Makna sains di sini tidak hanya sekedar keilmuan dalam lingkup akademis, tetapi mencakup pengetahuan yang tersistemasikan dalam alam pemikiran manusia tentang berbagai hal yang bisa diukur dengan data-data kualitatif dan kuantitatif. Jadi sains akan lebih meluas maknanya dan fungsinya dalam perilaku manusia dalam mengelola kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, barangkali sains merupakan amanat Tuhan yang diemban oleh manusia sebagai khalifatullah di muka bumi ini. Menurut Sahirul Alim, sains menjadi salah satu persoalan yang dipelajari manusia, di samping syariat agama, teknologi dan seni.[1] Sehingga mau tidak mau, manusia muslim harus berilmu dan beramal untuk kepentingannya sendiri dalam lingkup interaksi Ketuhanan dan kemanusiaan.
Al-Quran secara baik merekam bahwa sains itu sudah seusia manusia sendiri dan begitu juga dengan agama, terlepas dalam motif dan nalar apa manusia beragama. Ketika Tuhan menciptakan Adam sebagai manusia pertama, maka Tuhan juga memberikan seperangkat persepsi keilmuan untuk tugas-tugas fungsional kemanusiaan. Dalam hal ini berarti Tuhan tidak membiarkan manusia (Adam) “tersesat jalan” dalam mengaplikasikan kehendak Tuhan dalam menata konsep diri dan alam semesta. Ada tugas (atau penugasan) berarti pula ada term of reference yang menjadi acuan dan rujukan dalam menjalankan tugas tersebut secara baik dan benar. Dan Adam sudah diberikan Tuhan seperti itu. Karena itu, Adam secara sadar akan terus menampakkan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang “cerdas”, dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lainnya. Dalam penampakan sebagai makhluk cerdas ini, Adam (baca: manusia) tentunya akan berdialektika dan berinteraksi dengan realitas kealaman sebagai bentuk wujud dari eksistensi Tuhan.
Maka tradisi Adam itu diwariskan juga kepada para nabi-Nya, agar kesinambungan kekhalifahan itu tidak mandeg. Namun Tuhan hanya memberikan ilmu kepada manusia (khususnya) sangatlah sedikit. Karena itu pembacaan manusia terhadap ilmu Tuhan itu berarti “Ilmu Tuhan itu tidak terhingga” dan “Ilmu makhluk sedikit tidak terhingga”. Dengan pembacaan yang seperti ini, menggambarkan bahwa manusia itu sesungguhnya sangat bodoh[2] dan tidak mempunyai citra kecerdasan, bila tidak mau dan mampu membangun interaksi dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Keterbodohan ini akan semakin meningkat, ketika manusia justru melawan Tuhan dan menanggalkan peran kekhalifahannya itu.[3] Dengan demikian, manusia tidak layak menyandang gelar kebodohan, kalau ia masih ingin eksis dalam kediriannya.
Dalam kesedikitan ilmu Tuhan itu, Tuhan tidak membiarkan manusia tetap dalam kebodohannya dan berada dalam gua kediriannya yang mencerminkan ketertutupan fitrahnya. Tuhan memberikan ciptaan-Nya yang terhampar luas dalam dunia kasat mata, termasuk diri manusia itu sendiri. Karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk iqra` dalam proses pewahyuan kepadanya. Perintah iqra` ini bermakna sangat luas, karena obyek iqra` ini tidak hanya apa yang tertulis (teks), tetapi mencakup realitas keghaiban, realitas sosial sebagai perwujudan eksistensi kedirian makhluk-Nya.
Karena itu menjadi tugas manusia untuk meng-iqra`-i Tuhan dengan semua ciptaan-Nya, termasuk diri manusia itu sendiri. Tuhan memberikan cara dalam membimbing manusia untuk iqra` ini supaya ke-Ghaiban Tuhan dan realitas makhluk-Nya di dunia ini bisa terjelaskan dalam kesadaran kosmis manusia. Adapun cara itu adalah melalui wahyu (wahyu tertulis yang terdiri dari Al-Quran dan hadits Nabi) dan fenomena alam semesta (Al-Kaun).
Wahyu tertulis memuat beberapa konsep dan bahasa serta kalam Tuhan dalam berbagai hal yang menyangkut syariat, muamalah, akidah, akhlak, maupun kehendak Tuhan yang tidak berkaitan dengan “kewajiban” terhadap manusia yang terkodifikasikan dalam Al-Quran maupun sunnah-sunnah Nabi. Tuhan membicarakan diri-Nya juga dalam wahyu tertulis ini. Maka, manusia yang mengimani-Nya harus membaca dan menangkap secara substansial dan literal dari wahyu tertulis ini.
Sedangkan Al-Kaun lebih luas dan meluas dalam pemahamannya, bahkan cenderung tak terbataskan dalam pembacaan terhadap lembarannya. Al-Kaun akan memperkuat wahyu tertulis untuk membentuk manusia yang kaffah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran sendiri. Al-Kaun juga banyak dibicarakan dalam Al-Quran, sehingga dapat dikatakan bahwa keduanya menjadi dua sumbu yang mengantarkan akan eksistensi hakiki Tuhan dan ketundukan dalam keterbatasan ciptaan-Nya, terutama sekali manusia, yang diberi amanat sebagai khalifah dan diberikan sebuaah kitab suci untuk selalu membangun interaksi dengan Tuhan dan makhluk-Nya itu.
