SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Senin, 13 Oktober 2008

Rabu, 24 September 2008


Pentingnya Kebebasan Substantif dalam Pembangunan

(menelaah pemikiran Amartya Sen)

oleh: Bambang Wibiono


Pembangunan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam perjalanan sebuah bangsa, apalagi bagi negara yang sedang berkembang. Berbagai teori ekonomi pertumbuhan diagung-agungkan oleh hampir seluruh negara yang menganut paham pembangunan. Namun, apa yang terjadi selama ini adalah sebuah disparitas antara pencapaian angka pertumbuhan dengan realitas yang terjadi di masayarakat. Ketika sebuah negara mengklaim dirinya telah mencapai angka pertumbuhan yang signifikan, namun dalam ranah empiris masih banyak kasus-kasus kemiskinan. Jika demikian yang terjadi, lantas apa yang dapat dijadikan parameter dalam mengukur sebuah pembangunan? Inilah sebuah pertanyaan yang membangun sebuah gagasan Amartya Sen dalam bukunya yang terkenal, Development as Freedom (1999).

Dalam salah satu babnya (bab 4) yang berjudul “Poverty as Capability Deprivation”, dia menjelaskan mengenai sebuah konsep kebebasan substantif. Konsep ini sangat berkaitan erat dengan pembangunan. Menurutnya pembangunan harus mengutamakan aspek kebebasan substantif ini. Dalam pembangunan, seharusnya memberikan seluas mungkin kemerdekaan yang nyata dan harus dapat dinikmati oleh semua orang.

Kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya bukan hanya persoalan kebebasan memilih, berpendapat, atau berorganisasi, tetapi juga pesoalan jaminan bebas dari kemiskinan dan kelaparan, jaminan kesehatan, dan hak memperoleh pendidikan yang layak, keamanan, serta kebebasan-kebebasan yang menyangkut hak manusia. Namun menurut Sen, itu saja tidak cukup. Ada hal lain, yang semuanya mengacu pada satu masalah, yaitu harus adanya kemampuan dari tiap individu untuk dapat mencegah terjadinya pengurangan atau pencabutan hak-hak dasar mereka untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sen menyebutkan bahwa pembangunan yang benar adalah bila individu mampu mencapai sebuah cara hidup dan tingkat martabat dimana kemampuan personal bisa diwujudkan. Tingkat penghasilan seseorang misalnya, memang sangat terkait dengan tingkat kesempatan yang tersedia melalui penghasilan tersebut. Namun tingkat tersebut baru disebut pantas apabila cukup untuk menjamin sebuah kehidupan yang lebih lama atau sebuah kehidupan sosial yang bebas dari kejahatan. Variabel-variabel di luar penghasilan inilah yang menentukan nilai negatif atau positif pendapatan yang diperoleh oleh seseorang.

Jika tanpa hal ini, semuanya akan sia-sia. Untuk apa ketika terbukanya peluang untuk dapat menikmati pendidikan, adanya jaminan kesehatan, adanya kebebasan berpolitik, adannya jaminan dan peluang untuk dapat menikmati hidup layak, namun rakyat tidak memiliki kemampuan untuk dapat mencegah pencabutan hak dia oleh pihak lain. Jika mereka tidak mampu mencegah mencegahnya, berarti kemerdekaan yang sesungguhnya belum diperoleh. Jika demikian, rakyat hanya hidup dalam fatamorgana kemakmuran. Seolah-olah negara itu telah mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan yang dilihat dari angka-angka satatistik, namun sesungguhnya rakyat tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertahankan hak mereka. Oleh karena itu pembangunan bukan hanya persoalan angka-angka pendapatan nasional, adanya ketersediaan bahan pangan atau apapun itu, namun lebih kepada kemampuan individu. Kemerdekaan harus dijadikan tujuan dan cara pembangunan.

Sebuah pernyataan yang mendukung argumen Sen adalah yang diungkapkan oleh Mansour Fakih (2006), bahwa teori pembangunan dan globalisasi yang begitu diagung-agungkan oleh negara maju yang diterapkan pada negara dunia ketiga telah gagal dalam mewujudkan tujuannya bagi negara di Asia. Slogan pembangunan, modernisasi, dan globalisasi hanyalah sebuah alat untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dimiliki negara Dunia Ketiga untuk kepentingan negara kapitalis dunia.

Negara Newly Industrial Countries yang menjadi percontohan telah hancur dan tidak bisa bertahan diterpa oleh badai krisis multidimensi yang melanda dunia. Padahal negara-negara tersebut telah berhasil mencapai angka pertumbuhan yang fantastis, adanya ketersediaan bahan pangan—hingga Indonesia misalnya—mampu berswasembada pangan. Revolusi sebagai solusipun bukan suatu langkah yang tepat dalam memperbaiki keadaan. Karena menurut Irma Adelman (dalam Fakih, 2006:66), 40-60 % penduduk di negara miskin menjadi semakin buruk. Yang diperlukan adalah human resource development untuk mencapai pertumbuhan dengan pemerataan. Dengan pembangunan sumberdaya manusia diharapkan akan dapat menumbuhkan kesadaran dan daya kritis masyarakat terhadap proses pembangunan baik ekonomi maupun politik.

Kasus kemiskinan yang melanda Indonesia pasca krisis tahun 1997, hingga sekarang tidak kunjung selesai. Namun sebenarnya kasus kemiskinan ini bukan hanya terjadi sekarang, tetapi jauh sebelumnya, bahkan ketika Indonesia disebut sebagai negara yang sukses dalam melakukan pembangunan dan masuk dalam NIC.

Jika merujuk pada konsep pembangunan yang diutarakan Sen, terutama mengenai kebebasan substantif, sebenarnya Indonesia belum melakukan apa yang disebut sebagai pembangunan. Karena pada masa orde baru, rakyat Indonesia hidup dalam sebuah kekangan pemerintahan otoriter. Rakyat tidak mampu memperoleh akses ke dalam kehidupan politik, sehinga tidak dapat menontrol pemerintah. Ketika Indonesia melakukan swasembada pangan, di sudut negeri ini masih banyak kelaparan, bahkan di daerah sumber beras seperti Garut. Lantas apa arti swasembada pangan?

Sekarang, ketika reformasi bergulir, kebebasan rakyat telah dibuka, ternyata kemiskinan, kelaparan dan berbagai kasus turunannya kian marak. Pemerintah kita belum lama menyatakan bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan perbaikan, angka kemiskinan telah berkurang, GNP meningkat, tetapi apa yang dapat kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita? Begitu maraknya aubade kemiskinan yang setiap saat kita lihat dan kita dengar di media. Apakah ini yang dinamakan pembangunan? Apakah ini yang dinamakan pertumbuhan? Jawabannya adalah bukan! Alasannya adalah karena tidak adanya kemerdekaan dan tidak adanya jaminan terhadap rasa aman, baik itu dari kejahatan, maupun rasa tidak aman karena takut tidak dapat makan, takut tidak dapat melanjutkan sekolah, takut tidak mendapat pekerjaan, dan ketakutan lainnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mampu menjamin keamanan itu semua. Rakyat belum dapat menikmati hidup yang sewajarnya, dan artinya belum tercapainya mutu atau kualitas kehidupan manusia. Ditambah lagi, rakyat tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri dan mencegah agar tidak terjadi pencerabutan hak dari dirinya itu.

Dalam menangani kasus kemiskinan di negara Indonesia, pemerintah cenderung hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dinilai dengan materi. Hal itu dibuktikan oleh program-program pemerintah dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, seperti bantuan langsung tunai, pembagian sembako, kesehatan gratis. Yang dilupakan oleh pemerintah adalah mengenai strategi peningkatan mutu hidup, bukan hanya pemenuhan kebutuhan sesaat. Bagaimana cara meningkatkan kemampuan rakyatnya untuk mencegah pencerabutan hak, dan pada akhirnya akan dapat berperan dan turut menentukan proses pembangunan.



Pustaka Acuan

Fakih, Mansour. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-IV, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sen, Amartya. 1999, Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford.

Tomatipasang, Roem. 2000, “Kemerdekaan: Tujuan dan Cara Pembangunan”, (diterjemahkan bebas dari Bab 2 buku Amartya Sen, 1999, Development as Freedom), dalam Wacana Edisi 5 Tahun II, 2000, Insist Press, Yogyakarta.

Witdarmono, H. 2000, “Amartya Sen dengan Konsep Pembangunannya”, http://www.unisosdem.org

Tidak ada komentar: