SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Sabtu, 22 Januari 2011

Diskriminasi Perempuan dalam Kesempatan Pendidikan

oleh: Bambang wibiono

Udara pagi masih menyelimuti daerah lereng gunung Slamet. Berjejer perempuan-perempuan berusia belasan tahun mengendarai sepeda. Dengan santai mereka melewati jalan desa dengan tujuan ke tempat mereka bekerja, yaitu di pabrik-pabrik yang ada di kota. Saat senja tiba, mereka kembali berduyun-duyun kembali ke rumah mereka masing-masing.

Kondisi itu mungkin juga terjadi di beberapa daerah di tanah air ini. Jika melihat usianya, mereka lebih pantas bersama teman-temannya berangkat ke sekolah menimba ilmu. Tetapi entah mengapa perempuan seusianya sudah bergelut dengan kerasnya hidup dan dunia kerja.

Ternyata tidak sedikit perempuan yang masih berusia sekolah “terpaksa” harus bekerja, baik itu sebagai pelayan toko maupun buruh pabrik. Dengan alasan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, memaksa orang tua menyuruh anak prempuannya bekerja untuk menambah ekonomi keluarga. Dalam keadaan demikian, pihak orang tua lebih rela mengorbankan anak perempuannya untuk bekerja membantu orang tua, sedangkan anak laki-lakinya tetap melanjutkan sekolah. Laki-laki dipandang lebih penting dalam mencari ilmu, sebab kelak kaum laki-laki yang akan menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tetap akan menjadi ibu rumah tangga. Dari anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu perlu bagi kaum perempuan.

Pandangan seperti inilah yang terlihat tidak adil bagi salah satu pihak, khusunya pihak perempuan. Mereka mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh pendidikan. Di samping itu mereka dieksploitasi untuk bekerja membantu orang tua, padahal seumuran mereka seharusnya masih menikmati masa anak-anak atau masa remaja mereka.

Diskriminasi Gender dan Hak Asasi

Ketidakadilan menjadi akar permasalahan dalam kehidupan. Sejarah manusia pun selalu dihiasi oleh permasalahan ini. Pada awalnya, permasalahan gender akibat dari adanya ketimpangan atau ketidakadilan yang dialami oleh manusia yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin, baik itu dari segi peran sosial maupun segi biologis. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (patriarki). Biasanya perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan sosial ini. Kaum perempuan dianggap sebagai kelompok inferior setelah laki-laki. Anggapan ini dibangun dari konstruksi sosial melalui pranata yang ada dalam masyarakat.

Berabad-abad konstruksi sosial mengenai peranan yang melekat pada perempuan dibentuk. Bahkan sosialisasi ini dilakukan sejak kita kecil. Sehingga tanpa kita sadari, peranan yang diberikan masyarakat pada setiap jenis kelamin seolah menjadi sebuah kodrat dan tabu untuk dipertentangkan, apalagi diubah.

Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai gender masih tidak jelas. Ada yang beranggapan bahwa gender merupakan peran yang dimiliki manusia berdasarkan jenis kelamin. Sehingga peran antara perempuan dan laki-laki tentu akan berbeda. Dari pemahaman ini juga timbul anggapan bahwa laki-laki memiliki peran yang eksklusif dibandingkan perempuan. Akibatnya perempuan manjadi kelompok yang terpinggirkan (subaltern) yang selalu tidak mampu memperoleh akses dalam ruang publik. Sebab, masyarakat menilai bahwa peran perempuan adalah di rumah.

Contoh dari ketidakadilan gender adalah adanya konsep pembagian peran yang mengatakan peran perempuan tempatnya di rumah (domestik), sementara peran pria di luar rumah (publik). Menurut kaum feminis, pembagian peran seperti itu sekedar konstruksi sosial yang tidak berkaitan sedikitpun dengan fisik (jenis kelamin). Perempuan dinilai sebagai “kelas kedua” di bawah laki-laki. Mereka sering mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam keluarga sehingga menghambat akses perempuan dalam ruang publik.

Setiap orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak memiliki haknya masing-masing yang tidak selayaknya untuk dirampas begitu saja. Begitupun para anak perempuan yang dipaksa bekerja. Hak mereka untuk bersekolah dan menuntut ilmu serta menikmati masa-masa remaja mereka tidak seharusnya diisi oleh kegiatan-kegiatan yang hanya akan menyita waktu dan perhatian mereka tehadap kondisi keuangan keluarga yang seharusnya itu menjadi beban dan tanggungan orang tua mereka.

Diskriminasi dan Kesempatan Pendidikan

Seringkali perempuan dinomorduakan dalam keluarga, misalnya dalam hal pendidikan. Bagi keluarga yang ekonominya lemah, tentu akan berdampak pada nasib perempuan. Ketika kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan, pihak orang tua akan lebih mendahulukan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah daripada anak perempuannya. Kaum laki-laki dianggap kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sehingga pendidikan lebih diutamakan untuk mendukung perannya. Sedangkan perempuan dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dalam rumah untuk mengurus anak, suami, dan rumahnya. Dari pandangan ini, maka dinilai pendidikan tinggi tidak begitu penting bagi kaum perempuan.

Sebenarnya anggapan seperti itu tidak selalu benar. Bagaimana seandainya kondisi menuntut dibutuhkannya sebuah peran perempuan untuk mempimpin rumah tangga dan mencari nafkah bagi keluarganya? Jika perempuan tidak memiliki kualitas pendikan yang memadai, maka dapat dipastikan perempuan tidak dapat menjalankan perannya untuk menggantikan peran laki-laki dalam keluarga. Dia akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan guna mengantisipasi kondisi demikian.

Legitimasi Agama

Persoalan ketidakadilan gender ini terkadang dilegitimasi oleh agama. Pemahaman yang tidak secara menyeluruh dari sebagian besar masyarakat, mengakibatkan seolah agama memberikan legitimasi mengenai peran dan posisi perempuan yang inferior. Misalnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam dalam sholat, perempuan lebih dianjurkan sholat di rumah ketimbang di masjid, istri dilarang keluar-keluar rumah dengan bebas ketika tidak ada suami, dan lain sebagainya. Dari alasan ini, dinilai perempuan memang inferior dan tempatnya di ranah privat. Padahal Islam memberi penjelasan bahwa perempuan memiliki hak yang seimbang dengan laki-laki seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut:

“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqoroh: 225).

Islam tidak mengajarkan tentang penindasan. Begitupun hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik, seperti yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik” (Surat An-Nisa: 19)

Dr. Ahmad Muhammad Jamal dalam bukunya Problematika Muslimah di Era Globalisasi (1995), menjelaskan bahwa Islam menyamakan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan baik hak maupun kewajibannya. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari nafkah, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Sedangkan perempuan berperan sebagai penenang suami, bersama-sama suami sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak serta membina etika keluarga.

Dari peranan yang dilabelkan pada perempuan memberikan penafsiran bahwa perempuan adalah sebagai pilar penerus peradaban. Tanpa adanya fungsi alami dari perempuan sebagai “mesin produksi” generasi penerus peradaban, dunia ini akan musnah tanpa regenerasi. Sungguh besar jasa atau peran perempuan—secara tidak langsung—dalam ruang publik, sebab kemajuan peradaban adalah karena peran seorang perempuan (ibu) sebagai pendidik.

Seandainya dunia ini bisa hidup layaknya manusia, tentu dia akan bersujud di kaki perempuan, karena kelangsungan, kemakmuran, dan kemajuan dunia ditentukan oleh seberapa besar perempuan menjalankan perannya. Oleh karena itu, perempuan juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama dalam akses pendidikan agar mereka mampu melahirkan generasi-generasi penerus peradaban yang berkualitas.

Tidak ada komentar: