SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Senin, 13 Oktober 2008

Relasi Kekuasaan Pusat dan Daerah dalam Otonomi Khusus Aceh

oleh: Bambang Wibion1o

oktober, 2008


Lahirnya wacana otonomi daerah adalah salahsatunya disebabkan oleh efektifitas dan efisiensi dari penyelenggaraan pemerintahan. Sangat tidak memungkinkan bila pemerintah mengatur seluruh daerah di Indonesia yang wilayahnya tersebar dan dibatasi oleh laut dan selat. Selain itu, otonomi daerah memberikan peluang bagi daerah untuk dapat menata, mengatur rumah tangga daerahnya, terutama yang sangat dibutuhkan oleh daerahnya. Tidak ada yang paham mengenai kebutuhan dan permasalahan daerah, kecuali daerah itu sendiri. Maka dengan hadirnya otonomi daerah, memberikan sebuah solusi bagi permasalahan yang dihadapi daerah selama ini. Daerah tidak perlu menunggu lama keputusan dari pusat.

Namun apakah otonomi daerah saja sudah cukup mengatasi permasalahan daerah? Ternyata dalam perkembangannya, itu belum cukup. Mengingat wilayah Indonesia yang luas dengan budaya dan adat yang beragam, maka ternyata masih diperlukan sebuah perlakuan khusus bagi suatu daerah yang memiliki keunikan tersendiri maupun karena latar belakangnya. Perlakuan khusus ini dikenal dengan sebutan otonoi khusus.

Di Indonesia ada beberapa daerah yang menyelenggarakan pemerintahannya berdasarkan otonomi khusus. Namun yang akan dibahas di sini adalah otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengingat terdapat latar belakang yang panjang dalam mencapai otonomi khusus ini. Lantas bagaimana kemudian pola hubungan antara kekuasaan atau kewenangan pusat dan daerah setelah adanya otonomi khusus di Aceh ini?

Latar belakang dan alasan otonomi

Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berlatar belakang dari adanya tujuan politis dan tujuan administratif yang ingin dicapai oleh pemerintah suatu negara. Maddick (1963 dalam Riyadmadji, 2007) menyatakan bahwa secara rasional tujuan politisnya ialah adanya kebutuhan untuk menciptakan civic consciousness dan political maturity melalui pemerintah daerah. Argumen yang senada juga dinyatakan oleh Loughlin (1981:1, dalam Ibid.) yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan daerah perlu untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Sedangkan Smith (1985) berargumen bahwa keberadaan pemerintah daerah perlu untuk mencegah munculnya kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya dalam daerah-daerah yang berbeda.

Sementara itu dari tujuan administratif alasan rasional membentuk pemerintahan daerah adalah untuk mencapai efisiensi ekonomis melalui desentralisasi perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan. Dari sini lahir suatu kebutuhan untuk membentuk unit-unit pemerintahan di tingkat lokal (sub national governments) baik atas prinsip devolusi/ desentralisasi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi.

Secara akademis hakekat otonomi daerah merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah. Dalam kaitan ini terdapat beberapa kewenangan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, serta urusan moneter dan fiskal. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan Pemerintah Pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.

Sementara itu pelaksanaan otonomi khusus di beberapa negara merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang asimetrik (asymetric decentralization). Artinya kebijakan desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah yang diberi otonomi khusus tersebut tidaklah simetris dengan desentralisasi di daerah otonom lainnya.

Otonomi Khusus Secara yuridis dasar implementasi adanya otonomi khusus dan istimewa adalah pasal 18B UUD 1945, pasal 18 ayat (1) berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemerintah NKRI memberikan legitimasi bagi daerah tertentu untuk melaksanakan otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Daerah yang diberikan otonomi khusus adalah daerah Papua dan Aceh

Diberikannya kesempatan untuk melaksanakan pemerintahan secara khusus di Aceh melalui UU No.18 Tahun 2001 tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menghentikan konflik vertikal yang terjadi di daerah itu. Para kalangan menilai bahwa UU tersebut hanya bersifat untuk meredam gejolak semakin memanasnya situasi Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI. Sehingga bila kita lihat dasar pemberlakuan UU tersebut hanya dikarenakan kondisi objektif yang memaksa bagi pemerintah. Karenanya konflik masih saja berlangsung di wilayah itu.

Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah istimewa Aceh didasarkan pada, antara lain kondisi riil masyarakat Aceh yang belakangan ini memunculkan pergolakan dalam berbagai bentuk reaksi. Pergolakan itu muncul sebagai akibat dari kebijakan dalam penyelenggaan pemerintahan pada masa lalu yang menitik beratkan pada system yang terpusat. System itulah yang menjadi sumber bagi kemunculan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak segera direspons dengan aktif dan bijaksana, maka hal tersebut akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan kondisi tesebut, MPR pada Sidang Umum MPR tahun 1999, merumuskan dalam Gars-Garis Besar Haluan Negara 1999, kebijakan menyangkut Pembangunan Daerah. Dalam kebijakan itu, MPR menetapkan ketentuan khusus untuk tiga Provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya, dan Maluku. Dalam keterangan pemberian status khusus itu disebutkan:

“Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh ….” (Ni’matul Huda, 2005: 68)


Sampai dengan disahkannnya UU Pemerintahan Aceh (UUPA), untuk sementara ini, secara teoretis-legalistik kita hanya mengenal dua macam otonomi daerah, yaitu otonomi khusus (otsus) di Aceh dan Papua, dan otonomi umum yang mengacu pada UU 32/2004 dan produk peraturan yang mengikutinya, -sebut saja sebagai Otoda 2004-, yang berlaku bagi daerah di luar Aceh dan Papua.

Namun, dalam perjalanan pelaksanaannya, kita masih memerlukan koridor hukum model lain. Disahkannya UUPA pada 11 Juli 2006, memberi bukti ketidaksempurnaan otsus. Demikian juga dalam evaluasi pelaksanaan Otoda 2004, sangat banyak macam ragam perkembangan yang memerlukan penyelesaian jalan tengah.

Mengapa? Selama ini, kedua model otonomi itu tak sanggup mengakomodasi dinamika dan realitas pemerintahan daerah. Otsus, misalnya, ternyata membuat Aceh eksklusif, menyedot dana APBN masing-masing lebih dari Rp 12 triliun per tahun, yang akan diggelontorkan selama 15 tahun atau lebih. Walaupun begitu, secara politis, untuk kedua provinsi tersebut, otsus adalah keputusan terbaik yang kita miliki sampai saat ini.

Di pihak lain, model umum seperti model Otoda 2004 sudah tidak sanggup lagi mengakomodasi realitas perbedaan dan karakteristik provinsi, kota, dan kabupaten yang semakin hari menemukan dirinya berbeda dengan daerah lain, sebut saja kondisi itu sebagai situasi asimetris. Maklum, daerah kita begitu beragam. Sedangkan salah satu kelemahan besar perundangan kita adalah penyeragaman atas kondisi sosial, ekonomi, sejarah pemerintahan, dan perbedaan khasanah adat pemerintahan. Jadilah, Otoda 2004 semacam baju all-size yang sering kurang pas dengan pemakai yang ukurannya beragam. Akibat penyeragaman, terjadi tarik ulur yang keras antara pusat dan daerah. Ada gejala saling serang antara pusat dan daerah.

Selama ini pemerintah daerah menganggap ada usaha resentralisasi, sementara pusat menganggap daerah selalu meminta jatah terlalu luas padahal hak-hak terbatasnya. Mendagri sering dicap sebagai sentralis, sedangkan kepala daerah dianggap pembangkang. Sementara pemegang opsi otsus cenderung meminta jatah lebih dari keistimewaan yang telah diberikan

Menurut Syaukani (2002: 212), ada beberapa kesalahpahaman dalam menterjemahakan otonomi daerah. Kesalahpahaman tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. otonomi semata-mata dikaitkan dengan uang. Tidak ada yang menafihkan bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat dalam menggerakan pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah ”kewenangan”.

  2. Daerah belum siap dan belum mampu. Pernyataan ini adalah keliru. Satu hal yang penting adalah bahwa Daerah harus diberi kepercayaan dan kewenangan.

  3. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggunggung jawabnya untuk membantu dan membina Daerah. Harus kita pahami bahwa negara kita adalah negara kesatuan, maka tidak ada alasan pemerintah pusat untuk melepaskan tanggung jawabnya. Dengan bantuan pemerintah bukan berarti bahwa makna otonomi daerah akan terkurangi maknanya, otonomi bukanlah pelepasan tanggung jawab tetapi ”pelimpahan wewenang”.

  4. Dengan otonomi daerah dapat melakukan apa saja. Pada hakikatnya memang demikian tetapi tetap ada norma-norma tertentu yang harus tetap diperhatikan, yaitu norma kepatutan dan norma kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara.

Pola Hubungan Kekuasaan

Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan desentralisasi tersebut mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah otonom.

Beberapa poin Nota Perdamaian Indonesia-GAM yang menjadi dasar UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berkaitan dengan perubahan pola hubungan dan kewenangan pusat terhadap daerah adalah sebagai berikut:

  • Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

  • Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

  • Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.

  • Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

  • Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

  • Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

MoU Helsinki itulah yang kemudian melahirkan sebuah konsep baru dalam bidang otonomi daerah, yaitu otonomi khusus. Ini memang terlihat sangat khusus, sebab Provinsi Aceh memliki kewenangan yang sangat besar dalam hal mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya. Bahkan dalam beberapa aspek menyamai kedudukannya sebagai sebuah Negara berdaulat.

Melihat isi perjanjian tersebut, dapat terlihat bahwa daerah khusus memliliki kewenangan yang setara dengan pemerintah pusat. Sehingga pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi terkait dengan kebijakan daerah khusus. Segala kebijakan yang berkenaan dengan daerah Aceh dari pemerintah pusat, pemerintah harus meminta persetujuan dari pemerintah daerah.

Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) dan (2), bahwa pemerintahan Aceh dan kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik. Yang menjadi batasan kewenangan pemerintah pusat hanyalah yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Bahkan segala urusan yang berkaitan langsung dengan Aceh, sekalipun itu adalah persetujuan internasional yang dilakukan pemerintah, harus mendapatkan pertimbangan, konsultasi, dan persetujuan DPR Aceh.

Dalam Pasal 7 Ayat (3) dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Pemerintah dapat:

a. melaksanakan sendiri;

b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;

c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan

d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.

Perimbangan hasil kekayaan

Akibat diskriminasi dalam hal distribusi hasil pembangunan pada masa sentralisasi, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak daerah, maka Aceh sekarang menginginkan menguasai 70% kekayaan alam untuk digunakan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Ini mengindikasikan bahwa seharusnya pemerintah memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk dapat mengelola dan menggunakan kekayaannya untuk kemakmuran daerahnya. Namun apakah itu dapat terealisasikan?

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 181 Ayat (1) huruf (b), ternyata baian dari hasil pertambangan minya hanya sebesar 15%, dan dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. Padahal kita tahu bahwa kedua sektor ini, merupakan sumber penghasilan terbesar dari daerah Aceh. Hanya dari sektor kehutanan, perikanan, pertambangan umum, dan panas bumi saja yang mendapat bagian 80%. Dari sini terlihat bahwa ternyata pemerintah pusat masih meninginkan campur tangan dan “keuntungan” yang lebih besar untuk pusat, atau dengan kata lain ternyata otonomi khusus yang diinginkan rakyat Aceh belum sepenuhnya terlaksana.



Kesimpulan

Otonomi khusus sebagai sebuah solusi dari konflik akibat diskriminasi kekayaan, sentralisasi, dan pengabaian hak-hak rakyat Aceh selama ini ternyata dilihat belum mampu menjawab permasalahan. Hal itu terlihat dari keraguan pemerintah pusat untuk “melepas” Aceh sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan yang sangat luas disbanding daerah lainnya. Pemerintah pusat masih menginginkan campur tangannya di daerah Aceh, oleh karena alasan kekayaan alam. Ini dilihat belum optimalnya pembagian kekayaan seperti yang diinginkan dalam perjanjian Helsinki.

Dalam bidang strukltural dan politik, terlihat bahwa Aceh layaknya sebuah Negara berdaulat yang memiliki kewenangan yang setingkat atau sederajat dengan pemerintah pusat. Kedudukan yang sejajar ini memberikan peluang bagi pemerintah Aceh untuk dapat menata, membenahi, dan mengurus rumah tangga daerahnya. Sebab segala kebijakan pusat yang menyangkut Aceh harus melalui konsultasi dan persetujuan dari pemerintahan setempat dalam hal ini DPRA dan atau Gubernur.




Daftar Pustaka


Azmi, Zul. 2008, “Dilematika Otonomi Khusus Aceh” Artikel dalam http://www.peoplecrisiscentre.org

Huda, Ni’matul. 2005, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riyadmadji, Dodi. 2007. “Mengapa Otonomi Khusus?”, artikel dalam http://www.ditjen-otda.go.id

Sabarno, Hari. 2007, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta.

Said, M Mas’ud, 2007. “UUPA, Ketidaksempurnaan Otsus”, Artikel dalam http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=631&tit=Berita%20Utama%20-%20UUPA,%20Ketidaksempurnaan%20Otsus

Soebiantoro, M, dkk. 2007, Politik dan Pemerintahan Lokal, FISIP-Unsoed, Purwokerto.

Syaukani, HR dkk. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed

Tidak ada komentar: