Pernahkah anda pergi
ke suatu daerah antah barantah nun jauh di sana, di pelosok pedalaman, tanpa
tau sedikitpun informasi tempat itu dengan berbekal seadanya? Ya, itulah yang
kami lakukan ketika menerobos pedalaman pulau Alor. Aku dan salah seorang
teman, Risna mencoba melangkahkan kaki memasuki desa yang menjadi salah satu
wilayah sample Survey Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan (SPKP 2013) dengan
berbekal segenggam nekat.
Bawaan kami hanya
pakaian ganti, peralatan mandi, dan sedikit cemilan. Selebihnya, tas besar dan
kardus yang kami bawa berisi “peralatan tempur” survey, yaitu kuesioner,
antropometri, alat tulis, preprented
dan dokumen-dokumen lainnya. Banyaknya logistik yang dibawa, membuat satu orang
harus membawa dua buah tas, belum lagi ditambah kardus.
Barang bawaan pribadi tim SPKP DK-Alor (belum termasuk 'peralatan tempur' survey)
Dengan banyaknya
bawaan itu, tanpa pengetahuan tentang desa atau peta desa, ditambah suasana
malam hari tanpa penerangan membuat perjalanan menuju Desa Belemana sebagai
desa pertama di wilcah I (baca: wilayah cacah) semakin tidak jelas. Dari
informasi pak supir yang mengantar kami, lokasi Desa Belemana tidak jauh dari
persimpangan jalan desa. Awalnya kami percaya dan memutuskan berjalan kaki
menyusuri jalan setapak menuju desa. Tapi langkah kami makin ragu ketika tak nampak
tanda-tanda kehidupan di ujung jalan yang berbukit. Akhirnya kami berpedoman,
JANGAN MUDAH PERCAYA BILA ADA YANG MENGATAKAN DEKAT SOAL JARAK! Camkan itu!!
Tanpa pikir panjang,
kami berbalik arah untuk mencari pemukiman terdekat yang tadi kami lewati
sewaktu perjalanan naik mobil. Ternyata pemukiman penduduk yang sebelumnya
masih dihiasi penerang lampu tempel, kini sudah gelap gulita seluruhnya. Pupus
sudah harapanku untuk bisa bertanya dan mungkin menumpang bermalam.
Beberapa rumah yang aku
datangi ternyata gelap gulita. Ketika pintu diketuk, taka da jawaban dari sang
empunya rumah. Ketukan dan suara kami berdua hanya dijawab oleh suara anjing
menyalak, seolah mereka tau kalau kami orang asing di situ.
Tanpa tujuan kami
tetap berjalan berbalik arah dari Desa Belemana. Berharap menemukan
penduduk atau rumah untuk bertanya dan singgah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Itulah
pepatah yang cocok saat itu. Ada dua orang mengendarai motor berjalan ke arah kami.
Dengan semangat Risna, menyetop motor itu untuk bertanya. Tak disangka pula,
logat bahasa mereka seperti tidak asing. Benar saja, ternyata mereka orang Jawa
yang merantau atau mungkin terdampar di pulau ini.
Dari keterangan
mereka, ternyata memang benar kalau Desa Belemana masih lumayan jauh jika harus
ditempuh berjalan kaki, khususnya bagi orang Jawa. Apalagi ditambah bawaan kami
yang lumayan merepotkan. Kami disarankan untuk datang ke rumah salah seorang
tokoh masyarakat di sekitar situ untuk bermalam. Kami ditunjukkan arah rumahnya
yang ternyata hanya satu-satunya rumah yang menggunakan penerangan listrik
sehingga bisa terlihat dari kejauhan di tengah pekatnya malam yang kian larut.
Aku lupa nama orang
itu. Orang pertama yang memberikan pertolongan dan menyediakan tempat untuk aku
dan Risna bermalam. Meski baru kenal pada saat itu, sambutan hangatnya luar
biasa. Kami disiapkan kamar untuk istirahat, kemudian disediakan makan malam.
Saat itu aku tidak
peduli dengan kondisi tubuh aku yang kotor dipenuhi pasir. Celana, tas, dan
baju yang aku pakai saja sampai berwarna putih. Mungkin muka pun tidak jauh
berbeda. Karena letih dan lapar, aku pun menyantap hidangan yang disediakan,
berupa ikan pindang, mi rebus dan sambal tomat. Sangat nikmat untuk ukuran
orang lapar.
Meski dingin
menyerang, namun karena lelah, aku pun bisa tidur dengan pulas. Tidak peduli
tentang hari esok yang berat. Bagi aku, esok
pasti punya ceritanya sendiri. Hari ini adalah milik kita saat ini, maka
nikmatilah. Sebelum tidur aku sempat berpikir, tak menyangka aku bisa
menginjakkan kaki di wilayah yang sangat jauh ini. Tak menyangka juga, saat
ini --yang tidak pernah terbayang sebelumnya-- aku sudah merasakan tidur di
pedalaman Alor, di rumah orang yang tidak aku kenal dua jam sebelumnya. Dengan
mengucap bismillah dan Alhamdulillah, akhirnya mata bisa terpejam.
Pagi-pagi sekali aku
terbangun, selain juga karena dingin yang mulai bisa mengusik tidurku. Ternyata
sudah jam setengah enam waktu setempat. Aku pergi untuk mengambil wudu dan
menunaikan solat. Karena aku sadar, di tempat asing ini mungkin aku sangat
membutuhkan Tuhan. Karena hanya pada-Nya aku bergantung segalanya di tengah ketidaktahuanku
akan luasnya ciptaan-Nya.
Belemana;
welcome to the ‘jungle’
Aku sempatkan mandi
dengan air seadanya untuk membersihkan tubuh yang lusuh dipenuhi debu. Setelah
sarapan, dan berbincang-bincang sejenak, kami memutuskan untuk segera meluncur
ke Belemana. Sang tuan rumah malah sudah mencarikan ojek untuk mengantar kami
berdua ke Belemana. Kami beri 20 ribu rupiah sekedar ongkos pengganti bensin. Kami
diantar langsung sampai ke rumah kepala desa. Melihat pejalanan cukup jauh yang
menanjak dan berliku serta kanan kiri hanya semak dan pepohonan, membuatku
berpikir selama dalam perjalanan tadi. Untung semalam tidak jadi jalan kaki.
Pulau tempat Moko[1]
ini mungkin sedikit berbeda dengan pulau lain semisal Papua, yang hampir di
seluruh desanya berada di posisi yang sulit atau mungkin tidak terjangkau
dengan kendaraan darat. Di Alor, mungkin semua desa sudah bisa dijangkau dengan
jalan darat, meskipun ala kadarnya saja.
Belemana adalah tipikal model desa di Alor pada umumnya; tanpa listrik, bangunan sekolah seadanya, guru juga seadanya, jalan desa seadanya meski sudah mulai dilakukan pengecoran dengan semen, tanpa air bersih, namun memiliki aparatur desa yang lengkap. Ini bisa digambarkan pada papan triplex yang ada di kantor desa (bila itu bisa disebut kantor desa). Sebab bagiku, bangunan itu tidak layak disebut sebagai kantor. Apalagi sebuah kantor pemerintahan. Bangunannya kurang memadai dan tidak ada tanda-tanda kalau bangunan tersebut sering digunakan untuk aktivitas, kosong dan kotor.
Belemana adalah tipikal model desa di Alor pada umumnya; tanpa listrik, bangunan sekolah seadanya, guru juga seadanya, jalan desa seadanya meski sudah mulai dilakukan pengecoran dengan semen, tanpa air bersih, namun memiliki aparatur desa yang lengkap. Ini bisa digambarkan pada papan triplex yang ada di kantor desa (bila itu bisa disebut kantor desa). Sebab bagiku, bangunan itu tidak layak disebut sebagai kantor. Apalagi sebuah kantor pemerintahan. Bangunannya kurang memadai dan tidak ada tanda-tanda kalau bangunan tersebut sering digunakan untuk aktivitas, kosong dan kotor.
Rumah dinas atau
rumah jabatan kepala desa berada di sebelahnya. Jangan membayangkan juga
tentang rumah dinas yang biasanya bagus. Rumah jabatan ini tidak sepenuhnya
berdinding bata dan semen. Separuh bagian dindingnya masih dari papan atau
kayu. Lantai pun tidak semua dipelster dengan semen. Sebagian masih beralaskan
tanah.
Kami menunggu sang
kepala desa untuk membicarakan perihal keperluan kami di desa itu. Sekaligus meminta
bantuan kepadanya untuk bisa mengakses data dan petunjuk untuk bisa bertemu
dengan beberapa warga yang menjadi sampel survey. Sambil menunggu, kami
berbincang dengan salah seorang warga dan juga perangkat desa di Belemana. Dia bercerita
mengenai pembangunan di desa yang minim fasilitas, juga guru-guru pengajar yang
kurang memadai bagi anak-anaknya menuntut ilmu.
Gusti (tim Alor DK-51), beserta anak-anak Alor.
Anak-anak Alor yang dengan keterbaasannya tetap gigih untuk belajar dan bersekolah
Akhirnya tokoh yang
ditunggu datang juga. Kami memperkenalkan diri dan juga menerangkan maksud
tujuan singgah di Belemana. dia pun mengangguk setelah diberi penjelasan juga
oleh perangkat desa yang tadi sempat berbincang dengan kami. Maksud hati ingin
segera melakukan wawancara agar cepat selesai, kami malah diajak makan dengan hidangan
yang sudah disediakan.
Dari sinilah
pengalamanku soal makanan yang sangat berbeda dari yang pernah aku rasakan
sebelumnya. Bahkan mungkin juga inilah awal penyesuaian lidah terhadap masakan
orang pedalaman Alor. Di sini juga untuk pertama kalinya aku merasakan makanan
yang diharamkan dalam agamaku, daging babi.
Awalnya aku tidak
curiga kalau itu daging babi. Hanya saja aku merasa aneh dengan dagingnya. Setelah
sepotong daging masuk ke dalam mulut dan dikunyah, rasanya memang aneh. Tekstur
dagingnya kasar mirip daging kerbau yang biasanya ada di makanan empal[2].
Setelah tiga potong
aku makan, namun rasanya tidak cocok di lidahku. Aku putuskan tidak akan
memakannya. Berbeda dengan Risna yang melahap semuanya tanpa sisa. Agar tidak
menyinggung perasaan orang yang memberi, potongan daging yang ada di piring aku
sembunyikan di tangan. Setelah selesai makan, aku buang jauh-jauh tanpa
sepengetahuan siapapun. Kami baru tau itu daging babi ketika wawancara terhadap
responden yang kebetulan juga masih kerabat dekat dengan kepala desa. Ternyata hidangan
daging yang kami makan adalah babi hutan brooo… *pusiinngg dan mual deh nih
perut*
Kalaupun tidak
diharamkan dalam agamaku, mungkin aku tetap tidak akan memakannya. Karena rasanya
memang tidak cocok di lidahku. Setelah tau kalau kami muslim, akhirnya mereka
menghormati kami dan tidak lagi menyuguhkan daging babi. Bahkan kepala desa itu
sempat meminta maaf padaku.
Aku pun baru tau
kalau masyarakat desa di sana jarang makan nasi sebagai makanan pokok. Nasi adalah
makanan istimewa di sana yang hanya bisa dinikmati seminggu 2-3 kali saja. Selebihnya
hanya memakan hasil kebun seperti jagung, pisang, dan ubi-ubian. Masakan masyarakat
sana pun sangat hambar karena memang tak pernah menggunakan bumbu. Bumbu yang
dipakai setiap memasak hanya garam dan fetsin (penyedap rasa) saja. Kalaupun ada
rasa bumbu yang lain, itu biasanya berasal dari bumbu mi instan yang mereka
campur ke dalam masakan atau sayur.
Kurang lebih empat
hari aku tinggal di Belemana untuk menyelesaikan tugas mewawancarai dan
mengumpulkan data. Hal yang paling merepotkan adalah sulitnya air. Tinggal di
rumah tanpa jendela, tanpa listrik, tanpa kasur empuk, tanpa lantai keramik,
aku masih bisa santai. Aku sempat bingung jika ingin buang air besar. Tak jarang
aku harus turun gunung mencari sumber air untuk membersihkan diri karena air
yang tersedia di WC sangat terbatas. Bahkan hampir setiap wudlu sebelum solat,
aku pun harus rela naik turun gunung menuju sumber air. Bagiku, tak apalah
sedikit bersusah payah. Masih bersyukur bisa bertemu dengan sumber air meski
tidak banyak juga.
…(bersambung
yaa..cape nih nulisnya.. udah tengah malem juga. Nanti insya allah disambung
lagi..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar