Oleh: Bambang Wibiono
Otonomi
daerah diupayakan dengan maksud mendistribusikan kewenangan pusat kepada daerah
dalam hal pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, pelayanan publik, dan
pengaturan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Namun dengan otonomi daerah
tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan kondisi di daerah. Kenyataannya
bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak bagi kemajuan dan
kesejahteraan di daerah secara merata, khususnya di daerah-daerah terluar dari
Indonesia. Wilayah Indonesia Timur biasanya merupakan daerah yang paling
tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. Distribusi ekonomi belum merata
hingga pelosok-pelosok negeri.
Tulisan
ini ingin membahas dan menampilkan potret kehidupan sosial ekonomi di salah satu
daerah terluar dari Indonesia, yaitu Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Tulisan
ini bukanlah hasil penelitian yang komprehensif, namun lebih kepada penjelasan
deskriptif tentang sebagian besar kehidupan masyarakat di Alor yang penulis
lihat dan alami ketika melakukan kunjungan dan survey di beberapa kecamatan di
Kabupaten Alor. Boleh dibilang ini lebih sekedar catatan hasil perjalanan.
Dengan sedikit pengetahuan yang penulis miliki, data dan fakta yang terlihat
akan dibahas dengan perspektif penulis, namun bukan bermaksud
mengeneralisasikan.
Alor, sebuah mutiara
yang terpendam di laut
Sungguh
menyedihkan memang, menjadi bagian Indonesia namun serasa dikucilkan.
Pembangunan dan perubahan sosial ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah
metropolitan saja, khususnya Jawa-sentris. Mari berhitung tentang berapa daerah
kabupaten/kota di luar Jawa yang mengalami perkembangan secara ekonomi? Ada
berapa provinsi yang pembangunan infrastrukturnya memadai dengan kemudahan
akses?
Banyak
orang yang enggan jika harus mendapatkan penempatan kerja di wilayah luar
Indonesia seperti NTT, khususnya bagi orang Jawa. Yang ada di benak kita ketika
berbicara Nusa Tenggara Timur adalah wilayah yang jauh dari peradaban, udik orang-orangnya, terbelakang,
miskin, sulit akses komunikasi dan transportasi, dan seabrek permasalahan infrastruktur lainnya. Tidak dapat disalahkan
memang pendapat tersebut. Memang itulah kenyataan di sebagian besar wilayah
NTT. Begitu juga dengan Kabupaten Alor.
Kabupaten
Alor terletak di sebuah pulau yang terpisah dari gugusan pulau Nusa Tenggara
Timur. Untuk mencapainya harus menggunakan perahu feri atau pesawat perintis
yang jadwal pemberangkatannya pun terbatas. Setelah menginjakkan kaki di tanah
Alor, akan disuguhkan pada suasana gersang dan hawa yang panas, bahkan jika
pada musim kemarau, akan terasa panas yang luar biasa. Namun di tengah kondisi
yang gersang dan panas tersebut, Alor menyuguhkan pada kita panorama laut dan
pantai yang luar biasa menakjubkan. Pemandangan itu sudah dapat dilihat
semenjak kita masih berada di atas pesawat dengan ketinggian beberapa ratus
meter di atas permukaan laut. Laut yang bersih, jernih dengan terumbu karang
yang indah serta pantai-pantai dengan pasir putih yang halus menghiasi hampir
seluruh lautan di Alor. Siapa sangka daerah yang jauh seperti Alor menyimpan
potensi laut yang mempesona? Jika mampu dikelola dengan baik, potensi ini mampu
mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar dari segi pariwisata melebihi Bali.
Sayangnya pemerintah daerah di sana belum memandang potensi ini sebagai peluang.
Di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi
wilayahnya dan menangkap setiap peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan
kesejahteraan masyarakatnya.
Sulitnya akses
Kendala
utama yang ada di wilayah Alor adalah sulitnya akses, baik itu transportasi,
maupun komunikasi. Banyak wilayah di Alor yang sulit dijangkau dengan
kendaraan. Bahkan banyak diantaranya yang sama sekali tidak dapat dilalui
dengan sepeda motor sekalipun saat musim hujan. Ini diperparah dengan sulitnya
akses komunikasi karena tidak adanya ketersediaan listrik. Hampir seluruh desa
di Alor tidak ada listrik. Kalaupun ada biasanya menggunakan genset milik desa sebagai sumber
listrik, namun itu pun waktu penggunaannya sangat terbatas, rata-rata sekitar
jam 6 sore sampai jam 11 malam saja. Alhasil, masyarakat desa di Alor hidup
dalam kegelapan, kegelapan yang sesungguhnya.
Permasalahan
ini yang membuat arus komunikasi dan koordinasi antar desa, antar wilayah di
Alor sulit terjadi. Tak jarang undangan rapat penting bagi pejabat di desa,
atau perangkat desa terlambat diketahui sehingga tidak bisa menghadirinya. Undangan
baru mereka terima dari kurir pada hari bersamaan acara atau bahkan undangan
diterima setelah beberapa hari dari acara yang seharusnya.
Kendala
berikutnya, waktu rapat atau acara penting di kecamatan atau kabupaten yang
hanya sekitar 2-3 jam bisa menghabiskan 1 hari atau bahkan 2 hari pulang-pergi.
