Berbincang tentang Cinta dan Konsep Keimanan
Oleh: Bambang Wibiono
Saya menulis tentang topik ini berawal dari pengalaman, penuturan atau kisah-kisah orang serta renungan terhadap pengalaman tentang percintaannya. Setelah dipikir, ternyata ada kesamaan antara konsep cinta sesama manusia dengan konsep keyakinan terhadap Tuhan. Meskipun konteks dimensi yang berbeda antara manusia (yang terbatas ruang dan waktu) dan Tuhan (yang tak terbatas ruang dan waktu), namun pada taraf tertentu dapat disamakan. Persoalan keyakinan dan juga cinta kasih adalah persoalan perasaan yang sulit diukur dengan ukuran kasat mata atau ukuran inderawi.
Ikrar sebagai Pernyataan tentang Perasaan
Dalam proses percintaan manusia atau dalam bahasa gaulnya adalah pacaran, sebenarnya mirip dengan proses keyakinan kita kepada Allah sebagai Tuhan kita. Soal cinta dan kasih sayang bukan persoalan ucapan lewat kata-kata semata. Misalnya ketika seseorang jatuh cinta pada lawan jenis, tentu akan mengungkapkannya lewat kata “aku cinta kamu”, “aku suka kamu”, atau “aku sayang kamu”. Pada dasarnya lafadz cinta itu sama halnya dengan lafadz syahadat ketika kita meyakini Allah Tuhan kita, yaitu “laa illa ha ilallah” (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah). Pada taraf ini, kedua lafadz atau kalimat itu bisa disamakan kedudukannya sebagai pernyataan atau ikrar kita.
Persoalan sebenarnya adalah bukan pada lafadz atau ikrar yang diucapkan, tetapi ada pada hati dan perasaan kita seberapa jauh meyakininya. Cinta dan begitu juga dengan keyakinan tentang Ketuhanan tidak hanya bisa diukur dengan sebuah ikrar atau perkataan semata. Meskipun ikrar atau ucapan itu bisa dijadikan tolak ukur yang disaksikan orang lain sebagai tanda pernyataan kesaksian kita. Namun lebih dari itu, sesungguhnya keyakinan ada pada perasaan individu itu sendiri.
Lamanya proses jatuh cinta bisa bermacam-macam. Mungkin ada yang dalam waktu cepat seseorang merasakan cinta karena pengalaman batin atau spiritual tertentu yang akhirnya meyakinkan hatinya. Tetapi ada juga yang melalui proses dan pencarian yang cukup lama. Begitupun dengan keimanan. Ada yang sampai memerlukan hampir seluruh usianya untuk dapat meyakini keimanannya, namun ada juga yang dalam waktu singkat.
Persoalan perasaan ini tidak dapat dipaksakan pada seseorang. Semuanya harus berdasarkan kesadaran dan keyakinannya sendiri. Pada kasus lain, misalnya kita dapat memaksakan seseorang untuk meminum air yang kita berikan walaupun dia tidak mau. Namun jika cinta dan keyakinan berTuhan tidak bisa dipaksakan. Meskipun secara lisan kita bisa berucap cinta atau syahadat, namun itu belum bisa menjamin. Bisa saja kita seribu kali kita berikrar, namun jika tidak diyakini dalam hati dan perbuatan, sama saja bohong besar.
Pedekate
Pada tahap selanjutnya, ketika kita menyukai lawan jenis, tentu kita akan mencari tahu apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya, kebiasaannya, dan lain sebagainya untuk dapat menarik perhatiannya. Begitu juga dengan keber-Tuhanan kita. Ketika kita sudah berikrar bahwa kita mengakui Allah Tuhan kita yang Esa, maka kita harus menjalankan semua yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang tidak disukainya atau yg dilarangnya. Sebuah konsekuensi logis dari ini adalah bahwa syariat harus dijalankan oleh manusia yang telah menyatakan diri bertuhan kepada Allah yang Esa (beriman).
Semakin kita meyakini perasaan cinta kita, maka akan semakin berkorban untuk si “Dia”, betapapun beratnya dan rintangan yang ada akan diterjang.
Misalkan ketika kita jatuh cinta pada seseorang, tentu hal yang akan dilakukan adalah mendekatinya dengan cara sering berkunjung ke rumahnya untuk menemui si doi, atau dalam bahasa gaulnya ngapel, mengajak jalan-jalan, makan bareng, sering berkomunikasi dan lain sebagainya yang akan membuat kedekatan hubungan. Begitu halnya dengan kecintaan kita kepada Allah. Untuk dapat menarik perhatian-Nya kepada kita, tentu kita harus menjalankan apa yang diperintahkannya, tidak hanya yang sifatnya fardu atau wajib, tetapi juga sebisa mungkin melaksanakan hal-hal yang disunahkan. Dengan cara ini maka Allah akan semakin memperhatikan karena kesungguhan kita.
Inrelationship (Berpacaran)
Pada tahap selanjutnya, ketika kita telah mendapatkan hati si doi, tentu dia akan menerima kita apa adanya. Karena cinta adalah soal perasaan di dalam hati, maka cinta akan menegasikan faktor inderawi atau yang berorientasi pada apa yang terlihat, seperti wujud fisik. Kata banyak orang, cinta itu buta dan tidak memakai mata, tetapi menggunakan hati.
Ketika dia telah menerima cinta kita, proses yang dilakukan pada saat pedekate masih dilakukan. Namun perbedaannya adalah, jika dulu kita harus benar-benar berkorban untuk si dia, sekarang beban kita sedikit lebih ringan. Karena dia pun akan menaruh perhatian pada kita. Kadang dia pun akan memberi tanpa kita harus memintanya. Jika pada awal selalu kita yang membayari makan dan jalan-jalan, sekarang dia siap berbagi bahkan bukan tidak mungkin kadang dia yang mentraktir kita.
Saat kita telah mendapatkan cinta Allah, maka apa yang kita inginkan tentu akan dikabulkannya. Bahkan tanpa kita meminta Dia akan memberinya, karena Dia mengetahui isi hati kita. Bahkan pada taraf tertentu, mungkin Allah akan mengampuni dan memaklumi kita ketika ada kewajiban kita yang lupa tidak dilaksanakan. Begitu juga dengan berpacaran. Saat kita lupa penuhi janji ngapel malam minggu, atau lupa untuk menelpon, lupa membalas sms, tentu si doi akan memaafkannya asal dengan alasan yang sungguh-sungguh.
Ma’rifatullah
Pada tahap yang lebih tinggi, proses-proses yang telah disebutkan tadi hampir tidak diperlukan lagi. Pada tahap ini kedua pihak sudah benar-benar satu hati. Apa yang dilakukan untuk pasangannya sudah tidak lagi mempertimbangkan untung rugi dan motif lainnya. Keduanya saling mengisi dan saling mendukung. Apa yang menjadi milik dia adalah milik kita juga, begitupun sebaliknya. Hubungan pada tahap ini adalah hubungan yang intim, dan sudah melalui jenjang pernikahan. Apa yang sebelumnya dilarang untuk dilakukan, menjadi diperbolehkan. Proses pedekate, ngapel, ngedate, sudah tidak diperlukan lagi, sebab mereka tinggal dalam satu atap dan segalanya menjadi tanggungjawab bersama dalam mengarungi kehidupan berkeluarga.
Dalam hubungan keTuhanan, ini sudah mencapai pada taraf ma’rifat atau bahkan insan kamil. Dalam bahasa sufi, manusia yang telah mencapai tingkatan ini akan manunggaling kawula gusti atau menyatunya “wujud” Tuhan dengan hambanya. Sehingga ada yang berpendapat bahwa ketika telah mencapai tahap ini, syariat tentang tata cara beribadah menjadi tidak penting untuk dilaksanakan. Semua yang dilakukannya dianggap sebagai kehendak atau perilaku Tuhan.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam semua proses yang telah disebutkan itu, adalah HINDARI PENGHIANATAN!! Ketika kita berikrar dan meyakininya dengan sepenuh hati bahwa tiada yang lain selain dia, maka kita tidak diperbolehkan mendua. Karena ini merupakan kesalahan terbesar dalam proses berhubungan, baik itu hablumminallah maupun hablum minannas. Tidak heran jika dalam kehidupan beragama, khususnya Islam, bahwa dosa terbesar adalah menyekutukan Allah atau dalam bahasa manusianya adalah mendua atau selingkuh, mengakui ada yang lain selain Dia. Tetapi mungkin, pada kondisi tertentu, karena kekhilafan kita, perbuatan ini bisa dimaafkan asalakan kita sungguh-sungguh bertobat dan kembali meng-Esakan Allah.
Itulah beberapa aspek persamaan yang bisa saya sampaikan terkait hubungan kita dengan manusia dan juga hubungan kita kepada Allah. Semua argumen yang disampaikan adalah sepenuhnya berdasarkan ijtihad penulis sendiri yang mungkin bersifat subjektif, dan masih kurang memahami ilmunya, sehingga masih menyisakan ruang dialektika bagi kita.
Wallahu’alam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar