Rasulullah bersabda: sebaik-baik tempat adalah masjid dan sejelek-sejelek tempat adalah pasar
(al-hadits) [3]
Umat Islam sempat bertanya-tanya, ketika MUI memfatwakan bunga Bank itu haram, apakah itu berangkat dari kepentingan umat secara menyeluruh yang konstruktif atau hanyalah dalam kepentingan sesaat untuk “mempromosikan” Bank Syariah? Pertanyaan ini penting dijawab oleh mereka yang terlibat karena fatwa yang dikeluarkan tersebut memiliki beberapa risiko, antara lain: 1) Klaim bahwa umat Islam (setidaknya versi MUI) itu mayoritas runtuh seketika dengan masih banyaknya orang yang menerima bunga Bank sebagai hal yang biasa (ingat: NU sejak lama sudah bisa menerima konsep Bank umum lewat NUSUMA). 2) Dengan banyaknya kegagalan eksperimentasi Bank Islam di berbagai negara dunia ketiga dalam upaya mengatasi problem ekonomi umat, orang ragu bahwa fatwa itu benar-benar dirancang melahirkan manfaat yang lebih besar dari madharatnya. Maka pertanyaan umat islam itu berujung pada: apakah fatwa itu untuk kepentingan “masjid” atau kepentingan “pasar”. Dalam hal ini penulis menduga, itu lebih banyak untuk kepentingan pasar.[4]
Perbincangan pasar sesungguhnya menarik. Berbagai peristiwa politik dan budaya pada kenyataannya tidak lepas dari dialektika pasar. Kasus hebohnya Inul si Ratu Ngebor sulit bila dikatakan hal itu lepas dari masalah pasar. Persengkataan sesungguhnya seharusnya dilihat sebagai pertarungan pasar, bukan antara pro kebebasan berekspresi dengan penghambat kebebasan berekspresi. Siapa-siapa yang bertarung, bisa dilihat dengan sedang laku-lakunya lahan lahan dangdut dan goyangnya. Ada yang sangat duntungkan oleh Inul, lalu tiba-tiba diputus begitu saja. Ini jelas masalah pasar. Bisa dilihat mereka-mereka yang bungkam terhadap kasus-kasus pemasungan kebebasan berekspresi dalam Pers. Misalnya dalam kasus koran rakyat merdeka yang dikalahkan oleh Akbar Tandjung hanya karena membuat karikatur yang “divonis” sebuah penghinaan, apakah “para pembela Inul” itu ikut membela kebebasan berekspresi? Nonsens! Merekalah, hamba-hamba Ua.......ang! Hati-hati, kita harus tahu mana para pembela uang dan pahlawan sejati!
1. Pasar dan Ajaran Kematian
Setiap ideologi besar selalu memiliki konsep tentang surga yang menjadi tujuan ideal umat manusia. Entah itu tetap menggunakan kata surga (‘adn/eden), atau memakai istilah lain seperti “masyarakat tanpa kelas” atau dengan istilah “masyarakat dengan biaya konsumsi tinggi”. Yang pada prinsipnya semua menggambarkan tujuan ideal perjalanan manusia di dunia ini.
Dalam pencapaian tujuan itu, para “nabi” pemikir dalam ideologi tersebut merumuskan jalan-jalan (syariat) ke arah masyarakat yang mereka idealkan (surga). Dan karena kemudian disebarkan, maka jalan-jalan tersebut berubah menjadi ajaran yang dianut dan diwariskan. Seiring dengan bergulirnya waktu, para pengikutnya kemudian menjadikan ajaran itu sebagai hukum kemasyarakatan untuk kesejahteraan manusia.
Sayang ketika kita sudah sekian banyak mendapat gambaran tentang surga dalam perbincangan ideologis ini, kita tidak bisa mendapat penjelasan yang detail tentang kematian. Ideologi yang hanya dilandasi materialisme memandang kematian sekedar peristiwa material: rusak dan berhentinya sistem kerja tubuh. Ia tidak mengenal kehidupan pasca kematian. Karena itu doktrin-doktrinnya tentang “surga” hanya berlaku dan dirumuskan dalam konteks dunia material saja. Demikian juga dengan jalan yang ditempuh untuk mencapai masyarakat ideal tersebut ukuran-ukurannya hanyalah bersifat material (cenderung bersifat ekonomis: produksi dan konsumsi). Baik itu yang bernama jalan revolusi atau jalan “pertumbuhan”.
Dalam ideologi yang dilandasi materialisme, wacana kematian hanya dibangun dalam kerangka pengorbanan dan kekalahan dengan logika benefit and cost. Maka adalah menarik pemaparan Peter L. Berger[5], bahwa dalam pencapaian “surga” itu muncullah kematian-kematian, baik berupa kematian manusia sesungguhnya karena revolusi, atau matinya nilai kemanusiaan (dehumanisasi dan alienasi) pada proses pencapaian pertumbuhan. Semua itu merupakan biaya yang harus dibayar agar tercapai masyarakat ideal.
Sedang ideologi yang berangkat dari keyakinan pada agama menempatkan surga sebagai kehidupan pasca kematian. Karena itu berbeda dengan penganut materialisme, surga bagi kalangan agamawan hanya mungkin diraih oleh mereka yang telah melalui tahap kematian. Dalam pandangan agama, kematian merupakan jembatan manusia dari kehidupan duniawi kepada kehidupan surgawi. Jadi proses bersurga adalah proses mendatangkan surga pasca kematian dalam kehidupan di dunia ini.
Namun kenyataannya justru terbalik. Banyak agamawan terjebak penggambaran surga dengan bentuk-bentuk materialnya yang stagnant bagaikan berhala. Karena itu banyak para agamawan mengajarkan jalan pencapaian surga justru sebagai turunan dari pemberhalaan itu. Misalnya, pembakuan jalan yang berujud standar-standar material, yaitu kuantitas ibadah ritual maupun sosial sebagai parameter kesalehan, dan bukannya mengejar kualitas.
Ini bisa kita lihat pada fenomena pengumpulan zakat yang melimpah tetapi tanpa sense of crisis sama sekali. Ketika malam takbiran berbondong-bondong kaum muslimin membagi-bagikan zakat, tidak hanya zakat fitrah tapi juga zakat mâl. Namun kaum miskin yang menerima zakat tidak menggunakannya untuk “mengentaskan diri” dari kemiskinan, tetapi menggunakannya untuk bergaya di hari Lebaran. Sehingga selama ini zakat bisa jadi justru ditempatkan sebagai pendukung budaya glamour yang akan semakin mempertegas perbedaan kelas. Ini hanyalah sebuah contoh dari pemberhalaan jalan pencapaian surga.
Oleh karena jebakan pemberhalaan di atas, berkumandanglah lonceng kematian sifat rahmatan lil‘âlamîn dari agama. Indikasinya adalah tidak dirujukkannya kembali segala bentuk peribadatan yang pada hakikatnya merupakan jalan penyelamatan manusia dengan hakikat penyelamatan itu sendiri. Kaum agamawan menjadi lebih mementingkan pelaksanaan hukum material agama, ketimbang melaksanakan amanah penyelamatan umat manusia. Atau setidaknya menutup mata akan kebuntuan jalan keberagamaan mereka dengan realitas yang harusnya diselamatkan. Mereka mematerialkan dunia pasca kematian untuk ditawar-tawarkan pada manusia yang ingin selamat. Bahkan memaksakannya dengan kekerasan yang justru bertolak belakang dari prinsip penyelamatan manusia.
Sesungguhnya pandangan kematian adalah pandangan visioner yang melahirkan kecerdasan. Dengannya orang mampu melampaui dimensi materialisme kekinian. Di sinilah titik tekan bahwa “gagasan” itu sesungguhnya tidak mesti terjebak dalam bingkai materi. Selalu ada ruang kreatif bersifat spiritual yang menguak lebih jauh arah interaksi berbagai materi. Sementara dunia modern sibuk dengan membelah berbagai unsur dalam materi, ada baiknya mendorong sekelompok orang yang meretas jalan bagi persujudan materi-materi itu dengan visinya. (QS. 24:41).
Di sini kematian menjadi memiliki makna penghilangan eksistensi diri dalam kesinambungan awal dan akhir: Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji‘ûn (QS 2: 156). Bahwa penghalang dari Allah untuk kembali ke Allah adalah eksistensi (kekinian) diri kita yang menyembunyikan nafsu keiblisan. Orientasi jangka panjang (menuju Allah) dalam kematian sama artinya dengan orientasi pada asal muasal kita (fitrah: kembali pada Allah), yang secara bahasa bisa berwujud bertemunya keunggulan kompetitif dengan asal muasalnya yaitu keunggulan komparatif.
Banyak orang ingin menang berkompetisi dengan orang lain (berkeunggulan kompetitif) namun melupakan sumber daya dan kelebihan spesifik yang dimilikinya (keunggulan komparatif). Ibarat ahli bulu tangkis, jika tidak ingin kalah dalam berkompetisi maka jangan mau diajak bertanding tenis meja. Memahami bakat dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai kesuksesan adalah wujud dari gagasan pemahaman awal-akhir. Dan di sinilah kecerdasan itu bermakna, bahwa siapapun yang mengejar keunggulan kompetitif tanpa memperhatikan keunggulan komparatifnya hanya akan sampai pada ketergantungan karena ia tidak berdiri di kakinya sendiri. Dengan pemahaman ini, amat penting untuk mengkaji gagasan “berdikari”-nya Bung Karno. Namun keunggulan komparatif yang tidak manusiawi berupa buruh murah, sebagaimana eksploitasi buruh dengan dibantu kekuatan militer pasti tidak akan mampu menjamin keunggulan kompetitif dalam waktu yang lama.
Konsep pembangunan Indonesia adalah sebuah tragedi pemahaman kehidupan-kematian yang memilukan. Pembangunan membawa apa yang oleh sosiolog Lyman—dikutip oleh A. Sass—sebagai tujuh dosa mematikan, yaitu: ketidakpedulian, ketamakan, angkara murka, kesombongan, iri hati, lahap, dan kerakusan.[6] Pengejaran industrialisasi dengan hendak mengejar keunggulan kompetitif di awal Orde Baru seakan-akan ingin merealisasikan sebuah mimpi berdasarkan kelimpahruahan materi dengan pemahaman trickle down effect. Tak terasa, bahwa mimpi itu adalah ramalan yang diciptakan oleh para penyihir (ilmuwan sosial) modern demi berlangsungnya kekuasaan (materialisme imperialistik) Fir’aun. Dengan sihir ilmu pengetahuan modern, benda-benda mati bisa menggeliat dan menarik hati para pemimpin Orde Baru. Mafia Berkeley[7] merancang teknostruktur menjadi ular yang (seakan-akan) hendak memangsa para konsumen (untuk membeli) produk dalam negeri, padahal semua itu hanyalah kepalsuan. Semua mimpi-mimpi pembangunan yang dibangun dari ramalan pengetahuan modern, ternyata hanya membawa kita pada kondisi ketergantungan pada bangsa lain. Kita jadi terjajah lagi.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh negara-negara Barat yang dominan dan dikirimkan kepada rakyat Dunia Ketiga pada dasarnya bukan pengetahuan netral. Pengetahuan tidak hanya didasarkan pada ideologi Barat tetapi juga didasarkan pada hasrat untuk mengendalikan. Jadi hubungan pengetahuan bukan semata-mata mewakili hasrat untuk mengetahui, tetapi ada maksud untuk mengendalikan. Hubungan tersebut berujud suatu prosedur bagi manajemen ilmiah kependudukan dalam kerangka kekuasaan/pengetahuan milik penguasa tata sosial modern. Karena itu, bila meminjam terminologi Islam, ilmu tersebut bukan ilmu sebagaimana mestinya, tetapi tergolong sihir. Dan sihir itulah yang kita sosialisasikan lewat media-media publik, termasuk sekolah. Dengan demikian, kita jadi semakin (dibuat) yakin kalau negara Dunia Ketiga itu selalu dalam posisi yang serba kekurangan.[8]
Menurut Edward W. Said[9], nasib bangsa Indonesia persis seperti halnya masyarakat negara-negara berkembang lainnya, masyarakat Indonesia pun telah menjadi objek pemasaran yang empuk. Tanpa terasa dan secara perlahan masyarakat terjerat pada satu bentuk masyarakat dengan budaya konsumen yang mengarah pada kehidupan konsumtif (Featherstone, 1991).[10] Dengan demikian, industrialisasi yang dikembangkan memberi “teluh” kematian bagi bangsa Indonesia, tidak hanya dalam nilai-nilai kemanusiaannya tetapi juga menimpa identitas kebangsaannya.
2. Belajar Kapitalisme Global dari Murid Syekh Siti Jenar
Ajaran kematian dalam khazanah masyarakat jawa sering identik dengan nama Syekh Siti Jenar. Dan dalam konteks masyarakat modern, kalau harus memperlihatkan siapa pewaris ajaran Syekh Siti Jenar sekarang, maka penulis akan menunjuk Marsinah-lah salah satu orangnya. Buruh PT. Catur Putra Surya—sebuah pabrik industri yang berlokasi di Sidoarjo Jawa Timur—itu ditemukan tewas sekitar Mei 1993 dan sampai sekarang hanya Tuhan dan pelakunya saja yang tahu. Dia bukanlah aktivis buruh yang pernah mengenyam pendidikan tinggi—dan karenanya jangan samakan ia dengan kebanyakan mahasiswa yang bisa sedemikian berani teriak-teriak di jalanan dan memprovokasi buruh—sebab selepas dari SMU Muhammadiyah, ia terpaksa harus bekerja. Namun, kepedulian dia akan nasib kawannya yang dizalimi tidak kalah kokohnya dibandingkan para aktivis gerakan mahasiswa yang radikal. Dia tahu betul, badan dan nyawanya terlalu berharga kalau hanya ditukar dengan gaji rendah demi kebisuan pada laku kezaliman. Saya tidak tahu, apakah QS 4:95 yang artinya kurang lebih, “Tidaklah sama antara mukmin yang tidak turut berperang tanpa mempunyai uzur (alasan yang sah), dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat”, merupakan keyakinan yang dipegangnya dengan kuat. Namun, saya duga ia juga tidak terlalu memahami apa dan bagaimana ajaran Syekh Siti Jenar yang—menurut saya—ia warisi itu. Namun dengan membaca perbuatannya, kita bisa menduga bahwa setidaknya ia memiliki kedua semangat itu.
a. Berdialog dengan Marsinah
MBak Marsinah, jika sebagai muslimah engkau sampai meninggal dunia karena pembelaanmu pada kaum yang dizalimi, lalu siapa yang kemudian membelamu di saat engkau dizalimi? Nasibmu benar-benar seperti Syekh Siti Jenar, jadi tak ragu bila aku menyebutmu sebagai salah satu pewaris ajarannya. Namun mBak Marsinah, barangkali nasib Syekh Siti Jenar masih lebih beruntung ketimbang nasibmu, karena ada sekian banyak murid Syekh Siti Jenar yang melakukan pembelaan atas kematiannya. Kalau engkau, siapa yang membela? Jangankan membelamu, bertahun-tahun untuk mencari pembunuhmu saja tak bisa. Perlukah tekanan dunia Internasional seperti kasus terorisme yang bagaikan sulap langsung ketemu aktor peledaknya? Tahukah engkau mBak Marsinah, kini penguasa di Indonesia telah berganti tiga kali semenjak engkau meninggalkan kami, tapi tak juga ada dari mereka yang bisa menghukum pembunuhmu. Sampai-sampai, ada yang berpikir bahwa mungkin para penguasa itu bukan tidak mau menghukum pelakunya, namun justru ingin memberikan hukuman yang lebih besar. Mereka yang sudah sempit nalarnya berpikir, para penguasa itu tidak ingin mengurangi hukuman pelaku itu di akhirat dan alam kuburnya dengan hukuman di dunia. Biarlah sang pelaku menjadi rahasia siksaan alam kubur dan neraka nanti. Ah, betapa lemahnya penguasa yang berpikir seperti itu!
MBak, kenalkah kau pada teman-temanku yang sering dikelompokkan menjadi orang beriman.[11] Maafkan mereka bila mulut mereka begitu sunyi dari menyebut namamu. Kau tahu mBak Marsinah, apa gerangan yang menimpa kerongkongan mereka sehingga sulit berteriak menyebut namamu? Apa karena mereka sedang asyik belajar tentang bagaimana dakwah yang baik? Atau karena telah sedemikian lama mengalami peminggiran politik, mereka jadi ingin mencicipi kue kekuasaan yang konon nikmat itu meski dengan imbalan “jangan memperbanyak musuh”. Maaf, waktu itu aku juga tidak bersuara—euforia perkuliahan memberi jarak pada namamu—meski kemudian aku bisa belajar mengeja namamu dari pergulatanku di Universitas Gadjah Mada—yang dengan sengaja—akhirnya aku tinggalkan.
MBak, satu hal yang saya yakini dari ilmu Syekh Siti Jenar adalah penolakannya terhadap feodalisme (kerahiban) ahli agama/wali, karena memang ayat Tuhan tersebar di seluruh penjuru bumi. Maka belajar agama itu sesungguhnya bisa dari siapa dan apa saja, termasuk kepadamu, mBak Marsinah. Dari keadaanmulah aku bisa belajar tentang kapitalisme tanpa harus meninggalkan kebiasaanku mengaji kepada guru-guru spiritualku secara bebas. Justru dari hasil mengajiku itulah, aku jadi tahu bahwa kalau kita berbicara kapitalisme (dalam kaitannya dengan apapun) itu mengharuskan kita untuk selalu meneliti ulang berbagai gaya hidup (akhlak) kita sendiri. Karena secara prinsip, kapitalisme itu tidak menyerang (atau merasa tidak perlu menyerang) berbagai gagasan di luar ideologinya. Bagi kapitalisme tidak penting apakah seseorang berideologi kapitalis, Islam, komunis, sosialis dan sebagainya karena titik serangannya adalah pada gaya hidup seseorang. Apapun ideologi seseorang, asalkan gaya hidupnya mewakili (bisa dibaca: menguntungkan) ideologi kapitalisme, itu sudah cukup.
Maka apakah engkau tahu mBak, bahwa prinsip utama dalam “perlawanan” terhadap kapitalisme (global) adalah kebertahanan kita (baik sebagai individu maupun bangsa) untuk mampu menggunakan semua dari apa yang sudah kita miliki secara optimal.[12] Dan konsekuensi dari pemahaman itu semua adalah usaha keras agar kita bisa memperkecil ketergantungan pada orang. Lebih lanjut, kita perlu meneliti ulang seluruh pendefinisian hidup kita untuk bisa keluar dari nilai-nilai hegemonik yang mengarahkan kita pada suatu cara produksi dan konsumsi kapitalistik. Yang demikian mengharuskan kita untuk selalu kritis (dalam bahasa Ranggawarsita: waspodo) dengan gempuran informasi yang dibombardirkan pada kita lewat berbagai bentuk pendidikan dan media massa.
Iklan adalah serangan paling kasar dari kapitalisme (global) dalam membentuk gaya hidup kita selain serangan dengan senjata sebagaimana pernah terjadi di Irak. Hebatnya iklan, ia mampu memasuki ruang-ruang kehidupan kita yang sangat privat sehingga kalau secara pribadi kita selamat, barangkali orangtua, saudara, atau anak kita yang akan terus diserang dan belum tentu selamat. Namun sesungguhnya, banyak yang lebih berbahaya dari iklan, salah satunya adalah imperialisme pengetahuan.
Imperialisme pengetahuan tidak hanya beraksi pada institusi pendidikan formal, tetapi juga merajalela di berbagai aksi institusi (yang sering diidentikkan dengan gerakan) masyarakat sipil. Adalah James Petras dan Henry Veltmeyer[13] yang mencatat kenyataan posisi yang diambil oleh NGO atau LSM sebagai pelayan imperialisme. Secara intelektual, menurut Petras dan Veltmeyer, LSM-LSM adalah polisi intelektual yang mendefinisikan penelitian “yang bisa diterima”, mendistribusikan dana penelitian dan membuang topik-topik dan perspektif-perspektif yang memproyeksikan analisis kelas dan perspektif perjuangan. Para pembela sejati kaum tertindas diusir dari konferensi-konferensi dan dicap sebagai “ideolog-ideolog”, sementara para aktivis LSM menghadirkan diri sebagai “ilmuwan sosial”.
Namun begitu, aku kira jika engkau masih hidup, mBak Marsinah, engkau akan menasihatiku agar pemahaman yang seperti itu tidak mengarah pada sebuah delegitimasi absolut terhadap institusi-institusi (pemberdayaan) masyarakat sipil tersebut. Mereka yang memiliki kesadaran akan fenomena kapitalisme global, sebaiknya justru melakukan tekanan-tekanan (baik dengan cara merebut maupun membuat kelompok penekan) agar berbagai institusi masyarakat sipil tersebut betul-betul bisa menjadi alat pemberdayaan kekuatan rakyat dalam melawan eksploitasi dari kapitalisme global. Dengan begitu akan lahir institusi-institusi perlawanan dari timangan kapitalisme global sendiri.[14] Hal itulah sebenarnya yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar ketika mendekati Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga.
Demikian juga dalam menggerakkan berbagai perjuangan masyarakat sipil, dari pengalamanmu mBak Marsinah, itu tentu tidak dalam sebuah kerangka untuk mendelegitimasi negara. Sebab negara yang lemah akan sangat mudah ditunggangi oleh kepentingan kapitalisme global. Tetapi berbagai perjuangan masyarakat sipil hendaknya diarahkan untuk menekan negara agar bisa menjadi alat perlawanan rakyat guna menghadapi tekanan dan eksploitasi kapitalisme.[15] Karena negara memang didirikan dengan tujuan melindungi rakyatnya. Apa arti bernegara bagi kita bila negara sendiri mengorbankan warganya demi kepentingan segelintir kaum kapitalis? Mbak Marsinah, engkau pasti akan mengatakan, “sudah cukup aku sajalah korbannya!” Namun mbak, sekarang kapitalisme yang menekan itu berada dalam tataran global, bagaimana negara akan melindungi warganya?[16] Dalam kondisi demikian, mungkin kita harus melakukan gerakan masyarakat sipil sebagaimana yang dilakukan anak keturunan Ki Ageng Pengging agar Indonesia ini jangan sampai terjebak berperilaku sebagaimana terjadi pada masa Mataram yang akhirnya menjual negara kepada Kompeni. Mula-mula Semarang, kemudian daerah-daerah Pesisir, dan akhirnya semua kerajaan dijual pada Kompeni. Hal itu kemudian ditandai dengan berdirinya lembaga Kepatihan yang diangkat langsung oleh Belanda sehingga Raja hanya sekedar simbol saja.[17]
Dengan demikian mBak Marsinah, akibatnya Raja hanya punya wewenang dalam pengembangan kesenian dan kesusastraan, dan tidak sedikit yang akhirnya terjebak pada pengembangan budaya mistik. Karena itulah, warisan agung dari para pendahulunya yang sebagian pernah tersentuh ajaran Syekh Siti Jenar hanya dipahami sekedar dalam aspek mistik. Tidak ada upaya pengembangan metode berpikir dan teknologi yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Karena itulah setelah Proklamasi kita kumandangkan, jangan sampai kita mengulang kembali sejarah kekuasaan seperti itu. Negara harus kita jadikan alat untuk benar-benar membela rakyat.
b. Memahami Perspektif Makrifat
Penggunaan negara sebagai alat perlawanan rakyat (kaum proletar) adalah kerangka analisa yang sesungguhnya meminjam perspektif kelas milik kaum sosialis. Diakui atau tidak, sosialisme maupun kapitalisme memiliki dasar yang sama yaitu materialisme. Sehingga jika tidak berhati-hati penggunaan perspektif kelas itu akan terjebak pada “materialisme pembentukan” diktator ploletariat yang sulit mengakomodasi kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Kemungkinan jebakan itu sesungguhnya disadari oleh kaum sosialis sendiri, dan Imam Yudotomo (tokoh PSI Yogyakarta) mencatat 6 (enam) konsep keterjebakan itu:[18] 1) Konsep perjuangan revolusioner bersenjata selalu memakan korban yang tak terhingga nilainya. 2) Konsep berdemokrasi sentralistik di mana segala kebijakan ditentukan oleh pimpinan dan rakyat hanya boleh berdemokrasi di tingkat pelaksanaan. 3) Lahirnya partai pelopor yang secara konsep disusun dengan disiplin dan struktur militer yang menghasilkan kelas baru yang amat kejam. 4) Konsep diktator proletariat yang pada hakikat dan kenyataannya adalah diktator yang sebenar-benarnya. 5) Konsep penghapusan hak milik sebagai hal yang tidak manusiawi; dan 6) Konsep tentang kapitalis negara sebagai hal yang sangat tidak realistis.
Meskipun kenyataan seperti itu—ditambah lagi berbagai kegagalan sosialisme di dunia—tidak dengan sendirinya menghapus sosialisme sebagai sebuah jalan bagi penciptaan keadilan. Setidaknya ia selalu mampu mereproduksi diri dalam setiap gerakan melawan ketidakadilan kapitalisme. Ignas Kleden menunjukkan adanya sebuah utopia—tentang keruntuhan sistem dan berakhirnya kebudayaan kapitalis (mirip yang diimpikan oleh Karl Marx)—yang digunakan oleh banyak pemimpin bangsa untuk penyusunan suatu konsep masa depan.[19] Dalam hal ini barangkali memang perlu penjelasan panjang jika kita menolak bahwa berbagai gerakan melawan ketidakadilan kapitalisme banyak diinspirasikan dari sosialisme (Marxisme). Namun begitu, kalau kita menengok Islam maka kita akan temukan berbagai hal yang sama. Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syariati dan Cokroaminoto serta H. Agus Salim, adalah beberapa gelintir saja yang pernah membawakan suatu pemikiran Islam Revolusioner.[20]
Namun melihat betapa blunder[21] ideologi yang berasal dari materialisme, bisa jadi yang kita butuhkan (terlebih dahulu) bukan ideologi alternatif melainkan sebuah perspektif alternatif. Dalam kajian buku ini, perspektif itu dirumuskan sebagai suatu perspektif makrifat yang menolak pemberhalaan materi menjadi pusat orientasi hidup. Dengan demikian perspektif ini lebih mementingkan interaksi antar materi dengan gagasan keadilannya, ketimbang berkutat pada materinya. Saya kira, dengan perspektif yang demikian ini, sesungguhnya kita bisa memahami kenapa Islam tidak pernah secara tegas menolak perbudakan (sebagai fakta sosial). Islam lebih mengatur agar pola hubungan yang ada menjadi suatu hubungan semakin tidak eksploitatif,[22] dan karena itu ujung yang dianjurkan adalah memerdekakan budak.
Sehubungan dengan pemahaman tentang perbudakan sistem industrial ini, pernah mendengar kisah dari kawan yang berada dalam suatu konflik batin yang seru. Ketika ia tengah merintis suatu usaha yang pada awalnya dirancang kecil-kecilan saja tetapi justru membesar tidak seperti yang ia kira, tiba-tiba banyak tetangga memohon dengan sangat agar menerimanya menjadi karyawan. Sebelumnya ia telah memiliki karyawan, salah satunya adalah bekas pembantu rumah tangganya yang kemudian ia latih menjadi sekretaris atau bagian administrasi usahanya. Menghadapi gelombang pencari kerja ini, apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menggunakan cara produksi kapitalisme, hanya karena ada peluang dengan kedatangan para pencari kerja itu? Awalnya ia hendak menolak, tapi mereka mengeluarkan berbagai keluhan masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi. Sampai lama ia merenungkannya, akhirnya ia terima juga dengan sebuah kesadaran bahwa sebisa mungkin kita bersama membuat suatu pola interaksi yang adil.[23] Tentu ini bukan hanya berkaitan dengan fasilitas dan kesejahteraan karyawan, namun juga peluang mereka untuk bisa “memerdekakan diri”.
Di situlah makna penekanan perhatian terhadap interaksi antar materi dalam perspektif makrifat, yaitu untuk melihat berbagai fenomena dalam bingkai keadilan. Suatu fakta dalam interaksi kemanusiaan merupakan satu bagian saja yang bersintesis dengan beribu fakta yang lain, yang jika kita melihat salah satunya menjadi pendukung keadaan yang zalim (tidak adil) maka harus segera diperbaiki. Dengan demikian tidak ada suatu analisis yang memisahkan satu hubungan sebab akibat dengan sebab-akibat yang lain. Setiap fenomena merupakan suatu sintesis atas berbagai sebab yang terjadi secara menyatu. Di belakang akan kita pahami, salah satu kualitas pemikiran makrifat adalah pemikiran dengan metode sintesis ini.
c. Berpikir Makrifat[24]
Sedemikian lama kita bersekolah, logika apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya? Senyatanya, tahapan-tahapan sekolah dan orientasi yang dibangunnya tidak akan bisa mengeluarkan diri kita dari logika materialisme. Dari pembahasan di depan telah kita sadari, selama materi bagi kita masih menjadi pusat orientasi—meski itu berlabel Islam—sangat mudah kita terpeleset menjadi seorang kapitalis (setidaknya korban kapitalis).[25] Ini tidak hanya berkaitan dengan iklim usaha, tapi juga iklim berkeluarga bahkan dalam ritual keagamaan. Meski kita menjalankan peribadatan Islam, bisa jadi tanpa sadar kita sudah tidak lagi dalam bingkai Islam, tetapi telah menjadi bagian dari sistem kapitalisme.[26] Kita ibarat tanpa sadar menjadi Abû Jahal yang bangga menggunakan baju ‘Umar bin Khaththâb. Sebagai contoh adalah pelaksanaan zakat (mâl) yang sudah kita bahas di depan.
Dalam Islam, perspektif makrifat dibangun dengan sebuah logika (penulis menyebutnya) pos-materialisme yang berangkat dari cara Ibrahim menemukan Tuhan. Dari ukuran-ukuran empiris-materialis yang disimbolkan bahwa Tuhan itu “paling besar” dan “paling terang”, sampai pada ukuran baru yaitu interaksi kesemua itu (logika pos-materialisme: Tuhanku adalah yang menciptakan langit dan bumi), dapat dipahami alur berpikir Ibrahim. Pemahaman alur ini penting, sebab posisi Ibrahim cukup sentral dalam sejarah kenabian. Ibrahim merupakan salah satu dari dua orang yang disebutkan dalam al-Qur’ân sebagai suri tauladan (uswah). Karena itu logika yang dikembangkan dalam perspektif makrifat ini sesungguhnya adalah logika seorang uswah.
Tuhan tidak pernah menjamin sebuah kepemilikan materi (seperti halnya Bank Islam yang berbentuk badan dan Negara Islam yang hanya dalam wujud materinya) akan mampu menyejahterakan umat manusia. Kesejahteraan akan dicapai dalam Islam jika realisasi gagasan takwa (secara teologis) dapat diimplementasikan pada gagasan keadilan. Dalam logika di atas, materi adalah alat untuk menunjuk Tuhan (atau bisa disebut ayat-ayat Tuhan).
Di tingkat aplikasi berarti setiap peraihan materi adalah dalam rangka menunjuk Tuhan sebagai pemilik segala kesempurnaan. Itulah gagasan ketakwaan yang harus dimanifestasikan menjadi Keadilan secara universal di muka bumi.
Untuk itulah, perspektif makrifat yang memiliki concern terhadap interaksi antar materi bertujuan untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Kecenderungan yang selalu melihat pada interaksi ini memudahkan untuk membuat ukuran pada setiap objek yang dilihat. Sebab, dalam pengertian yang luas keadilan terasa sangat bias dan memiliki cabang-cabang yang bisa disalahartikan atau dipalsukan dengan statistik.[27] Dan dalam interaksi menuju keadilan itulah beberapa simbol dalam Islam harus ditafsirkan.
d. Bergerak dalam Sejarah
Banyak perintah dan larangan dalam Islam memiliki konteks transformasi dari polytheism masyarakat Jahiliyah menuju masyarakat monoteistik di bawah kepemimpinan nabi. Dan menurut para pemikir modern —yang ini juga harus kita pertanyakan ulang—ia memerlukan kontekstualisasi agar sampai pada gagasan Islam yang sesungguhnya. Sebab bagaimanapun juga para mufassir dan ahli fiqh yang menafsirkan berbagai ayat al-Qur’ân itu berada dalam suatu konteks masyarakat tertentu yang memiliki konteks yang berbeda pada masyarakat sekarang.
Menurut saya, praktik keberislaman seseorang adalah sebuah upaya melakukan dekodifikasi dari berbagai kodifikasi yang dilakukan nabi untuk menjawab berbagai problematika masyarakat kekinian. Dengan menangkap inti dari semangat Islam, maka dekodifikasi merupakan satu kerja konkret untuk membangun sistem yang utuh. Dan kalau segala upaya itu mewujud menjadi sebuah bangunan material, maka ia haruslah dipandang sebagai sebuah produk historis saja bukan produk teologis. Demikian itu agar segala produk dari kerja keberislaman tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan kapitalisme. Setidaknya kepentingan itu tidak bisa dijustifikasi dengan argumentasi teologis dan bila memang tidak kontekstual lagi, bangunan itu mudah dikritisi oleh kaum muslimin tanpa risiko dikafirkan. Dan hal itu, akan bisa menjamin etos pergerakan Islam yang produktif dalam sejarah yang dinamis.
Dalam upaya melakukan dekodifikasi tersebut, ada satu hal yang cukup baik bila direnungkan dalam kaitannya dengan perempuan—mayoritas penduduk dunia kini. Selama ini kaum perempuan dijadikan target pasar yang potensial bagi kaum kapitalis. Melalui kinerja kebudayaan yang meliputi segala sendi kehidupan, lahirlah satu “mitos kecantikan” yang ujung-ujungnya memaksa kaum perempuan untuk mengkonsumsi produk kapitalis. Dengan segala teror81 yang dibuat, banyak kaum perempuan yang tidak bisa keluar dari keharusan mengkonsumsi barang para kapitalis ini. Dalam hal ini sesungguhnya Islam memiliki banyak instrumen untuk melindungi eksploitasi di atas. Contohnya Jilbab, suatu perangkat yang bisa melindungi berbagai eksploitasi (interaksi yang tidak adil) dari kaum kapitalis. Namun sekali lagi perlu diingat, bahwa yang diserang dalam kapitalisme itu adalah gaya hidup. Bisa saja kita memakai jilbab sehingga tidak lagi harus memamerkan berbagai perhiasan produk kaum kapitalis, namun serangan itu bisa masuk lewat mode jilbab apa yang kita pakai. Sedemikian rupa sehingga tidak masalah bagi kaum kapitalis seseorang memakai jilbab atau tidak, yang paling penting bisa tidak ia dieksploitasi. Sama halnya dengan tidak peduli seseorang puasa atau tidak, yang paling penting bisa tidak ia dieksploitasi.
Kita bisa lihat, puasa yang sesungguhnya mengarah pada kehidupan zuhud dan qana‘ah tetapi kenyataannya disemarakkan dengan iklim konsumtivisme. Berbagai peribadatan di dalam Islam sangat bisa digunakan oleh kapitalisme untuk memperbesar dirinya. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita untuk memahami hakikat peribadatan dalam Islam secara lebih baik. Dan di situlah letak pentingnya perspektif makrifat dalam berbagai interaksi yang terjadi.
Dengan perspektif makrifat, kita akan tahu bahwa orang seperti Marsinah yang secara fisik tidak (atau belum) berjilbab sesungguhnya telah mengambil peran jilbab dalam kehidupannya sehari-hari. Ia berusaha dengan sekuat tenaga—bahkan sampai mengorbankan nyawanya—untuk melindungi kaum yang lemah dan potensial dizalimi. Barangkali secara individu ia belum berjilbab, tetapi secara sosial ia telah menggunakan hakikat jilbab dalam kehidupan nyata.
[1] Makalah ini ditulis untuk diskusi MASA DEPAN KEMANUSIAAN DI HADAPAN PASAR yang diadakan oleh HMI MPO Cab. Yogyakarta Barat di Fisipol UGM tanggal 20 Desember 2003
[2] Penulis adalah Pimpinan Langgar Padepokan Syekh Siti Jenar dan Direktur Penerbit Kreasi Wacana
[3] Hadits ini menyiratkan dua kekuatan besar yang mampu mengendalikan sejarah, yaitu masjid (agama atau spiritualitas) dan pasar (baik dalam bingkai sosialis,e maupun kapitalisme yang berdasarkan materialisme)
[4] Kasus ini mengingatkan keadaan ketika teman-teman HMI MPO menggelar demontrasi LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Bunderan UGM menggugat “Plesetan al-Fatihah” ala Harmoko. Saya yang ditunjuk menjadi Korlap, membuka demontrasi dengan pertanyaan: “Saudara-saudara. Menurut anda, apakah permaafan MUI pada Harmoko itu mewakili umat atau tidak?” Secara serempak massa menjawab, “tidak!”. Ya, memang tidak karena di dalam Islam kita tidak mengenal sistem kerahiban.
[5] Peter L. Berger, 1985, Piramida Kurban Manusia, LP3ES, Jakarta
[6] Louis A. Sass, Madness and Modernism, Basic Book, New York: 1992.
[7] Istilah yang dipakai untuk menamai para perancang ekonomi Orde Baru yang kebanyakan lulusan Berkeley.
[8] Penulis tidak menghendaki banyak kaum muslimin yang kemudian keluar sekolah dengan kesadaran ini. Ada harapan munculnya Musa yang menghasilkan naga (ular besar) yang akan memakan ilmu dari penyihir (yaitu para ilmuwan sosial) itu sehingga mereka beriman.
[9] Edward W. Said, Culture and Imperialisme, Alfred A. Knop, New York, 1993.
[10] Featherstone, Consumer Culture and Postmodernism, Sage Publication, London, 1991. (Terjemahan edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dengan judul: Budaya Konsumen dan Postmodernisme).
[11] Semoga mereka memang beriman di hadapan Tuhan, bukan hanya di hadapan manusia
[12] Dalam bahasa agama itu berarti syukur. Sering ada suatu produk yang sangat kita butuhkan dan kita harus membelinya, yang demikian barangkali bukan bagian dari interaksi kapitalistik. Tetapi bila sampai level tertentu pertimbangan kita—misalnya harus ganti alat—hanya karena sudah out of mode maka secara tidak sadar kita sudah menjejak gerbang fondasi kapitalisme. Interaksi kapitalistik lebih jauh ditandai dengan motif terhadap barang yang kita inginkan apakah fungsinya atau pertimbangan status di luar fungsi.
[13] James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperalisme Abad 21, terj. Agung Prihantoro, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.
[14] Ini mengingatkan saya pada Musa yang lahir dari ibu yang tulus dan dibesarkan dalam timangan Fir’aun
[15] Dalam hal ini penulis selalu menegaskan bahwa yang harus dilawan sesungguhnya adalah semangat eksploitatif dari kapitalisme.
[16] Kasus tuduhan yang membabi buta dalam kasus terorisme hanyalah salah satu contoh ketidakmampuan negara menghindari tekanan kapitalisme global. Bahkan, menurut Joseph Hanlon dalam bukunya Warisan Hutang rezim Diktator, PIRAC dan Insist Press, Yogyakarta, 2000, bila melihat fenomena pinjaman IMF maka akan terlihat banyak sekali rezim otoriter—yang tak melindungi warganya—justru dimodali dengan utang oleh IMF.
[17] Di sinilah kita bisa memahami kenyataan beberapa Raja yang bisa menghasilkan karya sastra yang hebat, karena memang ia tak memiliki pekerjaan. Semua kerjaan pemerintahan telah dilakukan oleh Patih (yang berfungsi mirip Perdana Menteri sekarang ini.
[18] Imam Yudotomo dalam Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Relijius, Suatu Jalan Keempat?, Cetakan IV, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.
[19] Ignas Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001.
[20] Sayang banyak kalangan Islam tidak mengelaborasikan gagasan ini menjadi suatu wacana yang membawa pada aksi historis. Mereka menolak embel-embel revolusioner atau kiri di belakang Islam dengan menggunakan bahwa Islam itu satu, itu benar dalam konsepsi tapi kurang proporsional secara akademis. “Kalau ada Islam kiri, nanti ada Islam kanan, Islam Romantis, Islam seksual”, begitu kata mereka. Penjelasan itu indah sebagai retorika, tapi sesungguhnya memutus rantai Islam dalam membaca konteks kesejarahan dan menutup peluang orang Islam belajar dari pengalaman sejarah ideologi lain.
[21] Blunder itu berupa ketidakmampuan Sosialisme memberikan format ideal yang riil bagi tatanan masyarakat (bukan sekedar kritik atau utopia) dan kemustahilan kapitalisme untuk adil. siap—maka ada kewajiban moral dari kaum majikan untuk memberi fasilitas yang memadai (sebab ia adalah amanat) dan dalam batas tertentu memerdekakannya (memberinya modal untuk mandiri). Namun, setidaknya sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum sosialis yaitu dengan tuntutan berbagai fasilitas kesejahteraan buruh. Pemberian fasilitas seperti ini adalah bentuk pendistribusian keuntungan dari nilai tambah yang didapatkan oleh kaum majikan.
[22] Yang ditolak dari kapitalisme, bukan produknya melainkan semangat eksploitatif dari kapitalismr yang tidak adil. Maka perjuangan sesungguhnya adalah perjuangan melawan eksploitasi kapitalisme dan bukan “baju-bajunyya”.
[23] Saya pernah melakukan uji coba membangun kepemilikan kolektif alat produksi tetapi itu justru melemahkan etos kerja saya karena semangat yang dimiliki kadang tidak sebanding dengan mitra saya. Di samping itu, begitu mudahnya mitra saya bekerja sama dengan orang yang “ngemplang” utang pada usaha bersama itu tanpa ikut berusaha menagihnya. Bagi mitra saya itu, usaha ini dianggap sambilan, sedang bagi saya ini masalah hidup dan mati. Tetapi mungkin hal itu bisa dikreasikan dalam bentuk pemilikan saham (meskipun lembaga teman saya yang mengemukakan ide ini gagal melakukannya, terpecah-pecah karena masalah kepemilikan ini).
[24] Perspektif makrifat adalah sebuah gagasan lama yang dulu dikibarkan oleh para sufi yang nampaknya bisa kita gunakan lebih jauh untuk menangkap fenomena krisis sebagai ayat-ayat Tuhan. Dengan demikian iqra’ kita jadi lurus sampai qum fa-andzir (keluar dari hegemoni lalu membangun gerakan kritis). Dengan landasan itu, kami—saya dengan beberapa teman—mendirikan Langgar Padepokan Syekh Siti Jenar dan insya Allah akan kami integrasikan dalam Pesantren Kerja Kalijaga.
[25] Sering kita bisa keluar dari materialisme yang satu, tetapi untuk masuk pada materialisme yang lain. Pemilihan jodoh (dalam sinetron) bisa jadi merupakan contohnya. Banyak tokoh disajikan menolak perkawinan karena harta-benda, tetapi (meski tidak disebut secara verbal) memilih pasangan yang secara materi memiliki wajah menarik (baca buku lainnya karya penulis: Rekayasa Sosial lewat Malam Pertama). Pengalaman kaum sosialis, mereka menolak dehumanisasi dalam cara produksi kapitalisme tetapi pada level tertentu ketika mereka telah berada dalam posisi manager mereka menjadi enjoy.
[26] Kapitalisme mengandung dua hal, ideologi dan praktik. Praktik kapitalisme bukan berujud jual beli, tentu yang demikian tidak ada masalah. Tapi yang sesungguhnya berbahaya dalam kapitalisme adalah praktik-praktiknya yang seakan-akan biasa tetapi justru merupakan sistem penghisapan.
[27] Dalam pengertian ini, perspektif makrifat tentu lebih menekankan penelitiannya pada pendekatan kualitatif dan partisipatoris ketimbang observasi kuantitatif. Hal ini sejalan dengan kecenderungan kaum sufi yang meletakkan diri sebagai penempuh jalan rohani, bukan sebagai pengamat jalan rohani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar