Aceh pasca konflik tak hanya soal meniti pembangunan dan kesejahteraan, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2006 yang menegaskan hak istimewa untuk membuat berbagai peraturan daerah. Kompleksitas yang muncul akibat limpahan dana asing, politik bagi-bagi jatah, dan beragam tantangan sosial juga pada saat yang sama memunculkan sentimen identitas: pencarian sebuah afirmasi ulang mengenai apa itu menjadi ‘Aceh’. Pada titik ini, penerapan syariat Islam disepakati sebagai salah satu upaya kesana, meski praktiknya sangat problematik.
Sejak saat itu pula Aceh menjadi sorotan banyak pihak terkait berbagai kebijakannya menyoal perempuan. Awal tahun ini Walikota Lhokseumawe mengeluarkan keputusan melarang perempuan duduk mengangkang saat berboncengan di atas motor. Aturan ini memang tidak (atau belum) berwujud ke dalam peraturan daerah atau qanun. Namun, debatnya sudah sampai di tingkat nasional dan menjadi berita internasional.
Semangat untuk mereaktualisasi identitas Aceh pun terus digali dan dikonstruksi. Bagi penguasa, identitas adalah konstruksi untuk kebutuhan politik masa kini. Seperti halnya simbolisme tentang lambang, bendera, dan wali nanggroe, tubuh perempuan juga secara langsung maupun tidak menjadi sasaran dari sentimen untuk menegakkan identitas keacehan. Tak ubahnya simbol, perempuan dianggap tonggak moralitas yang secara visual paling mudah diatur. Jika pelacuran terselubung di hotel-hotel mewah Banda Aceh dianggap punya imunitas dari razia Polisi Syariah, atau banyaknya kasus KDRT yang dialami perempuan tak tersentuh hukum, bahkan ketika kasus-kasus korupsi terlalu riskan untuk disentuh ke akarnya, maka yang paling mudah adalah melakukan razia dan larangan bagi perempuan.
Menurut survei IRI tahun 2010, ulama di Aceh menempati posisi tertinggi sebagai figur yang disukai (didengar) masyarakat, sementara DPRK dan partai politik berada di urutan terendah. Di tengah-tengah itu ada LSM dan media. Jadi, duet politisi dan ulama menjadi kekuatan yang bisa mempengaruhi (atau bahkan membuat pasif) opini publik. Politisi memiliki kuasa namun tidak disukai masyarakat, sedangkan ulama tak mempunyai kekuasaan formal namun disukai masyarakat. Transaksi antara keduanya bisa sangat menggiurkan.
Dengan duet tersebut, penguasa dan tokoh masyarakat kerap menggunakan istilah ‘budaya’ dan menjadikannya pembenaran tunggal atas kebijakan diskriminatif. Akhirnya ‘budaya’ menjadi sesuatu yang abstrak dan retorik. Padahal budaya tak harus melulu merujuk pada satu tafsiran kokoh atas masa lalu, melainkan selalu berdialektika dalam prosesnya sampai saat ini. Pembenaran atas nama budaya jelas terjadi dalam kebijakan terkait perempuan di Aceh, namun prakteknya sangat parsial dan diskriminatif. Secara halus, ini adalah bentuk politik kekerasan terhadap perempuan.
Budaya, Sejarah, dan Syariat
Dalam kebijakan dan ranah publik, perempuan kerap mendapat lampu sorot namun tanpa suara. Mereka dibentuk ke dalam sebuah entitas tunggal dan objek dari wacana dominan. Sebagai warga negara, mereka cenderung mengalami diskriminasi berlapis, baik akibat ketidaksadaran sosial melalui persepsi dan stigma ataupun kebijakan politik yang maskulin. Ini menjadikan perempuan sebagai kelas sosial yang terhegemoni.
Laclau dan Mouffe (1985) beranggapan, kelas bukanlah sebuah formasi apriori bagi perwujudan hegemoni, karena setiap posisi subjek (identitas atau kelompok sosial) telah dipasung dalam relasi-relasi hegemonik. Karena itu, karakter politik dari perjuangan untuk transformasi sosial perlu menggeser term diskursus politik dan membangun sebuah definisi realita baru melalui artikulasi dari berbagai posisi subjek. Ini tidak harus melulu dimediasi oleh negara karena perjuangan tersebut harus menjadi tujuan dari aksi sosial. Ini mengartikan bahwa keseluruhan isu politik dan identitas adalah persoalan kelas dan identitas yang tak terlepas dari diskursus – yaitu sebuah aksi dan wacana yang memiliki makna tertentu karena relasinya dengan yang lain.
Yang terjadi dalam percampurannya dengan politik adalah budaya menjadi konstruksi imajinasi. Sejarah hanya menjadi endapan yang diambil parsial, dan syariat menjadi retorika. Semua elemen ini menjadi pembenaran atas berbagai regulasi yang mendiskreditkan perempuan. Ini adalah upaya para pejabat dan tokoh masyarakat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dengan argumen ini, ada beberapa hal yang menguntungkan para penguasa. Pertama, masyarakat awam akan menerima hal itu dengan pasif, karena dianggap terkait dengan identitas Aceh dan Islam. Kedua, mengontrol ruang gerak perempuan akan menambah privilege dari aktor-aktor politik di dalam sistem patriarki yang berlaku. Hal ini berpengaruh pada ranah privat, publik, termasuk sosial politik. Ketiga, kontroversi yang muncul akan memetakan mana kelompok yang pro dan kontra pemerintah, sehingga labelisasi dapat disematkan. Keempat, berbagai persoalan buruknya tata kelola pemerintahan dan lemahnya akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan tenggelam dalam radar publik, sehingga pemerintah tidak mendapat tekanan atas problem akuntabilitas mereka. Kelima, ‘syariat Islam’ adalah diskursus yang sensitif untuk dikritisi, cepat mendapat perhatian dan dukungan, serta menonjolkan kekhasan Aceh. Justifikasi itu dapat lebih ‘instan’ dan pragmatis jika diterapkan dalam bentuk larangan ketimbang kebijakan yang lebih mendasar dan berkelanjutan.
Memperdebatkan rujukan sejarah mengenai perempuan duduk menyamping di kendaraan di Aceh bisa jadi akan melahirkan dialektika pemikiran. Sejarah soal para pemimpin perempuan Aceh sebagai sultanah juga kerap diangkat untuk merespon anggapan yang bias tentang kepemimpinan perempuan. Namun, di tengah berbagai versi masa lalu, apakah merujuk pada sejarah dan budaya menjadi signifikan di tengah tarung interpretasi?
Persoalan budaya terkait sopan santun dan rasa malu yang mengatur bagaimana perempuan dan pria bertingkah laku di masyarakat sebenarnya sudah tercermin dalam norma sosial kehidupan sehari-hari. Artinya ia tidak dipaksa negara dalam bentuk kebijakan politik, khususnya yang tidak berdasarkan pada hasil konsultasi maupun penelitian atas persoalan dan kebutuhan sosial. Ketika hegemoni sudah diwujudkan sebagai aturan tertulis, ia menjadi pembenaran moral dan hukum melawan argumentasi publik apapun. Ia menjadi ‘realita’ baru.
Berbagai kebijakan pemerintah Aceh yang mengatasnamakan syariat Islam sampai saat ini masih menimbulkan persoalan karena menjadikan yang simbolis sebagai esensi. Karena itu, tak banyak yang kemudian memilih jalan kritis untuk bersua melawan arus utama. Para anggota legislatif perempuan (yang memang sudah minim jumlahnya) tak berdaya sebagaimana absennya tokoh-tokoh masyarakat alternatif dalam ranah wacana publik. Aktivis gerakan perempuan terhimpit oleh labelisasi dan kelompok masyarakat sipil lainnya tak memiliki soliditas dan kekuatan untuk melakukan tekanan.
Alternatif solusinya adalah menumbuhkan gerakan transformasi sosial untuk membongkar konstruksi kelas atas perempuan. Namun, resiko untuk membongkar itu terlalu besar karena ini adalah jerat sistemik. Upaya membentuk realita baru yang lebih plural dan setara akan distigma sebagai ‘liberal’, ‘kafir’, dan ‘sekuler’ – suatu mekanisme defensif demi pelanggengan identitas yang tak hendak tuntas. Jika kondisi ini terus berlangsung, perempuan Aceh akan tetap menjadi tontonan di atas panggung, di bawah lampu sorot, namun tanpa pengeras suara untuk membuat aspirasinya di dengar. (Rizki Amalia Affiat)
Daftar pustaka
Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe. 1985. Hegemony and Socialist
Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso