SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Selasa, 12 Agustus 2014

ALOR: Sebuah Peta Yang Terlupa (3)



Pernahkah anda pergi ke suatu daerah antah barantah nun jauh di sana, di pelosok pedalaman, tanpa tau sedikitpun informasi tempat itu dengan berbekal seadanya? Ya, itulah yang kami lakukan ketika menerobos pedalaman pulau Alor. Aku dan salah seorang teman, Risna mencoba melangkahkan kaki memasuki desa yang menjadi salah satu wilayah sample Survey Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan (SPKP 2013) dengan berbekal segenggam nekat.

Bawaan kami hanya pakaian ganti, peralatan mandi, dan sedikit cemilan. Selebihnya, tas besar dan kardus yang kami bawa berisi “peralatan tempur” survey, yaitu kuesioner, antropometri, alat tulis, preprented dan dokumen-dokumen lainnya. Banyaknya logistik yang dibawa, membuat satu orang harus membawa dua buah tas, belum lagi ditambah kardus.

Barang bawaan pribadi tim SPKP DK-Alor (belum termasuk 'peralatan tempur' survey)

Dengan banyaknya bawaan itu, tanpa pengetahuan tentang desa atau peta desa, ditambah suasana malam hari tanpa penerangan membuat perjalanan menuju Desa Belemana sebagai desa pertama di wilcah I (baca: wilayah cacah) semakin tidak jelas. Dari informasi pak supir yang mengantar kami, lokasi Desa Belemana tidak jauh dari persimpangan jalan desa. Awalnya kami percaya dan memutuskan berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju desa. Tapi langkah kami makin ragu ketika tak nampak tanda-tanda kehidupan di ujung jalan yang berbukit. Akhirnya kami berpedoman, JANGAN MUDAH PERCAYA BILA ADA YANG MENGATAKAN DEKAT SOAL JARAK! Camkan itu!!

Tanpa pikir panjang, kami berbalik arah untuk mencari pemukiman terdekat yang tadi kami lewati sewaktu perjalanan naik mobil. Ternyata pemukiman penduduk yang sebelumnya masih dihiasi penerang lampu tempel, kini sudah gelap gulita seluruhnya. Pupus sudah harapanku untuk bisa bertanya dan mungkin menumpang bermalam.

Beberapa rumah yang aku datangi ternyata gelap gulita. Ketika pintu diketuk, taka da jawaban dari sang empunya rumah. Ketukan dan suara kami berdua hanya dijawab oleh suara anjing menyalak, seolah mereka tau kalau kami orang asing di situ.

Tanpa tujuan kami tetap berjalan berbalik arah dari Desa Belemana. Berharap menemukan penduduk atau rumah untuk bertanya dan singgah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Itulah pepatah yang cocok saat itu. Ada dua orang mengendarai motor berjalan ke arah kami. Dengan semangat Risna, menyetop motor itu untuk bertanya. Tak disangka pula, logat bahasa mereka seperti tidak asing. Benar saja, ternyata mereka orang Jawa yang merantau atau mungkin terdampar di pulau ini.

Dari keterangan mereka, ternyata memang benar kalau Desa Belemana masih lumayan jauh jika harus ditempuh berjalan kaki, khususnya bagi orang Jawa. Apalagi ditambah bawaan kami yang lumayan merepotkan. Kami disarankan untuk datang ke rumah salah seorang tokoh masyarakat di sekitar situ untuk bermalam. Kami ditunjukkan arah rumahnya yang ternyata hanya satu-satunya rumah yang menggunakan penerangan listrik sehingga bisa terlihat dari kejauhan di tengah pekatnya malam yang kian larut.

Aku lupa nama orang itu. Orang pertama yang memberikan pertolongan dan menyediakan tempat untuk aku dan Risna bermalam. Meski baru kenal pada saat itu, sambutan hangatnya luar biasa. Kami disiapkan kamar untuk istirahat, kemudian disediakan makan malam.

Saat itu aku tidak peduli dengan kondisi tubuh aku yang kotor dipenuhi pasir. Celana, tas, dan baju yang aku pakai saja sampai berwarna putih. Mungkin muka pun tidak jauh berbeda. Karena letih dan lapar, aku pun menyantap hidangan yang disediakan, berupa ikan pindang, mi rebus dan sambal tomat. Sangat nikmat untuk ukuran orang lapar.

Meski dingin menyerang, namun karena lelah, aku pun bisa tidur dengan pulas. Tidak peduli tentang hari esok yang berat. Bagi aku, esok pasti punya ceritanya sendiri. Hari ini adalah milik kita saat ini, maka nikmatilah. Sebelum tidur aku sempat berpikir, tak menyangka aku bisa menginjakkan kaki di wilayah yang sangat jauh ini. Tak menyangka juga, saat ini --yang tidak pernah terbayang sebelumnya-- aku sudah merasakan tidur di pedalaman Alor, di rumah orang yang tidak aku kenal dua jam sebelumnya. Dengan mengucap bismillah dan Alhamdulillah, akhirnya mata bisa terpejam.

Pagi-pagi sekali aku terbangun, selain juga karena dingin yang mulai bisa mengusik tidurku. Ternyata sudah jam setengah enam waktu setempat. Aku pergi untuk mengambil wudu dan menunaikan solat. Karena aku sadar, di tempat asing ini mungkin aku sangat membutuhkan Tuhan. Karena hanya pada-Nya aku bergantung segalanya di tengah ketidaktahuanku akan luasnya ciptaan-Nya.

Belemana; welcome to the ‘jungle’

Aku sempatkan mandi dengan air seadanya untuk membersihkan tubuh yang lusuh dipenuhi debu. Setelah sarapan, dan berbincang-bincang sejenak, kami memutuskan untuk segera meluncur ke Belemana. Sang tuan rumah malah sudah mencarikan ojek untuk mengantar kami berdua ke Belemana. Kami beri 20 ribu rupiah sekedar ongkos pengganti bensin. Kami diantar langsung sampai ke rumah kepala desa. Melihat pejalanan cukup jauh yang menanjak dan berliku serta kanan kiri hanya semak dan pepohonan, membuatku berpikir selama dalam perjalanan tadi. Untung semalam tidak jadi jalan kaki.

Pulau tempat Moko[1] ini mungkin sedikit berbeda dengan pulau lain semisal Papua, yang hampir di seluruh desanya berada di posisi yang sulit atau mungkin tidak terjangkau dengan kendaraan darat. Di Alor, mungkin semua desa sudah bisa dijangkau dengan jalan darat, meskipun ala kadarnya saja. 

Belemana adalah tipikal model desa di Alor pada umumnya; tanpa listrik, bangunan sekolah seadanya, guru juga seadanya, jalan desa seadanya meski sudah mulai dilakukan pengecoran dengan semen, tanpa air bersih, namun memiliki aparatur desa yang lengkap. Ini bisa digambarkan pada papan triplex yang ada di kantor desa (bila itu bisa disebut kantor desa). Sebab bagiku, bangunan itu tidak layak disebut sebagai kantor. Apalagi sebuah kantor pemerintahan. Bangunannya kurang memadai dan tidak ada tanda-tanda kalau bangunan tersebut sering digunakan untuk aktivitas, kosong dan kotor.

Rumah dinas atau rumah jabatan kepala desa berada di sebelahnya. Jangan membayangkan juga tentang rumah dinas yang biasanya bagus. Rumah jabatan ini tidak sepenuhnya berdinding bata dan semen. Separuh bagian dindingnya masih dari papan atau kayu. Lantai pun tidak semua dipelster dengan semen. Sebagian masih beralaskan tanah.

Kami menunggu sang kepala desa untuk membicarakan perihal keperluan kami di desa itu. Sekaligus meminta bantuan kepadanya untuk bisa mengakses data dan petunjuk untuk bisa bertemu dengan beberapa warga yang menjadi sampel survey. Sambil menunggu, kami berbincang dengan salah seorang warga dan juga perangkat desa di Belemana. Dia bercerita mengenai pembangunan di desa yang minim fasilitas, juga guru-guru pengajar yang kurang memadai bagi anak-anaknya menuntut ilmu.


Gusti (tim Alor DK-51), beserta anak-anak Alor.
Anak-anak Alor yang dengan keterbaasannya tetap gigih untuk belajar dan bersekolah


Akhirnya tokoh yang ditunggu datang juga. Kami memperkenalkan diri dan juga menerangkan maksud tujuan singgah di Belemana. dia pun mengangguk setelah diberi penjelasan juga oleh perangkat desa yang tadi sempat berbincang dengan kami. Maksud hati ingin segera melakukan wawancara agar cepat selesai, kami malah diajak makan dengan hidangan yang sudah disediakan.

Dari sinilah pengalamanku soal makanan yang sangat berbeda dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan mungkin juga inilah awal penyesuaian lidah terhadap masakan orang pedalaman Alor. Di sini juga untuk pertama kalinya aku merasakan makanan yang diharamkan dalam agamaku, daging babi.

Awalnya aku tidak curiga kalau itu daging babi. Hanya saja aku merasa aneh dengan dagingnya. Setelah sepotong daging masuk ke dalam mulut dan dikunyah, rasanya memang aneh. Tekstur dagingnya kasar mirip daging kerbau yang biasanya ada di makanan empal[2].

Setelah tiga potong aku makan, namun rasanya tidak cocok di lidahku. Aku putuskan tidak akan memakannya. Berbeda dengan Risna yang melahap semuanya tanpa sisa. Agar tidak menyinggung perasaan orang yang memberi, potongan daging yang ada di piring aku sembunyikan di tangan. Setelah selesai makan, aku buang jauh-jauh tanpa sepengetahuan siapapun. Kami baru tau itu daging babi ketika wawancara terhadap responden yang kebetulan juga masih kerabat dekat dengan kepala desa. Ternyata hidangan daging yang kami makan adalah babi hutan brooo… *pusiinngg dan mual deh nih perut*

Kalaupun tidak diharamkan dalam agamaku, mungkin aku tetap tidak akan memakannya. Karena rasanya memang tidak cocok di lidahku. Setelah tau kalau kami muslim, akhirnya mereka menghormati kami dan tidak lagi menyuguhkan daging babi. Bahkan kepala desa itu sempat meminta maaf padaku.

Aku pun baru tau kalau masyarakat desa di sana jarang makan nasi sebagai makanan pokok. Nasi adalah makanan istimewa di sana yang hanya bisa dinikmati seminggu 2-3 kali saja. Selebihnya hanya memakan hasil kebun seperti jagung, pisang, dan ubi-ubian. Masakan masyarakat sana pun sangat hambar karena memang tak pernah menggunakan bumbu. Bumbu yang dipakai setiap memasak hanya garam dan fetsin (penyedap rasa) saja. Kalaupun ada rasa bumbu yang lain, itu biasanya berasal dari bumbu mi instan yang mereka campur ke dalam masakan atau sayur.

Kurang lebih empat hari aku tinggal di Belemana untuk menyelesaikan tugas mewawancarai dan mengumpulkan data. Hal yang paling merepotkan adalah sulitnya air. Tinggal di rumah tanpa jendela, tanpa listrik, tanpa kasur empuk, tanpa lantai keramik, aku masih bisa santai. Aku sempat bingung jika ingin buang air besar. Tak jarang aku harus turun gunung mencari sumber air untuk membersihkan diri karena air yang tersedia di WC sangat terbatas. Bahkan hampir setiap wudlu sebelum solat, aku pun harus rela naik turun gunung menuju sumber air. Bagiku, tak apalah sedikit bersusah payah. Masih bersyukur bisa bertemu dengan sumber air meski tidak banyak juga.

…(bersambung yaa..cape nih nulisnya.. udah tengah malem juga. Nanti insya allah disambung lagi..)




[1] Moko adalah sejenis alat musik seperti tamborin atau benda tradisional yang biasanya sering dipakai sebagai mas kawin orang Alor.
[2] Makanan khas Cirebon seperti gulai dengan kuah berwarna kuning dan potongan daging sapi, kambing, atau kerbau. Biasanya dari organ dalam hewan-hewan tersebut.