Beberapa hari yang lalu temanku yg bernama Zamzam Muhammad Fuad menulis notes dalam facebook dan menge-tag ku. Aku kira tulisannya cukup bagus sebagai bahan renungan dan kajian. Untuk itu aku sengaja menyalinnya dan memposting kembali di blog ku ini. begini tulisannya
Sejak dahulu, perihal nol pengetahuan memang telah jadi perdebatan filosofis. Descartes berusaha menyangsikan seluruh pengetahuan purba-nya, guna mendapat ilmu pengetahuan murni (atau baru?). Karl Popper mengutuk metode berpikir deduksi. Geertz mengaplikasikan dalam metode grounded. Paling tidak, mereka ini adalah orang yang meniscayakan bahwa kegiatan berfikir sangat mungkin berawal dari nol.
Namun di ruang yang jauh, keadaannya jadi jomplang. Edward Said membuktikan bahwa intelektualisme hanyalah repetisi. Menurut Said, footnote, daftar pustaka yang berserakan menjadi bukti. Kalau tidak ada footnote atau daftar pustaka bukan berarti sebuah karangan dapat dibenarkan orisinalitasnya. Ortodoxy, dogma, hipotesa, asumsi, akan membuntuti pengarang untuk memandu setiap intelektualisme-nya. Simon Philpot dengan cantik mengkontekstualisasikan tesis ini pada diskursus politik Indonesia. Pengetahuan tidak hanya menular lewat buku saja. Novelis Ayu Utami pernah mengutarakan: ilmu pengetahuan manusia bisa ditularkan lewat darah, gnosis sanguinis. Seorang Psikoanalis Prancis, Jacques Lacan menyarankan: tidak ada subjek yang betul-betul mandiri. Perkembangan subjek terjerembab dalam mirror stage, dimana, tanpa sadar, subjek akan terus menjadi subjek-subjek yang lain. Tokoh-tokoh yang saya catat di atas, adalah segolongan orang yang anti-orisinalitas. Mereka agaknya percaya pada peribahasa dari Yunani:Tidak ada yang baru di bawah matahari.
Tanya kenapa, kenapa tanya
Malu bertanya sesat di jalan. Seingat saya, jika ingatan saya belum samar, peribahasa ini mulai di internalisasi sejak bangku sekolah dasar. Terlukis besar pada dinding, di samping imam bonjol mengendarai kuda. Kemudian hari baru saya sadari, ”tanya”, memiliki bermacam kategori yang sungguh problematik.
Tanya merupakan penanda bahwa manusia makhluk berfikir. Kemampuan bertanya adalah bukti bahwa kita eksis sebagai manusia. Tidak mungkin ada ”manusia” tanpa diawali dengan pertanyaan ”siapa saya?”. Kalau tidak percaya bahwa segala sesuatu bermula dari pertanyaan, sekarang saya tanya: adakah pengetahuan tentang sesuatu tanpa disertai pertanyaan terlebih dahulu?
Sebegitu pentingnya ”bertanya”, hingga guru/dosen tidak bosan bertanya: ”siapa yang mau bertanya”/”adakah yang ingin ditanyakan”? Kemampuan bertanya adalah harta yang mesti dibangkitkan, dipelihara, dan pada kesempatan ini, ”bertanya” akan saya pertanyakan.
Bertanya, pernah dijadikan Sokrates sebagai berhala. Bertanya adalah selera. Dia berkeliling lapangan dan pasar, untuk bertanya. Bolehlah kita sebut Sokrates adalah penggila pertanyaan. Kalau tidak gila betulan. Pertanyaan tolokan Sokrates mungkin; ”mengapa manusia tidak pernah bertanya”? Sokrates hidup dengan bertanya, matipun karena bertanya. Saking kagumnya, Plato membuat ikhtisar panjang tentang pertanyaan-pertanyaan yang pernah dipertanyakan Sokrates.
Cerita tentang Sokrates kontras dengan peribahasa yang ada di awal paragraf hulu. Zaman Sokrates, bertanya merupakan aktifitas sesat. Sedangkan pada peribahasa kita, tidak bertanya menjadi sebabnya tersesat. Apakah sikap manusia kekinian, tentang aktifitas bertanya, sudah begitu jauh berbeda dengan masa Sokrates? Bahwa di satu peradaban menjadi hujatan, di peradaban lain jadi pujaan? Pada kali ini bolehlah saya pertanyakan: Demikiankah?