Untuk membaca Al-Kaun ini, Tuhan memberikan potensi yang lebih baik, yakni akal. Dalam pemikiran Sahirul Alim, akal ini menjadi anugerah Tuhan yang sangat berharga, sehingga manusia mampu berfikir kritias dan logis. Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW membawa sifat memuliakan sekaligus mengaktifklan kerja akal serta menuntunnya ke arah pemikiran Islam yang rahmatan lil alamin. Maka Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya dan agamanya, serta mampu membuat argumen yang rasional tentang keberagamaan dan keyakinan-keyakinanya. Dengan begitu, maka segala putusan dan perilaku yang dilaksanakannnya merupakan artikulasi dari nilai-nilai keislaman dan pertimbangan rasional yang matang, yang sudah terinternalisasikan dari dalam pribadinya. Di samping akal, juga ada karunia kemampuan lainnya, seperti kognitif, emosif dan afektif dan kemampuan jasmani (panca indera).[4]
Akal akan membantu dan menyeimbangkan kesadaran dan aksi pembacaan terhadap ilmu-ilmu Tuhan yang tidak tersimbolkan dalam wahyu tertulis. Akal akan mengurai dan menganatomi hakikat dan makna terdalam yang ditulis oleh Tuhan dengan bahasa alam (Al-Kaun). Tetapi, akal tidak juga secara bebas dalam menjustifikasi kebenaran tentang makhluk-Nya. Keimanan menjadi kunci pokok untuk kesempurnaan pemahaman dan pembacaan terhadap segala sesuatu yang disediakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah maupun hamba-Nya.
Karena itu, keimanan dan akal akan melahirkan kemampuan ganda, yakni kemampuan membangun hablum min Allah dan kemampuan mengartikulasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan di dunia ini, yang tentunya dengan seperangkat pemahaman yang benar.
Tentang Wujud Materi dalam Sains
Ketika anda melihat ke luar jendela, anda berpikir bahwa anda melihat sebuah citra dengan kedua mata anda, demikianlah yg diajarkan kita selama ini. Sesungguhnya, bukan begitu cara kerjanya. Anda tidak melihat dunia ini dengan kedua mata anda, tetapi anda melihat citra yang tercipta dalam otak anda. Ini bukan sebuah perkiraan, spekulasi filosofis, melainkan kebenaran ilmiah.
Setiap orang sepanjang hidupnya menyaksikan segala hal di dalam otaknya dan tidak dapat menjangkau benda-benda material tertentu yang dianggap mengakibatkan apa yang dialaminya. Citra-citra yang kita lihat adalah salinan di dalam otak kita dari benda-benda yang kita asumsikan ada di luar diri kita. Kita tidak pernah tahu sebatas manakah salinan-salinan tadi sesuai dengan wujud aslinya, atau apakah wujud aslinya itu sendiri memang ada atau tidak. Pernahkah kita berpikir apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan itu sama dengan apa yang di lihat, didengar, dan dirasakan oleh orang lain? Wallahu’alam
Apa yang ada di depan kita dengan bentuknya yang utuh dan apa yang dipandang oleh mata kita bukanlah ”dunia” ini. Ia hanyalah bayangannya saja, suatu penyerupaan, sebuah proyeksi yang hubungannya dengan wujud aslinya masih terbuka untuk diperdebatkan.
Terkait dengan persoalan ini, maka ketika ada yang mempertanyakan wujud Allah yang tidak ”nyata” atau tidak ”nampak” sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Karena apa yang kita lihat dan kita pegang pun sebenarnya masih bersifat asumsi bahwa benda itu memang ada dan berbentuk seperti ”itu”, dan asumsi ini berdasarkan citra yang terbayang dalam otak kita. Oleh karena itu betapa banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk ”membaca”, berpikir, merenungkan tentang semua ciptaan Allah ketika seorang mahluk hendak mengetahui dan mengenal ’wujud’ Tuhannya.
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir. (Yunus: 24)
Untuk permasalahan ini, Allah menjawabnya dalam Al-Qur’an bahwa keberadaan Allah sangat dekat dengan hamba-Nya seperti yg diterangkan dalam
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al-Baqarah: 186)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (Al-Qaaf: 16)
Sistem Keyakinan dalam Islam
Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya. Salah satu di antaranya adalah mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan pada doktrin literal. Pada dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia.
Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil) secara sadar.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal.
[1] Sahirul Alim, Sains, Teknologi, dan Islam, Yogyakarta: Dinamika, 1996, hlm. 85.
[2] Bodoh di sini tidak berarti tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Tetapi kebodohan yang menunjukkan ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menangkap sinyal-sinyal Ke-Tuhanan dan pesan-pesan Tuhan dalam bahasa manusia dan kebumian.
[3] Ada seorang sufi yang membagi manusia menjadi empat macam, yakni (1) manusia yang mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (2) manusia yang mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu berpengetahuan; (3) manusia yang tidak mengerti dan dia tidak mengetahui kalau dirinya itu memang tidak berpengetahuan; (4) manusia yang tidak mengerti dan dia mengetahui kalau dirinya itu memang tidak mengerti.
[4] Sahirul Alim, Sains, …hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar