di Malaysia, Ibu Hikmah belum memasarkan hasil produksinya secara
besar-besaran ke luar kota. Kalaupun hasil produksinya di jual ke luar kota,
itu pun karena permintaan atau pesanan dari luar kota. Selama ini upaya promosi
pun belum dilakukan, tetapi hanya sebatas mengikuti beberapa pameran batik.
2. Desa Jemur
Sedikit berbeda dengan kondisi di Desa Jemur,
di sana tidak ada yang memiliki badan usaha atau toko seperti Ibu Hikmah. Di
Desa Jemur terdapat dua kelompok pengrajin batik. Sebenarnya di Desa Jemur,
seperti di Desa Tanuraksan, banyak terdapat pembatik. Namun menurut Ibu Siti
Nurjanah, setidaknya ada sekitar 30an pengrajin batik di desa itu. Karena
jumlah itu, akhirnya dibagi menjadi 2 kelompok pembatik, yaitu: Kelompok
Kenanga dan Mawar. Di Desa Jemur kondisinya lebih terlihat bahwa itu kawasan
batik, karena ada beberapa rumah warga yang sedang mengerjakan batik.
Bahkan menurut penuturan beberapa orang, Desa
Jemur lebih terkenal batik tulisnya. Tidak heran, terkadang Toko Batik Sekar
Jagat milik Ibu Hikmah meminta pasokan batik tulis dari Desa Jemur ketika ada
pesanan. Ibu Hikmah pun membenarkan hal itu. Menurutnya Desa Jemur kualitas
batik tulisnya cukup rapi dan halus.
·
Permasalahan
Di Desa Jemur, Kecamatan Pejagoan ini
mengkhususkan dalam pengrajin batik tulis. Ketika mendatangi kelompok pengrajin
batik tulis Kenanga, di sana terdapat beberapa orang sedang membatik. Dari
penuturan Ibu Siti dan kawan-kawannya, diketahui bahwa masyarakat di desa itu
pun sama kondisinya dengan di Tanuraksan. Masyarakat mulai enggan meneruskan
tradisi membatik dikarenakan dianggap tidak menjanjikan, selain membutuhkan
modal yang besar, tenaga, ketekunan, serta waktu yang tidak sedikit. Setidaknya
diperlukan waktu 1-2 minggu untuk dapat menghasilkan 1 potong kain batik. Jika
motif yang dibuat cukup rumit dan memerlukan pewarnaan yang banyak seperti
motif Sekar Jagat, maka untuk menghasilkan 1 potong kain batik bisa
menghabiskan waktu 1 bulan. Pengorbanan tenaga dan waktu itu tidak sebanding
dengan harga kain batik yang hanya berkisar 120-300 ribu saja. Untuk motif yang
rumit dan memerlukan waktu pengerjaan hingga 1 bulan saja hanya dihargai
300-350 ribu.
Selama ini kendala yang terjadi selain
persoalan modal adalah bahwa membatik bukan menjadi pekerjaan pokok, tetapi
hanya pekerjaan sambilan atau hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Pemasaran
hasil produksi pun terbatas hanya di lingkungan sekitar dan tergantung pada
adanya pesanan atau tidak. Inilah yang membuat batik tidak berkembang di
Kebumen. Selain itu, pihak pemerintah pun kurang memperhatikan terhadap potensi
batik di daerahnya. Menurut Ibu Siti, dahulu ketika masa pemerintahan
Rustriningsih, batik cukup laku karena para pegawai dianjurkan mengenakan batik.
Namun sekarang batik telah digantikan lurik, sehingga batik mulai tidak laku.
Kelompok pembatik Desa Jemur sampai saat ini
belum pernah mempromosikan kerajinan batiknya lewat media apapun, bahkan
mengikuti pameran pun belum pernah. Tetapi pernah ada seorang warga yang
mencoba promosi lewat internet. Hasilnya, pernah ada orang dari Jakarta datang
mencari alamat di desa itu untuk memesan batik. Dari peristiwa itu, dapat disimpulkan
bahwa promosi lewat media sangat membantu dalam memasarkan produk batik. Hanya
saja peluang itu belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
3. Desa Seliling
Satu daerah lagi di Kebumen yang merupakan
sentra pengrajin batik yang masih aktif, yaitu Desa Seliling. Sebenarnya ada
beberapa desa penghasil batik di Kebumen, yaitu Desa Jemur, Seliling,
Gemeksekti, Surotrunan, Bojongsari, Tanjungsari, dan Kambangsari. Namun saat
ini yang masih aktif memproduksi hanya tinggal tiga desa, yaitu Gemeksekti,
Jemur, dan Seliling.
Di Desa Seliling terdapat dua kelompok pembatik
yang berada di Dusun Pegandulan dan Dusun Beji. Di Dusun Pegandulan teradap
kelompok pengrajin batik yang bernama “Mekar Sari” yang diketuai oleh Pak
Muhtadin, sedangkan untuk di Dusun Beji dipimpin oleh Pak Teguh. Memasuki Desa
Seliling memang tidak nampak aktivitas membatik. Begitupun ketika memasuki
dusun Pegandulan. Hanya ada papan penunjuk arah yang bertuliskan Kelompok
Pengrajin Batik “Mekar Sari” yang berada di pinggir jalan utama desa.
Untuk sampai ke tempat pengrajin dari jalan
utama harus melewati jalan sempit yang tidak mulus. Skitar beberapa ratus meter
dari jalan utama desa terdapat rumah yang di depannya dipasang sepanduk lusuh
yang menandakan bahwa di situ tempat pengrajin batik Desa Seliling. Di sekitar
rumah itu hampir tidak ada tanda-tanda bahwa dusun itu terdapat kelompok
pembatik. Menurut Pak Muhtadin, di dusun Pegandulan hanya ada sekitar 10 orang
pengrajin batik, itu pun kebanyakan sudah sepuh.
·
Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi oleh para pengrajin
batik di Desa Seliling ini pada umumnya sama seperti yang dialamai desa
lainnya. Dari segi sumberdaya manusia, para pembatik umumnya sudah sepuh dan
tidak ada regenerasi. Para keturunannya saat ini mulai enggan untuk meneruskan
tradisi membatik, sehingga dikhawatirkan ketika para sesepuh yang biasa
membatik sudah tidak ada, maka begitu juga dengan batiknya akan tenggelam.
Persoalan permodalan juga selalu menjadi
kendala bagi usaha batik. Mahalnya harga-harga bahan baku untuk membatik cukup
menjadi kesulitan para pengrajin yang melakukan usaha membatiknya dengan modal
sendiri. Ditambah lagi saat ini harga
minyak tanah sangat mahal. Minyak tanah sangat diperlukan untuk
pemanasan malam dalam hal pembatikan
menggunakan canthing. Jika
menggunakan minyak tanah, maka biaya produksi pun akan semakin mahal.
Permasalahan lainnya adalah soal pemasaran.
Selama ini para pengrajin hanya memproduksi untuk kebutuhan sendiri dan juga
ketika ada pesanan kain batik. Karena hal inilah batik dari Desa Seliling tidak
dikenal oleh orang dari luar daerah. Kurangnya pengetahuan dalam hal pemasaran
modern, membuat usaha batik di Desa Seliling ini melakukan penjualan “ala
kadarnya” saja, karena memang produksinya pun terbatas.