Ini dikarenakan untuk menempuh ke ibukota kecamatan atau ibu kota kabupaten
harus berjalan kaki berjam-jam, bahkan bisa sampai menghabiskan 12 jam perjalanan
dari desa tertentu ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki. Warga di Alor
sudah terbiasa dengan berjalan kaki sehingga berjalan menempuh berkilo-kilo
meter sudah tidak dikeluhkannya lagi.
Kendala
lainnya adalah sulitnya akses komunikasi lewat telepon. Satu-satunya yang
memungkinkan adalah komunikasi menggunakan jaringan seluler atau lewat HP. Itu
pun tidak semua desa atau kecamatan ada jaringan. Jaringan yang bisa digunakan
di Alor hanya menggunakan Telkomsel, namun terbatasnya pemancar dan tower
penguat sinyal, jadi tidak bisa menjangkau seluruh desa. Karena sulitnya
sinyal, tak heran ada istilah-istilah aneh yang dikenal warga di plosok-plosok
desa terkait dengan sinyal ini. Ada yang namanya pohon sinyal, tiang sinyal,
rumah sinyal, dsb. Ini dikarenakan sinyal hanya bisa di dapat di tempat-tempat
tersebut saja. Jadi, jika warga ingin berkomunikasi mengirim SMS atau telepon
harus ke tempat-tempat itu. Kadang pada malam hari banyak orang berkumpul di
bawah pohon hanya untuk menelpon atau SMS-an. Anehnya lagi, sinyal hanya bisa
diterima untuk mengirim atau menerima SMS hanya pada posisi tertentu saja. Jika
bergeser atau berubah posisi saja, sinyal akan lenyap. Karena sulitnya jaringan
seluler ini, tak heran banyak masyarakat yang memiliki handphone namun bukan untuk keperluan komunikasi, tetapi hanya
untuk hiburan dan mainan.
Budaya dan Karakter
Orang Alor
Dari
sisi budaya dan karakternya, orang Alor memiliki sifat dan karakter yang keras.
Itu terlihat dari cara bicaranya, suaranya, serta gerak-gerak tubuh ketika
berkomunikasi. Jadi jika kita berasal dari Jawa yang cenderung lebih halus
dalam bertutur kata akan memandang orang alor sangat keras dan kasar. Bahkan ketika
mereka berbicara terkesan sedang bertengkar atau berdebat seru, padahal mungkin
sedang biasa saja. Orang sana juga memiliki sifat yang terbuka dan terus terang
apa adanya dan tidak segan dan malu untuk mengakui kebodohannya,
ketidak-tahuannya, dan ketidaksukaannya kepada orang lain.
Satu
hal positif yang dimiliki masyarakat Alor adalah jiwa menolongnya sangat
tinggi, apalagi terhadap orang asing yang tidak dikenal. Jika mereka ingin
menolong, akan diusahakan sampai tuntas. Pernah suatu ketika berkunjung ke
suatu desa dan hendak mencari salah seorang warga yang entah di mana rumahnya,
tiba-tiba ada warga yang telah mengamati sejak saya datang ke desa itu. Dia menghampiri
dan menawarkan diri untuk singgah di rumahnya yang sangat sederhana, bahkan
boleh dibilang belum layak untuk dibilang rumah. Dia menyuguhkan minum dan
semua makanan yang dia punya di rumah itu sebelum bertanya tentang maksud
kedatangan saya di desa itu. Mungkin karena melihat wajah dan lelah serta tas
bawaan yang berat di punggung saya yang membuat dia membiarkan saya istirahat
sejenak. Setelah itu ia menanyakan tujuan kedatangan saya ke desa itu. Setelah saya
jelaskan bahwa ingin mencari beberapa warga yang tinggal di desa itu, ia
beranjak sebentar entah ke mana. Setelah kembali, ia mengajak
berbincang-bincang tentang apa saja sampai saya mulai gelisah dengan tugas saya
di desa tersebut. Melihat kegelisahan itu, dia bilang bahwa tidak perlu
khawatir jika orang-orang yang saya cari sudah dihubungi semua. Bahka warga
yang sedang tidak di desa pun sudah dipanggilnya untuk pulang. Ia mengantar
saya ke rumah warga satu-persatu sampai larut malam. Hal seperti ini selalu
saya alami tiap masuk ke desa-desa di Alor. Ketika mereka benar-benar tidak dapat
menolong, maka mereka akan mencari orang lain dan memerintahkannya untuk
membantu apa saja yang saya perlukan.
Situasi
yang mungkin jarang sekali dijumpai di tanah Jawa, apalagi di kota-kota besar. Bukan
bermaksud mendiskreditkan Jawa dan non-Jawa, namun kenyataan bahwa orang Jawa
yang katanya ramah, santun, sopan, unggah-ungguh,
ternyata kini hampir tidak terlihat lagi. Mungkin telah tergerus oleh
budaya hedonis, konsumtif, metropolis, dan seabrek hal yang berbau modern. Coba
silahkan bertanya ketika kita tersesat di kota besar, ada berapa banyak orang
yang benar-benar peduli untuk membantu kita menunjukkan jalan? Bahkan tak
jarang mereka malah menyesatkan kita.
Masyarakat
yang tradisional, udik, katrok, menurut
saya lebih “modern” dari segi nilai sosial kemanusiaannya, dan mentalnya. Saat ini
kita seharusnya tak perlu lagi membuat dokotomi tentang tradisional-modern, desa-kota,
terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang
penting adalah soal value atau nilai
yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Dengan demikian kita tak akan
melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya
masyarakatnya.
(bersambung)...