Dunia Sosial Budaya
blog ini tentang dunia sosial, politik, dan juga budaya
SELAMAT DATANG
Senin, 02 November 2015
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai A (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal, dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya, tulisan itu buruk. Logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.
"Maaf, Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Lantas saya berpikir, pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter hasil didikan guru-gurunya sangat kuat: yaitu karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti."
Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah karena telah memberinya penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai A yang berarti excellent (sempurna) tetapi saya justru mengatakan bahwa "gurunya salah". Kini, saya mampu melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun, di lain pihak juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, kecerdasan manusia dapat tumbuh, tetapi sebaliknya juga dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang "tambah pintar" dan ada pula orang yang "tambah bodoh".
Mari kita renungkan dan mulailah MENDORONG KEMAJUAN, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk MAJU, bukan dengan menghina atau memberi ancaman2....
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya.
"Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. ENCOURAGEMENT!", dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.
Padahal, saat menempuh ujian program doktor di luar negeri, saya dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan. Tapi yang sering terjadi di tanah air justru penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.
Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukannya melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul.
Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Lantas saya berpikir, pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter hasil didikan guru-gurunya sangat kuat: yaitu karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti."
Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah karena telah memberinya penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai A yang berarti excellent (sempurna) tetapi saya justru mengatakan bahwa "gurunya salah". Kini, saya mampu melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun, di lain pihak juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, kecerdasan manusia dapat tumbuh, tetapi sebaliknya juga dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang "tambah pintar" dan ada pula orang yang "tambah bodoh".
Mari kita renungkan dan mulailah MENDORONG KEMAJUAN, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk MAJU, bukan dengan menghina atau memberi ancaman2....
Kamis, 17 September 2015
Menyingkap Makna Dibalik Jilbab
Saya sempat berfikir saat membaca sebuah postingan berita atau mungkin gosip, lebih tepatnya. Seorang teman membagikan berita itu di media sosial dan mungkin sudah di share oleh ratusan orang di berbagai media sosial. Sebuah postingan tentang seorang istri pengusaha kaya yang kepergok selingkuh. Bahkan diberitakan, sang suami yang mergoki istri sedang tanpa busana berdua dengan laki-laki lain. Sebenarnya itu hal yang umum dalam pemberitaan dan hal "lumrah" juga terjadi di sekitar kita. Yang menggelitik pikiranku bukan soal selingkuhnya, tapi dalam berita itu yg ditonjolkan adalah soal wanita berjilbab lebar. Dengan bahasa yg sinis dan terkesan menyindir simbol jilbab yg perilakunya tak pantas.
Pikiranku memaksa kembali mengingat teori-teori jaman masih kuliah. Teori tentang simbol, identitas, interaksionisme simbolik, dekonstruksi, diskursus sampai teori kekerasan simbolik ala Pierre Bourdieu kembali terngiang. Aahh, tapi lupa persisnya seperti apa teori-teori itu. Yang pasti, saat baca postingan berita itu, yang saya tangkap, ada simbol "jilbab" yang dimaknai sebagai identitas muslimah dengan predikat yang taat pada ajaran agama dan menjaga perilaku serta sikapnya. Terlebih lagi, ditulis bahawa oknum perempuan itu berjilbab lebar. Di sini terlihat kesan ingin menelanjangi simbol "jilbab besar" sebagai identitas "muslimah" yang ternyata berperilaku bejat. Boleh dibilang ada kekerasan simbolik dalam frame artikel atau berita itu yang seolah ingin menuduh Islami pun bisa bejat. Tak lupa ditampilkan postingan di media sosial sang oknum yang selalu menulis tentang hal-hal ajaran Islam.
Ada upaya dekonstruksi atau membongkar makna. Bahwa perempuan berjilbab belum tentu baik perilakunya. Tapi ada yang bilang bahwa sebenarnya jilbab dan akhlak itu sesuatu yang berbeda. Tapi biarlah itu ranahnya para ulama untuk membenar-salahkan dengan dalil-dalil. Saya hanya ingin mengomentari soal simbol dan identitas yang ditampilkan.
Flashback
Kita kembali dulu pada masa beberapa dekade ke belakang. Saat kerudung atau jilbab masih menjadi sesuatu yg "eksklusif" dan seolah menjadi simbol perempuan yang islami. Bahkan sempat ada pandangan, orang berjilbab adalah orang yang fanatik dalam berislam. Sampai-sampai pemerintah melarang perempuan mengenakan jilbab di instansi-instansi pemerintah. Bahkan untuk pas foto ijazah, dan kartu identitas lainnya tidak boleh mengenakan kerudung. Seiring berjalannya waktu, simbol jilbab pun diidentikkan dengan orang yang pemahaman dan ketaatan Agama Islam yang khafah atau keyakinan yang sebenar-benarnya. Kalau umumnya perempuan tidak berkerudung, maka orang yang berkerudung dianggap anti-mainstream, diluar kebiasaan umum.
Konstruksi Makna Jilbab
Simbol jilbab dikonstruksikan sedemikian rupa lewat interaksi sosial bahkan diperkuat dan dilanggengkan dengan kebijakan-kebijakan sampai muncul "kesepakatan bersama" seperti itu. Lambat laun, saat pemerintahan otoriter tumbang, stigma jilbab sebagai Islam fanatik mulai pudar. Bahkan kampanye soal jilbab mulai muncul diawali dari kampus-kampus. Sedikit demi sedikit mulai ada "negosiasi" makna jilbab, atau malah boleh dibilang rekonstruksi makna dari Islam fanatik menjadi hanya Islam. Dengan perubahan makna ini memungkinkan kaum hawa yang beragama Islam mulai memberanikan diri bersentuhan dengan jilbab. Tetapi tetap saja berjilbab masih menjadi simbol wanita Islam yang taat. Sehingga orang yang mengenakannya biasanya benar-benar sudah yakin dan telah melalui proses "pembersihan" diri dari sifat dan sikap tercela. Banyak diantara kaum hawa yang enggan berjilbab lantaran menganggap dirinya masih kotor.
Sebenarnya makna jilbab sebagai identitas muslimah yang taat dan terpuji laku pikirnga, jauh lebih baik ketimbang di negara asal kelahirannya, Timur Tengah sana. Jilbab, bagi masyarakat Indonesia jauh lebih mulia dan terhormat. Sampai-sampai tidak semua perempuan Islam berani mengenakannya, karena dianggap terlalu suci.
Dekonstruksi Makna
Makin lama, simbol jilbab itu pun mengalami pergeseran makna yang tentunya melalui proses "negosiasi sosial". Dekade belakangan ini sepertinya simbol jilbab didekonstruksi sedemikian rupa. Dalam waktu cepat, jilbab yang dulunya dianggap suci berubah menjadi trend mode atau gaya hidup perempuan. Dampak positifnya, jilbab mulai banyak dipakai berbagai kalangan, tak terkecuali juga anak-anak. Jilbab yang dulu dianggap antimainstream, justru sekarang menjadi mainstream kaum hawa masa kini. Tak peduli apa latar belakangnya, apa pekerjaannya, bagaimana perilaku kesehariannya, jilbab menjadi sesuatu yang jauh dan berbeda dari itu.
Jilbab mulai dimanfaatkan sebagai bisnis fashion. Atau malah kepentingan bisnis inilah yang menjadi dalang dekonstruksi makna dari simbol "muslimah taat" menjadi sekedar "pakaian" atau "aksesoris gaya hidup". Ada yang menyebut dengan sinis kondisi ini sebagai bagian dari kapitalisme religius. Karena perubahan makna ini pun, muncul istilah baru, "jilbab" dan "jilbob". Jilbab, dalam perbincangan di media sosial dimaknai secara positif. Sedangkan jilbob memperoleh stigma negatif, yaitu bagi mereka yang berjilbab hanya untuk tampil modis. Bahkan terkadang penjelasan untuk istilah ini, "atas ditutup, bawah dipamerkan". Entahlah.
Kembali pada kasus berita perempuan berjilbab lebar yang selingkuh, mungkin oknum ini pun memiliki prinsip antimainstream. Dan juga sekaligus ingin menegaskan bahwa simbol jilbab, bahkan jilbab lebar yang identik dengan muslimah taat kembali didekonstruksi. Seolah dia ingin berkata, "jangan percaya pada jilbabku, pada status-status religius di media sosialku, karena aku juga manusia yg bisa khilaf dan mempunyai nafsu". Itu hanya imajinasi liar saya saja.
Terlepas dari itu, jika melihat fakta kekinian, bahwa jilbab sudah menjadi trend mode atau gaya hidup, seharusnya persoalan kasus asusila dan perselingkuhan yang dilakukan perempuan berjilbab lebar juga adalah kasus "wajar" dan "biasa". Tak perlu begitu sinis memojokkan Agama tertentu dengan simbol jilbabnya. Simbol dan maknanya itu terbentuk karena interaksi dan kesepakatan kita bersama. Semua terserah ingin memaknai seperti apa. Begitulah kira-kira.
sekian
Langganan:
Postingan (Atom)