Lanjutan…
Sulitnya
air menjadi kendala besar bagi sebagian wilayah di Alor. Terlebih saat musim
kemarau tiba, alam pulau Alor seperti kering kerontang. Hampir tidak ada warna
hijau setiap pandangan mata diarahkan ke segala penjuru, kuning dan gersang!
Meski demikian, tak ku lihat raut muka mengeluh setiap orang yang kutemui di
sana. Mungkin mereka sudah sangat terbiasa menghadapi kejamnya alam tandus dan
panas.
Belemana
menjadi desa pertama penjelajahanku di pelosok Alor. Dari sini juga pengalaman
menghadapi kondisi alam dan karakter masyarakatnya dipelajari. Pengalaman ini
menjadi bekalku menghadapi desa-desa selanjutnya.
Kurang
lebih empat hari kami tinggal dan berbaur di Desa Belemana. Mencari tempat
tinggal orang, menelusuri, mewawancarai dengan sabar menjadi aktivitas
sehari-hariku. Kesulitan yang dihadapi saat wawancara adalah kendala pemahaman
bahasa. Terkadang apa yang disampaikan dengan jelas, belum tentu dipahami
maksudnya oleh orang yang dituju. Untungnya, semua orang di sana, mulai dari
anak-anak sampai lanjut usia mengerti dan bisa berbahasa Indonesia dengan
lancar. Berbeda dengan masyarakat Jawa dan Sunda. Umumnya para orang tua/ yang
sudah sepuh di Jawa kurang bisa berbahasa Indonesia, bahkan ada yang sama
sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Alhasil jika ada orang asing yang tidak
mengerti bahasa Jawa akan kesulitan berkomunikasi.
Hari
pertama di Belemana aku lalui dengan lelah. Mulai siang hari, kami berdua
bergerilya mencari responden-respondenku di desa itu. Sebelumnya kami diantar
ke rumah pribadi kepala desa sebagai tempat bermalam kami selama di Belemana.
Rumah seorang kepala desa tidak ada menariknya sama sekali, setidaknya bagi
orang-orang yang datang jauh dari kota-kota besar di Jawa. Bangunan rumah
setengah jadi tanpa daun jendela di beberapa kamarnya, kursi dan tempat tidur
sangat sederhana serta lantai yang beralaskan tanah adalah pemandangan interior
rumah. Hanya ada beberapa foto usang yang menghias ruang tamu. Mungkin itu foto
leluhur dan bapa desa sekeluarga.
Setelah
menyimpan barang bawaan, kami langsung bergegas melaksanakan tugas dengan
membawa perlengkapan survey yang diperlukan. Satu-persatu ku kunjungi rumah
warga. Dengan sabar dan telaten ku wawancara semua anggota keluarga yang ada di
situ. Biasanya, satu rumah tangga harus diwawancarai sebanyak tiga buku. Itu jumlah
minimal. Sedangkan satu buku kuesioner ada yang berjumlah 60 lembar. Bisa dibayangkan
kira-kira butuh waktu berapa jam utk bisa mewawancarai satu keluarga responden.
Untuk
pengalaman pertama, karena belum terbiasa, bisa 3-4 jam aku wawancara satu
rumah tangga. Sedangkan tugas kami harus mewawancara sedikitnya 8 keluarga di
desa itu. Hari pertama itu aku hanya sanggup mewawancarai 2 responden saja. Ketika
wawancara di rumah yang ketiga, belum sampai tuntas karena malam telah larut
dan gelap makin pekat. Kami pun kesulitan penerangan untuk bisa membaca dan
menulis di kuesioner karena hanya ditemani nyala lampu tempel atau senter yang
ku bawa.
Jam
10 malam waktu setempat kuputuskan untuk pulang ke “basecamp” di rumah pak kades,
atau orang Alor biasa menyebut bapa desa. Aku diantar Bapa desa pulang ke
rumah. Di jalan aku bertemu Risna teman satu tim ku di Belemana yang juga baru
pulang wawancara. Ternyata tidak jauh berbeda. Dia pun hanya dapat 2 responden
saja di hari pertama itu, itu pun belum lengkap katanya.
Sampai
di rumah bapa desa yang temaram, karena memang listrik dari genset milik desa
hanya menyala sampai jam 9 atau jam 10 malam saja, kami merasa lega. Temaram cahaya
dari genset itu pun tentu tidak bisa menerangi seluruh rumah warga di desa. Hanya
beberapa rumah saja yang bisa menikmati lampu. Selebihnya, tidur dalam
kegelapan.
Jalanan
desa yang berbukit dan tidak rata, ditambah gelapnya suasana membuat kakiku
harus rela menendang bebatuan. Tidak jarang pula temanku hampir tersungkur.
Maklum, karena mata kami hanya terbiasa pada gemerlap hidup perkotaan yang
terang benderang. Otomatis, mata kami mendadak “rabun” ketika harus berhadapan
dengan suasana gelap gulita. Bahkan sesekali aku tidak melihat ada orang yang
tengah duduk di depan rumahnya dan menyapa kami yang jalan beriringan. “Haii
kakak, mau kemana? Mampirlah dulu kemari”, hanya suara sapa seperti itu yang ku
dengar, sedangkan mata ini tidak mampu menangkap bayang dalam bayang kegelapan.
