-
Petualangan di Tanah Kenari, Seribu Mutiara
Oleh:
Bambang Wibiono
Ada yang salah
dengan para pemimpin di negeri ini. Atau mungkin ada yang salah dengan diri
kita semua sebagai sebuah bangsa. Bagamana tidak, saudara sebangsa dan setanah
air kita ternyata banyak yang masih hidup nelangsa di ujung-ujung sana. Yang hidup
dalam kungkungan jelaga sampai tak tau apa itu dunia luar.
Bukan maksud
mendiskreditkan saudara di sebelah kita. Bukan pula memalingkan muka dari
tetangga terdekat kita. Tapi, hanya beritikad dan mengajak untuk memandang nun jauh
di sana. Agar kita tak terkungkung dalam mentalitas kerdil tersekat-sekat pada
batas primordial.
Patut dicamkan, kita
pun mungkin lupa bahwa kita adalah semua yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Bukan Jawa an sich, atau bukan pula dari Sunda, Betawi, sampai Jawa. Indonesia
ini luas, kawan.
Aku pun tercenung
ketika ku injakkan kaki ini. Ku ayunkan langkah ini, setapak demi setapak di
tanah yang baru ku tahu, itu Alor. Jujur, aku mengakui saat itu, bahwa di sana
lah medan bertempur untuk menggugurkan sebuah kewajiban tugas. Bahkan, sempat
terbesit enggan jika harus hidup di sana walau sebulan. Lagi-lagi, saat itu ku berpikir hanya
sebatas menggugurkan kewajiban tugas. Ku kuatkan langkah, ku tekadkan hati,
agar tak goyah terhantam gelombang frustasi.
Hari demi hari
berlalu. Mulai ku akui Alor itu menyenangkan, unik, dan memiliki pesona
tersendiri. Baru ku sadar, di sanalah, di kedalaman lautan teduh, tersimpan
mutiara kedamaian. Jauh dari hiruk pikuk pragmatisme mahluk metropolis. Dekat dengan
batas-batas nurani.
Di sana ku belajar
tentang keluguan. Di sana pula ku belajar tentang arti ketulusan. Dan di sana
aku belajar tentang Indonesia, dari sisi yang lain.
Kadang ku menitikkan
air mata di tengah derai tawa wajah-wajah lugu nan tulus mereka. Sering ku
tinggalkan teman-teman yang sedang bercengkrama dengan mereka. Bukan untuk
menghindar karena risih, apalagi benci. Hanya untuk ku sembunyikan air mata ini
mengalir. Agar mereka tetap tertawa lepas tanpa terganggu air mata ini.
Bukan bermaksud
melankolis, tapi hidup di sana memang menghadirkan alunan melankoli. Bernada
bebas, beraliran lepas. Nada demi nada begitu saja masuk ke dalam sanubari
membentuk ritme.
Petualangan Dimulai
Kalabahi adalah
tempat pertama yang ku singgahi di tanah Alor pada Tanggal 4 Oktober 2013. Tadinya,
ku pikir itu adalah sebuah kelurahan atau desa kecil di Alor. Namun ternyata,
baru ku tau bahwa itu adalah kota impian, dream
city. Sebuah Ibu Kota Kabupaten Alor. Ku simpulkan demikian setelah
beberapa minggu hidup di pedalaman Alor, yang akan ku ceritakan kemudian.
Sepintas tak ada
yang menarik di ibu kota ini. Bahkan jika dibanding kota kecil di Pulau Jawa
seperti Purbalingga, Purwokerto, Ciamis, Wonosobo, Solo apalagi dengan Bandung,
Semarang, dan Yogyakarta. Tak terbanding. Masih kalah jauh.
-
Maritaing
Maritaing, ibukota kecamatan yang pertama disinggahi sebagai wilcah I
6 Oktober 2013, kami ber-11 bertolak ke Kecamatan Alor Timur, dengan Ibu Kota Kecamatan, Maritaing. Kurang lebih hampir 4 jam perjalanan kami tempuh dengan kendaraan pick up yang disewa. Kendaraan angkutan itu layaknya pick up biasa yang didesain untuk angkutan umum dengan diberi kap penutup di atasnya. Itulah salah satu angkutan di sana selain juga mobil truk.
Tak terbayangkan jalan yang akan dilalui serusak dan berdebu itu. Alhasil, tidak sedikit dari kami yang mabuk perjalanan. Obat anti mabuk pun kandas tak berbekas. Hanya rasa pusing dan mual yang terus membayangi. Selama perjalanan itu, mobil kami harus berhenti dua kali karena kondisi kami yang pusing dan juga mesin mobil yang terlalu panas.
Untunglah pemandangan
yang disuguhkan sepanjang perjalanan luar biasa indahnya. Menyusuri garis
pantai di Alor luar biasa cantiknya. Belum pernah ku temui pemandangan ini
seumur hidupku.
Pemandangan sepanjang jalur pantai
Rasa pusing dan mual terbayar dengan memandang cakrawala lautan
yang biru, jernih, dan memantulkan kesejukan. Ingin ku berlama-lama berdiam
diri memandang di sana. Ku tekadkan, nanti akan ku sempatkan memandang
keindahan seperti ini di lain waktu.
Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.
Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas ku saksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini, dan aku harus siap!".
Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.
Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas ku saksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini, dan aku harus siap!".
kondisi jalanan utama (jalan kabupaten) lintas kecamatan
Perjalanan sungguh
berdebu, bahkan berpasir. Sampai-sampai muka dan badan kami berubah warna
menjadi putih penuh pasir dan debu. Pada sore hari pukul 16.00 waktu setempat
(WITA), sampailah kami di Maritaing. Sebuah rumah dinas jabatan sabagai basecamp.
Jangan bayangkan
rumah dinas pejabat seperti di Jawa. Sungguh berbeda. Di sana, rumah dinas
Camat pun sederhana. Tidak ada kesan mewah. Apalagi hanya rumah dinas jabatan
biasa. Dengan kamar kost pun masih lebih baik.
Hanya ada 2 kamar
tanpa kaca jendela dan pintu dari papan triplex. Tanpa kasur, apalagi lemari. Yang
terpenting bisa dapat tempat berteduh dari panas dan hujan.
Belum sempat ku
membersihkan diri, sekelompok ini dibagi menjadi beberapa tim yang akan
ditugaskan ke desa-desa. Dua tim terpaksa memisahkan diri untuk kembali ikut
mobil angkutan tadi menuju desa sasaran, yaitu Belemana dan Maukuru.
Langit telah gelap ketika
Aku dan Risna, rekan satu tim, berhenti pertama untuk menuju Desa Belemana. Dua
orang lainnya, Beni dan Gusti meneruskan perjalanan menuju Maukuru.
Sedikit gentar
menghadapi pekatnya malam. Bukan takut akan gelap dan hal-hal yang
menyertainya. Tapi soal sunyinya keadaan tanpa ada orang yang bisa dimintai petunjuk.
Tak ada listrik dan lampu semakin membuat pekat malam pertama kami di desa
antah barantah. Tak terpikir sama sekali.
Dengan membawa tas
berisi barang-barang logistik yang membuat langkah kami sedikit terseok.
Sulitnya mata ini menembus kegelapan, semakin membuat runyam keadaan. Ku
putuskan untuk putar arah dan mencari rumah penduduk setempat yang terdekat.
Sebab, saat perjalanan tadi, masih ku lihat rumah penduduk dengan nyala lilin
yang remang-remang.
Membawa sebersit
harapan akan bertemunya dengan penduduk, kami ayunkan langkah yang terasa
berat. Ternyata semua telah menjadi gelap. Tak ada orang. Pupuslah sudah.. . .