Pengertian dan Sejarah Suluk Linglung Sunan Kalijaga
Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan
menuju kesempurnaan batin. Di samping pengertian tersebut dalam perspektif lain
suluk diartikan sebagai khalwat, pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf
atau mistis.
Dalam sastra Jawa suluk berarti ajaran, falsafah untuk
mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni
pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan
suasana tertentu.
Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai
perjalanan untuk membawa seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang
melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk
cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan
rohani.
Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya "bingung".
Bingung di sini diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan
dari cerita, aplikasi ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami
kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.
Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari
hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk
ajaran yang termanifestasikan dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung
Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian ajaran filasafat yang digubah
oleh Iman Anom.
Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan
Kalijaga yang sampai saat ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini
merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng.
Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu
Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.39 Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan
menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab
serta memakai isim, berbagai macam do'a. Disamping itu suluk merupakan sebuah
goresan dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau
tokoh.
Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri
penulisan ngrasa sirna sarira aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan
dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis diatas kertas yang dibuat dari
serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat yang
diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.
Kondisi Teks dan Kandungan Ajaran Suluk Linglung Sunan Kalijaga Tentang Makrifat
Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin
menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan
spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan
badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari'at hubungan
antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang
ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan
berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.
Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan
Kalijaga di dalam kitab Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya
menjalankan syari'at Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk
sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji.
Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah),
baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh
pula.
Dengan begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup
sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk
tersebut, adalah sebagai berikut;
Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula
(Kumbang Menghisap Madu). Dalam teks aslinya, "pawartane padhita linuwih,
ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning uripe, sanget kepenginipun,
pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput,
anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul
kewala".
Artinya: "menceritakan tentang seorang alim
ulama' yang cerdik dan pandai yang sudah bisa merasakan mati, mati dalam hidup
yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh petunjuk dari seorang yang
sudah menemukan hakekat kehidupan dan perjalanan untuk tidak memperdulikan
dampak yang terjadi. Beliau bernafsu
untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali,
itulah tujuan yang diharapkan semata-mata".
Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga
berhasrat besar untuk mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali.
Dengan kondisi bimbang dan tidak menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk
mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan
mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri kepada Allah,
yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari kembang.
Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk
mengendalikan segala hawa nafsunya. Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak
bermewah-mewah (memikirkan kehidupan dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga
dan berserah diri pada Allah.
Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan
oleh suksma. Dia tetap kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti
badan dari waktu muda sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi
di tempat yang sepi, membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah
Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang
dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh
cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham,
apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu
pekerjaan akan cepat selesai.
Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah
sempurna tekadnya. Bila orang ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa,
raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila ingin tahu tentang asal mulanya,
jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada suksma. Dalam teksnya
dijelaskan:
“Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat
kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,...”
Artinya "berbagai usaha ditempuh agar akhir
hidupnya nanti, mampu mengatasi atau mengobati nafsunya, jangan sampai
terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab hatinya kalah perang dengan
nafsunya".
Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih
sayang pupuh asmara dana) pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga
berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang
diterimanya.
Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga
mengajarkan berbagai jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan
Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa ketika berguru kepada Sunan Bonang.
Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan
kedua bertapa ngidang
menyamar menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal
di hutan belantara. Dalam teksnya dijelaskan:
Pada bait ketiga " wonten setengah wanadri, gennya
ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen
madyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng jeng suhunan benang"
Artinya "berada ditengah hutan belantara, tempat
tumbuhnya pohon gurda yang banyak sekali, dengan tenggang waktu setahun
lamanya, kemudian disuruh "ngaluwat" ditanam ditengah hutan. Setahun
kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang.
Dan pada bait ketujuh belas, " pan angidang
lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi yen asare pan aturu tumut, lir
kadya sutaning kidang"
Artinya, "untuk menjalankan laku kijang, berbaur
dengan kijang menjangan, bilamana ingin tidur, ia mengikuti cara tidur
terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan seperti caranya
anak kijang".
Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:
- Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar
berbuat kebajikan.
- Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya
bersih dari prasangka buruk.
- Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah
menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah mengampuni kesalahan orang.
- Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya
tidak mengganggu orang lain dan tidak mencela.
- Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam
dan menyesali kesalahan
- atau bertaubat.
- Cahaya ata Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya
berhati ikhlas.
- Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya
selalu ingat. Di samping itu diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan
dengan tujuh anggota badan:
- Mata, tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak
menginginkan kepunyaan orang lain.
- Telinga, tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan
perkataan-perkataan yang buruk
- Hidung, tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka
mencela keburukan orang lain.
- Lisan, tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan
menghindari perkataan-perkataan buruk,
- Aurat, tapanya menahan syahwat dan zakatnya
menghindari perbuatan zina
- Tangan, tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya
tidak suka memkul orang lain,
- Kaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan
dan zakatnya menyukai berjalan untuk istirahat dan intropeksi.
Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan
Kalijaga yang diperintahkan ibadah haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi
Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut disebutkan:
"Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring
benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah
kaji, dhateng hing makkah, lampahnya murang margi".
Artinya, "Sunan Bonang sudah lebih dulu
melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti,
perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji menuju Makkah dia menempuh
jalan pintas.”
Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian
menyuruh Sunan Kalijaga untuk pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang
kemudian diperintahkan untuk bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.
Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera
yang kemudian nabi khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang
Hidayatullah (petunjuk Allah).
Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah.
Petunjuk merupakan sebuah anugerah yang tidak diterima oleh setiap orang.
Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan "nyuwun wikan kang sifat
hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga suci", artinya bahwa untuk
mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci, suci secara
dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.
Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan
Kalijaga untuk mencari kepandaian dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan
kota suci, kota sebagai kiblat bagi seluruh umat Islam yang mampu naik haji,
sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi umat Islam yang mampu naik haji sebagai
perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.
Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula),
mengupas tentang dialog antara Syeh Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan
wejangan tentang hidayatullah dan kematian dengan berbagai aspeknya.
Dalam teks aslinya "nadyan wus haji iku yen tan
weruh paraning kaji,...margone tan kanggo lunga, mring ka'bah yen arsa wruh ing
ka'bah jati, jati iman hidayat".
Artinya, "oleh karena itu, biarpun kamu sudah
naik haji bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan
rugi besar ka'bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya ka'batullah (ka'bah
Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam
hati. Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan
yang sebenarnya, kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah
yang dinamakan iman hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah
diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli
(pancamaya).
Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan,
dan siapa berhasil menjauhi penghalang tersebut akan berhasil menyatukan
dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan penghalang tersebut adalah
marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan semacam itu.
Dalam teksnya dijelaskan, "pan isine jagad
amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku,
yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng, abang, kuningsamya,
angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya".
Artinya, " sebab isinya dunia ini sudah lengkap,
yaitu terbagi ke dalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku
kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang
menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam, merah,
kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan
menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.
Godaan yang berat digambarkan empat penari pada
keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu yang timbul dari badan kita sendiri,
pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan rasa ingin marah, ingin
menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala tindakannya selalu
merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu amarah biasa digambarkan dengan
sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua, aluamah, nafsu yang menimbulkan
keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan. Orang yang menuruti nafsu
aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas
bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna hitam.
Ketiga sufi'ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan
nafsu ini selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai,
tetapi ia sendiri tidak mau berusaha.
Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya)
berwarna kuning. Keempat, mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka
memberi, penyayang. Orang yang menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi
orang lain tanpa perhitungan. Hal ini dapat menjadikan dirinya celaka dan orang
yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah digambarkan dengan sinar
(cahaya) putih.
Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan
menguasai empat nafsu itu, dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar
dapat memiliki (mencapai) waranggana (cita-cita yang mulia) yang dikejarnya.
Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara, dapatlah ia mencapai martabat
yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam. Nafsu aluamah disertai rajin dan
menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan tetap
terpelihara.
Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai
apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan
ketenteraman hidup, tertolong sebagaimana mestinya.
Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari
enam puluh bait yang berisikan tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan
Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul yakin, makrifatul yaqin dan
iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji.
Dalam teks aslinya disebutkan "urip jroning johar
iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ora
ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki".
Artinya: "jelasnya, kehidupan yang telah
digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita.
Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari keterangan tentang johar
awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu wajib
sholat, di dalam dunia ini? ".
Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu
yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir
memberikan contoh tentang sholat sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya
Tuhan atau Allah yang harus disembah, yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Begitu pun juga manusia, eksistensi
manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu Allah. Adanya manusia itulah
yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah adalah pada dirimu
kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.
Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri
manusia sendiri, barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri maka akan
mengetahui Tuhannya, jadi dengan bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya
sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes air yang
tidak mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan,
kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan
terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang
membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia
tidak akan sanggup membuatnya.
Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam
ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan
makrifat, kalau tidak makrifat berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman;
" dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana mestinya"
(al-An-'am: 91).
Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu
berarti tidak makrifat kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang
mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah
dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat
membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang kemudian
lama-lama dapat mengetuk "pintu" Allah dengan hati yang istiqomah,
dia melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh
hidayah dari Allah.54 Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat.
Dalam teksnya dijelaskan "tauahid
panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru'yat minangka saksi"
artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga
makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat
(ya dengan melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan
nyata".
Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima
puluh dua bait, pada bagian ini berisi tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan
dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya disebutkan " kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa
ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara
mangsa, iya anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki,
tan kena pisahenna.
Artinya; "cobaan hidup yang menuju kematian.
ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di
dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara
lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada ditubuh? Sungguh bersama
lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan”
Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan
tentang hakikat hidup, hidup yang penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan
sepenuhnya kepada Allah karena segala yang muncul di muka bumi karena Allah. Allah
adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun
demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat
rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan
untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang
jiwa menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.
Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran
sejati) yang berada dalam diri manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk
Linglung dinamakan "tunggal lawan
sang hyang widi", hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di
akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh Kinanthi bait 53 " Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang
Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana
pangeran, ya Allah ana nireki".
Artinya; "Thaukid hidayat yang sudah ada padamu,
menyatu dengan Tuhan yang terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia
maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”
Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga
tidak hanya melibatkan dunia dalam microkosmos tetapi juga memandang dunia secara
macrokosmos (misalnya alam semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan
sampai melupakan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.
Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin
dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum
seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia
tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut
fana (hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri,
yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.
Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud
jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang tinggal
ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya
persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya fana' tak
ubahnya dengan fana' tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan
hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan
kelakuan baik.
Refrensi:
Rus'an , Mutiara Ihya' Ulumuddin Iman Al-Ghozali,
(Semarang: Wicaksana, 1984)
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik; Jembatan Menuju
Makrifat, (Jakarta: Kencana, 2004)
http : // www. Serambi. Co. id / modules.
Ahmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga,
(Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta, 2004)
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya),
(Jakarta : Balai Pustaka)
Purwadi dan Siti Maziyah, Hidup dan Spiritual Sunan
Kalijaga, (Yogyakarta : Panji Pustaka 2005)
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga " Penyebaran Agama
Islam di Jawa berbasis kultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
* diambil dari http://www.wartamadani.com/2013/03/ajaran-makrifat-sunan-kalijaga-dalam.html