Aku
sejenak meregangkan otot tubuhku yang terasa kaku karena lelah. Dengan cepat,
bapa desa dan istrinya segera menghidangkan teh manis hangat dan ubi. Sambil melemaskan
otot dan menikmati kehangatan minuman, ternyata diam-diam sang tuan rumah
menyiapkan makan malam untuk kami semua. Mata mengantuk dan lelah tak tertahan
pun dipaksa untuk sejenak bertahan hanya sekedar melegakan upaya tuan rumah
untuk menjamu kami. Menu yang dihidangkan sangat sederhana. Hanya ada nasi dan
ikan asin beserta sambal tomat yang diuleg
atau ditumbuk tidak sampai halus. Tapi itu terasa istimewa ditempat yang
serba susah ini.
Bagi
kami yang sedang lelah, soal rasa adalah nomor sekian. Yang penting makan,
kemudian segera beristirahat. Sebelum tidur ku sempatkan untuk merapel solat
magrib dan isya. Hidup di sana tidak tau waktu solat. Maklum karena seluruh
warga menganut agama kristiani. Alhasil, taka da kumandang adzan terdengar. Jujur,
sering waktu solatku terlewat karena tidak tau waktu.
Selesai
kewajibanku hari itu, ku tunaikan hak tubuhku yang letih setelah seharian
beraktivitas. Tidur adalah hal yang terindah bagiku saat itu. Meski dingin mulai
menusuk tulang, karena kamar kami tidak ada daun jendela yang menghalangi angin
menerpa masuk, ku pejamkan mata ini. Aku pun tidur dalam gelap dan dinginnya
udara malam Alor.
Malam
seolah merangkak cepat sekali. Tak terasa hari telah pagi. Pantas saja dinginnya
makin menjadi. Aku pun terbangun. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.00 WITA. Aku
bermalas-malasan untuk bangkit. Baru sekitar jam 05.30 aku bangun untuk mencari
air berwudlu. Jauh ku susuri perbukitan di desa itu untuk menemukan sumber air.
Telinga dan mata ku pasang baik-baik untuk bisa menangkap sumber air. Setelah
kurang lebih 1 KM ku berjalan, akhirnya ku temukan sumber air itu.
Ku
basuh muka lusuh ini. Ku rasakan sejuk dan segarnya air yang mengalir dari
dalam tanah ini. Tidak banyak. Hanya sebuah kubangan kecil sumber mata air itu.
Setelah berwudlu, aku mencari tempat datar tak jauh dari situ untuk menunaikan
solat subuh. Jaket yang ku pakai, ditambah dedaunan yang lebar kujadikan alas. Tanpa
tau arah, ku hadapkan wajah ini ke arah yang ku yakini kiblat ku. Khidmat
sekali solat di alam terbuka saat itu. Allahu akbar!
Usai
solat, kusempatkan berjalan-jalan menyusuri desa. Dari atas bukit, terlihat
kilau emas mentari yang muncul dari permukaan laut. Subahanallah, Puji Tuhan
semesta alam yang telah menciptakan keindahan dalam keburukan. Buruk karena
memang kondisi alam gersang nan tandus. Namun Tuhan Maha tau mana yang pas
untuk umatnya. Masyarakat Alor lah yang dipilih-Nya untuk mampu menaklukan
tandusnya alam liar di sana. Dari “keburukan” itu, Dia munculkan segala
keunggulan dan hikmah di baliknya. Diantaranya pemandangan lautan yang hijau,
biru dan jernih. Udara yang jernih dan bebas dari polusi ini pun menjadi salah
satu nilai lebih bagi orang yang terbiasa hidup di padatnya perkotaan di Jawa.
Ku
hirup udara pagi yang segar itu dalam-dalam. Ku pejamkan mata. Ku rasakan
aliran oksigen itu memenuhi rongga paru-paru dan seluruh sel-sel darahku. Serasa
ingin ku buang semua racun oksigen yang masih mengendap di paru-paru dan aliran
darahku dan digantikan dengan murninya udara pagi di Alor. Lalu ku buka mata
perlahan. Kusaksikan maha karya Tuhan layaknya lukisan kanvas yang berada di
hadapanku. Gunung dan perbukitan saling menjulang berwarna kuning dan
kehijauan. Deburan ombak lautan di cakrawala memantulkan kilau yang indah,
burung-burung beterbangan, desir dedaunan tertiup angin lembut menghasilkan
melodi alami yang merdu.
Tak
terasa air mataku menetes. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Itulah pertanyaan yang menohok
mahluk picik tak tau terima kasih sepertiku ini. Baru kemarin aku mengutuki
dalam hati tentang kondisi Alor yang sengsara dan beratnya harus menjalani
hidup di dalamnya. Tapi hari ini, 8 Oktober 2013 aku mengakui di hadapan semesta
tentang hebatnya Alor, dan tangguhnya masyarakat di sana.
Di
tempat ku berpijak ini, ku dirikan solat. Ku edarkan pandangan, betapa maha
luasnya ‘rumah Tuhan’ ini. Bagiku, inilah rumah Tuhan yang sesungguhnya. Bukan masjid,
gereja, kuil atau tempat peribadatan apapun di muka bumi ini. Itu hanyalah
sekat-sekat kecil tempat manusia mengkotak-kotakan dirinya sendiri tanpa enggan
memandang luasnya hakikat tempat ibadah.
(bersambung...)