Untuk memetakan mana pertanyaan yang dihujat, mana pertanyaan yang dipuja, ada 2 hal yang mesti jadi perhatian: pertama, pertanyaan murni. Kedua, pertanyaan nge-test. Saya coba meraba-meraba apa yang diasumsikan beberapa orang tentang kedua jenis pertanyaan ini.
Pertanyaan murni adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki nol pengetahuan tentang sesuatu hal yang ditanyakan. Pertanyaan murni diyakini banyak terdapat pada anak usia dini. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan murni adalah tanda seorang insan yang pembelajar dan cerdas. Wajar apabila pertanyaan murni adalah model pertanyaan yang dipuja.
Ini berbeda dengan pertanyaan nge-test. Pertanyaan nge-test adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Pengguna pertanyaan jenis ini kerap dijuluki manusia ”sok tidak tau”, inversi dari manusia ”sok tau”. Sokrates, karena disangka demen menggunakan jenis pertanyaan ini, dipaksa minum racun. Pertanyaan nge-test merupakan pertanyaan yang menjengkelkan. Oleh karena itu, dihujat.
Sekena-kenanya, itu adalah hasil rabaan saya terhadap beberapa opini tentang 2 jenis pertanyaan di atas. Namun, bagi saya, tidak sesederhana itu. Goenawan Mohammad pernah menyitir perkataan Derrida: memaafkan yang murni adalah memaafkan kesalahan yang tak mungkin termaafkan. Jika saya boleh membanting pernyataan di atas kedalam konteks persoalan ”pertanyaan”: bertanya yang murni adalah bertanya tentang pertanyaan yang tidak mungkin ada jawabannya. Proyek ini sulit sekali. Belum lagi ditambah dengan kemampuan kita untuk men ”jawab se-kena-nya”
Pertanyaan murni tidak memiliki ukuran standar. Usia sebagai ukuran, dapat dengan mudah dihancurkan. Adik saya Sekolah Dasar pernah bertanya:
-”mas, dah punya pacar?”
-”belum, dek”
-”bohong”
Tersirat: adik saya yakin, saya sudah punya pacar. Artinya, pertanyaan adik saya bukan bertolak dari nol pengetahuan.
Contoh lain ketika seorang bocah ingusan bertanya:
-mbak, tau mainanku?"
Tersirat: si bocah ingusan merasa tau, bahwa mbaknya tau keberadaan mainannya. Ilustrasi ini sinonim dengan: Mengapa saya tanya tentang ”buku teks” pada dosen saya, bukan kepada kakak saya? Itu karena saya menyimpan segenap pengetahuan sebelum bertanya. Pengetahuan yang saya punya adalah: dosen akan dapat memberikan jawaban perihal ”buku teks” dibanding kakak saya.
Menurut saya (bukan murni pendapat saya), tidak ada pertanyaan yang dimulai dari nol pengetahuan. Kalau pendapat saya ini benar, pertanyaan murni atau nge-test jadi kabur maknanya. Jikapun ada, raison d’ etre pembedaan tersebut adalah pikiran yang apriori dan sentimentil.
Jika boleh sedikit sabar dan proporsional, pertanyaan nge-test pun rupanya dapat bebas dari dilema moral, baik dan buruk. Saya punya dosen namanya Bu Sofa. Beliau adalah dosen terfavorit saya (sumpah demi Allah), yang pertamakali mengajarkan tentang marx dan foucault pada saya. Beliau acapkali bertanya pada mahasiswa tentang sesuatu yang telah diajarkan. Apakah itu adalah sebuah attitude yang buruk? Jika saya ditanya: ”Zamzam, tolong jelaskan kembali perihal pemikiran Foucault barusan”. Jelas, itu adalah pertanyaan nge-test. Apakah elok jika kemudian saya jawab: ”ibu nge-test saya?”. Ilustrasi yang se-genus dengan cerita di atas, tersebar di ruang-ruang kelas sejak PAUD hingga Universitas. Saya menyangsikan ada guru PAUD yang bertanya: ”ini warna apa anak-anak?”, padahal dia sendiri tidak punya pengetahuan tentang warna.
Menurut hemat saya, cukuplah, kegiatan bertanya dimaknai sebagai aktifitas kritis. Terlepas dari sang penanya benar-benar tidak mengerti atau cuma nge-test atau cuma iseng atau cuma basa-basi, atau cuma gojek. Cukup saya saja yang dituduh ”suka nge-test dosen”. Jika boleh menyampaikan sedikit klarifikasi dan bersikap jujur perihal ”buku teks gate”, kala itu, saya benar-benar kurang mengerti apa yang dimaksud dengan ”buku teks”. Sebab tidak mau tersesat di jalan, saya bertanya.
Tulisan ini saya harapkan, khususnya, dibaca oleh civitas akademik jurusan ilmu politik. Saya sendiri tidak menyangka, mengapa saya mesti menulis ”Tanya Kenapa, Kenapa Tanya”. Satu yang pasti, ketika saya tau, bahwa di kening saya sudah distempel mahasiswa tukang bertanya nge-test, saya merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkaranya. IP saya belum 3. Toefl saya ndak sampe 450. Masih mengandalkan google translate pula. Kuliah saya 5 tahun belum rampung. Kok seakan-akan saya adalah mahasiswa paling jago, hingga bisa ngetest-ngetest dosen. Sebenarnya, saya tidak mampu untuk menghalangi interpretasi orang lain terhadap saya. Itu adalah hak orang lain. Tapi ketika saya bisa berbicara, saya tidak mau hanya diam. Ada 2 alasan saya menulis ini: Pertama, saya tidak ingin budaya bertanya menghilang dari kelas. Kedua, saya hanya ingin menjadi seorang pembelajar. Once upon a time, Bu Ana pernah bercerita pada saya: ”kita semua adalah pembelajar”. Pernyataan tersebut benar-benar saya interpretasi, fahami, resapi dalam-dalam.
Seluruh interpretasi saya kembalikan kepada pembaca. Saya biarkan semua mengambang, tidak ada kesimpulan, tidak ada epilog.
Keadilan sudah harus ada sejak dalam pikiran....
(Pramoedya A. Toer. Bumi Manusia)
*ditulis oleh Zamzam Muhammad Fuad, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman
Sejak dahulu, perihal nol pengetahuan memang telah jadi perdebatan filosofis. Descartes berusaha menyangsikan seluruh pengetahuan purba-nya, guna mendapat ilmu pengetahuan murni (atau baru?). Karl Popper mengutuk metode berpikir deduksi. Geertz mengaplikasikan dalam metode grounded. Paling tidak, mereka ini adalah orang yang meniscayakan bahwa kegiatan berfikir sangat mungkin berawal dari nol.
Namun di ruang yang jauh, keadaannya jadi jomplang. Edward Said membuktikan bahwa intelektualisme hanyalah repetisi. Menurut Said, footnote, daftar pustaka yang berserakan menjadi bukti. Kalau tidak ada footnote atau daftar pustaka bukan berarti sebuah karangan dapat dibenarkan orisinalitasnya. Ortodoxy, dogma, hipotesa, asumsi, akan membuntuti pengarang untuk memandu setiap intelektualisme-nya. Simon Philpot dengan cantik mengkontekstualisasikan tesis ini pada diskursus politik Indonesia. Pengetahuan tidak hanya menular lewat buku saja. Novelis Ayu Utami pernah mengutarakan: ilmu pengetahuan manusia bisa ditularkan lewat darah, gnosis sanguinis. Seorang Psikoanalis Prancis, Jacques Lacan menyarankan: tidak ada subjek yang betul-betul mandiri. Perkembangan subjek terjerembab dalam mirror stage, dimana, tanpa sadar, subjek akan terus menjadi subjek-subjek yang lain. Tokoh-tokoh yang saya catat di atas, adalah segolongan orang yang anti-orisinalitas. Mereka agaknya percaya pada peribahasa dari Yunani:Tidak ada yang baru di bawah matahari.
Tanya kenapa, kenapa tanya
Malu bertanya sesat di jalan. Seingat saya, jika ingatan saya belum samar, peribahasa ini mulai di internalisasi sejak bangku sekolah dasar. Terlukis besar pada dinding, di samping imam bonjol mengendarai kuda. Kemudian hari baru saya sadari, ”tanya”, memiliki bermacam kategori yang sungguh problematik.
Tanya merupakan penanda bahwa manusia makhluk berfikir. Kemampuan bertanya adalah bukti bahwa kita eksis sebagai manusia. Tidak mungkin ada ”manusia” tanpa diawali dengan pertanyaan ”siapa saya?”. Kalau tidak percaya bahwa segala sesuatu bermula dari pertanyaan, sekarang saya tanya: adakah pengetahuan tentang sesuatu tanpa disertai pertanyaan terlebih dahulu?
Sebegitu pentingnya ”bertanya”, hingga guru/dosen tidak bosan bertanya: ”siapa yang mau bertanya”/”adakah yang ingin ditanyakan”? Kemampuan bertanya adalah harta yang mesti dibangkitkan, dipelihara, dan pada kesempatan ini, ”bertanya” akan saya pertanyakan.
Bertanya, pernah dijadikan Sokrates sebagai berhala. Bertanya adalah selera. Dia berkeliling lapangan dan pasar, untuk bertanya. Bolehlah kita sebut Sokrates adalah penggila pertanyaan. Kalau tidak gila betulan. Pertanyaan tolokan Sokrates mungkin; ”mengapa manusia tidak pernah bertanya”? Sokrates hidup dengan bertanya, matipun karena bertanya. Saking kagumnya, Plato membuat ikhtisar panjang tentang pertanyaan-pertanyaan yang pernah dipertanyakan Sokrates.
Cerita tentang Sokrates kontras dengan peribahasa yang ada di awal paragraf hulu. Zaman Sokrates, bertanya merupakan aktifitas sesat. Sedangkan pada peribahasa kita, tidak bertanya menjadi sebabnya tersesat. Apakah sikap manusia kekinian, tentang aktifitas bertanya, sudah begitu jauh berbeda dengan masa Sokrates? Bahwa di satu peradaban menjadi hujatan, di peradaban lain jadi pujaan? Pada kali ini bolehlah saya pertanyakan: Demikiankah?
Untuk memetakan mana pertanyaan yang dihujat, mana pertanyaan yang dipuja, ada 2 hal yang mesti jadi perhatian: pertama, pertanyaan murni. Kedua, pertanyaan nge-test. Saya coba meraba-meraba apa yang diasumsikan beberapa orang tentang kedua jenis pertanyaan ini.
Pertanyaan murni adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki nol pengetahuan tentang sesuatu hal yang ditanyakan. Pertanyaan murni diyakini banyak terdapat pada anak usia dini. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan murni adalah tanda seorang insan yang pembelajar dan cerdas. Wajar apabila pertanyaan murni adalah model pertanyaan yang dipuja.
Ini berbeda dengan pertanyaan nge-test. Pertanyaan nge-test adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Pengguna pertanyaan jenis ini kerap dijuluki manusia ”sok tidak tau”, inversi dari manusia ”sok tau”. Sokrates, karena disangka demen menggunakan jenis pertanyaan ini, dipaksa minum racun. Pertanyaan nge-test merupakan pertanyaan yang menjengkelkan. Oleh karena itu, dihujat.
Sekena-kenanya, itu adalah hasil rabaan saya terhadap beberapa opini tentang 2 jenis pertanyaan di atas. Namun, bagi saya, tidak sesederhana itu. Goenawan Mohammad pernah menyitir perkataan Derrida: memaafkan yang murni adalah memaafkan kesalahan yang tak mungkin termaafkan. Jika saya boleh membanting pernyataan di atas kedalam konteks persoalan ”pertanyaan”: bertanya yang murni adalah bertanya tentang pertanyaan yang tidak mungkin ada jawabannya. Proyek ini sulit sekali. Belum lagi ditambah dengan kemampuan kita untuk men ”jawab se-kena-nya”
Pertanyaan murni tidak memiliki ukuran standar. Usia sebagai ukuran, dapat dengan mudah dihancurkan. Adik saya Sekolah Dasar pernah bertanya:
-”mas, dah punya pacar?”
-”belum, dek”
-”bohong”
Tersirat: adik saya yakin, saya sudah punya pacar. Artinya, pertanyaan adik saya bukan bertolak dari nol pengetahuan.
Contoh lain ketika seorang bocah ingusan bertanya:
-mbak, tau mainanku?"
Tersirat: si bocah ingusan merasa tau, bahwa mbaknya tau keberadaan mainannya. Ilustrasi ini sinonim dengan: Mengapa saya tanya tentang ”buku teks” pada dosen saya, bukan kepada kakak saya? Itu karena saya menyimpan segenap pengetahuan sebelum bertanya. Pengetahuan yang saya punya adalah: dosen akan dapat memberikan jawaban perihal ”buku teks” dibanding kakak saya.
Menurut saya (bukan murni pendapat saya), tidak ada pertanyaan yang dimulai dari nol pengetahuan. Kalau pendapat saya ini benar, pertanyaan murni atau nge-test jadi kabur maknanya. Jikapun ada, raison d’ etre pembedaan tersebut adalah pikiran yang apriori dan sentimentil.
Jika boleh sedikit sabar dan proporsional, pertanyaan nge-test pun rupanya dapat bebas dari dilema moral, baik dan buruk. Saya punya dosen namanya Bu Sofa. Beliau adalah dosen terfavorit saya (sumpah demi Allah), yang pertamakali mengajarkan tentang marx dan foucault pada saya. Beliau acapkali bertanya pada mahasiswa tentang sesuatu yang telah diajarkan. Apakah itu adalah sebuah attitude yang buruk? Jika saya ditanya: ”Zamzam, tolong jelaskan kembali perihal pemikiran Foucault barusan”. Jelas, itu adalah pertanyaan nge-test. Apakah elok jika kemudian saya jawab: ”ibu nge-test saya?”. Ilustrasi yang se-genus dengan cerita di atas, tersebar di ruang-ruang kelas sejak PAUD hingga Universitas. Saya menyangsikan ada guru PAUD yang bertanya: ”ini warna apa anak-anak?”, padahal dia sendiri tidak punya pengetahuan tentang warna.
Menurut hemat saya, cukuplah, kegiatan bertanya dimaknai sebagai aktifitas kritis. Terlepas dari sang penanya benar-benar tidak mengerti atau cuma nge-test atau cuma iseng atau cuma basa-basi, atau cuma gojek. Cukup saya saja yang dituduh ”suka nge-test dosen”. Jika boleh menyampaikan sedikit klarifikasi dan bersikap jujur perihal ”buku teks gate”, kala itu, saya benar-benar kurang mengerti apa yang dimaksud dengan ”buku teks”. Sebab tidak mau tersesat di jalan, saya bertanya.
Tulisan ini saya harapkan, khususnya, dibaca oleh civitas akademik jurusan ilmu politik. Saya sendiri tidak menyangka, mengapa saya mesti menulis ”Tanya Kenapa, Kenapa Tanya”. Satu yang pasti, ketika saya tau, bahwa di kening saya sudah distempel mahasiswa tukang bertanya nge-test, saya merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkaranya. IP saya belum 3. Toefl saya ndak sampe 450. Masih mengandalkan google translate pula. Kuliah saya 5 tahun belum rampung. Kok seakan-akan saya adalah mahasiswa paling jago, hingga bisa ngetest-ngetest dosen. Sebenarnya, saya tidak mampu untuk menghalangi interpretasi orang lain terhadap saya. Itu adalah hak orang lain. Tapi ketika saya bisa berbicara, saya tidak mau hanya diam. Ada 2 alasan saya menulis ini: Pertama, saya tidak ingin budaya bertanya menghilang dari kelas. Kedua, saya hanya ingin menjadi seorang pembelajar. Once upon a time, Bu Ana pernah bercerita pada saya: ”kita semua adalah pembelajar”. Pernyataan tersebut benar-benar saya interpretasi, fahami, resapi dalam-dalam.
Seluruh interpretasi saya kembalikan kepada pembaca. Saya biarkan semua mengambang, tidak ada kesimpulan, tidak ada epilog.
Keadilan sudah harus ada sejak dalam pikiran....
(Pramoedya A. Toer. Bumi Manusia)
*ditulis oleh Zamzam Muhammad Fuad, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar