SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Jumat, 04 April 2014

ALOR: Sebuah Peta Yang Terlupa (2)


-   Petualangan di Tanah Kenari, Seribu Mutiara

Oleh: Bambang Wibiono

Ada yang salah dengan para pemimpin di negeri ini. Atau mungkin ada yang salah dengan diri kita semua sebagai sebuah bangsa. Bagamana tidak, saudara sebangsa dan setanah air kita ternyata banyak yang masih hidup nelangsa di ujung-ujung sana. Yang hidup dalam kungkungan jelaga sampai tak tau apa itu dunia luar.

Bukan maksud mendiskreditkan saudara di sebelah kita. Bukan pula memalingkan muka dari tetangga terdekat kita. Tapi, hanya beritikad dan mengajak untuk memandang nun jauh di sana. Agar kita tak terkungkung dalam mentalitas kerdil tersekat-sekat pada batas primordial.

Patut dicamkan, kita pun mungkin lupa bahwa kita adalah semua yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatra hingga Papua. Bukan Jawa an sich, atau bukan pula dari Sunda, Betawi, sampai Jawa. Indonesia ini luas, kawan.





Aku pun tercenung ketika ku injakkan kaki ini. Ku ayunkan langkah ini, setapak demi setapak di tanah yang baru ku tahu, itu Alor. Jujur, aku mengakui saat itu, bahwa di sana lah medan bertempur untuk menggugurkan sebuah kewajiban tugas. Bahkan, sempat terbesit enggan jika harus hidup di sana walau sebulan. Lagi-lagi, saat itu ku berpikir hanya sebatas menggugurkan kewajiban tugas. Ku kuatkan langkah, ku tekadkan hati, agar tak goyah terhantam gelombang frustasi.

Hari demi hari berlalu. Mulai ku akui Alor itu menyenangkan, unik, dan memiliki pesona tersendiri. Baru ku sadar, di sanalah, di kedalaman lautan teduh, tersimpan mutiara kedamaian. Jauh dari hiruk pikuk pragmatisme mahluk metropolis. Dekat dengan batas-batas nurani.

Di sana ku belajar tentang keluguan. Di sana pula ku belajar tentang arti ketulusan. Dan di sana aku belajar tentang Indonesia, dari sisi yang lain.

Kadang ku menitikkan air mata di tengah derai tawa wajah-wajah lugu nan tulus mereka. Sering ku tinggalkan teman-teman yang sedang bercengkrama dengan mereka. Bukan untuk menghindar karena risih, apalagi benci. Hanya untuk ku sembunyikan air mata ini mengalir. Agar mereka tetap tertawa lepas tanpa terganggu air mata ini.

Bukan bermaksud melankolis, tapi hidup di sana memang menghadirkan alunan melankoli. Bernada bebas, beraliran lepas. Nada demi nada begitu saja masuk ke dalam sanubari membentuk ritme.

Petualangan Dimulai

Kalabahi adalah tempat pertama yang ku singgahi di tanah Alor pada Tanggal 4 Oktober 2013. Tadinya, ku pikir itu adalah sebuah kelurahan atau desa kecil di Alor. Namun ternyata, baru ku tau bahwa itu adalah kota impian, dream city. Sebuah Ibu Kota Kabupaten Alor. Ku simpulkan demikian setelah beberapa minggu hidup di pedalaman Alor, yang akan ku ceritakan kemudian.

Sepintas tak ada yang menarik di ibu kota ini. Bahkan jika dibanding kota kecil di Pulau Jawa seperti Purbalingga, Purwokerto, Ciamis, Wonosobo, Solo apalagi dengan Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Tak terbanding. Masih kalah jauh.

-   Maritaing

Maritaing, ibukota kecamatan yang pertama disinggahi sebagai wilcah I

6 Oktober 2013, kami ber-11 bertolak ke Kecamatan Alor Timur, dengan Ibu Kota Kecamatan, Maritaing. Kurang lebih hampir 4 jam perjalanan kami tempuh dengan kendaraan pick up yang disewa. Kendaraan angkutan itu layaknya pick up biasa yang didesain untuk angkutan umum dengan diberi kap penutup di atasnya. Itulah salah satu angkutan di sana selain juga mobil truk. 

Tak terbayangkan jalan yang akan dilalui serusak dan berdebu itu. Alhasil, tidak sedikit dari kami yang mabuk perjalanan. Obat anti mabuk pun kandas tak berbekas. Hanya rasa pusing dan mual yang terus membayangi. Selama perjalanan itu, mobil kami harus berhenti dua kali karena kondisi kami yang pusing dan juga mesin mobil yang terlalu panas.

Untunglah pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan luar biasa indahnya. Menyusuri garis pantai di Alor luar biasa cantiknya. Belum pernah ku temui pemandangan ini seumur hidupku. 


Pemandangan sepanjang jalur pantai


Rasa pusing dan mual terbayar dengan memandang cakrawala lautan yang biru, jernih, dan memantulkan kesejukan. Ingin ku berlama-lama berdiam diri memandang di sana. Ku tekadkan, nanti akan ku sempatkan memandang keindahan seperti ini di lain waktu.

Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.

Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas ku saksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini, dan aku harus siap!".



kondisi jalanan utama (jalan kabupaten) lintas kecamatan


Perjalanan sungguh berdebu, bahkan berpasir. Sampai-sampai muka dan badan kami berubah warna menjadi putih penuh pasir dan debu. Pada sore hari pukul 16.00 waktu setempat (WITA), sampailah kami di Maritaing. Sebuah rumah dinas jabatan sabagai basecamp.

Jangan bayangkan rumah dinas pejabat seperti di Jawa. Sungguh berbeda. Di sana, rumah dinas Camat pun sederhana. Tidak ada kesan mewah. Apalagi hanya rumah dinas jabatan biasa. Dengan kamar kost pun masih lebih baik.

Hanya ada 2 kamar tanpa kaca jendela dan pintu dari papan triplex. Tanpa kasur, apalagi lemari. Yang terpenting bisa dapat tempat berteduh dari panas dan hujan.

Belum sempat ku membersihkan diri, sekelompok ini dibagi menjadi beberapa tim yang akan ditugaskan ke desa-desa. Dua tim terpaksa memisahkan diri untuk kembali ikut mobil angkutan tadi menuju desa sasaran, yaitu Belemana dan Maukuru.

Langit telah gelap ketika Aku dan Risna, rekan satu tim, berhenti pertama untuk menuju Desa Belemana. Dua orang lainnya, Beni dan Gusti meneruskan perjalanan menuju Maukuru.

Sedikit gentar menghadapi pekatnya malam. Bukan takut akan gelap dan hal-hal yang menyertainya. Tapi soal sunyinya keadaan tanpa ada orang yang bisa dimintai petunjuk. Tak ada listrik dan lampu semakin membuat pekat malam pertama kami di desa antah barantah. Tak terpikir sama sekali.

Dengan membawa tas berisi barang-barang logistik yang membuat langkah kami sedikit terseok. Sulitnya mata ini menembus kegelapan, semakin membuat runyam keadaan. Ku putuskan untuk putar arah dan mencari rumah penduduk setempat yang terdekat. Sebab, saat perjalanan tadi, masih ku lihat rumah penduduk dengan nyala lilin yang remang-remang.



Membawa sebersit harapan akan bertemunya dengan penduduk, kami ayunkan langkah yang terasa berat. Ternyata semua telah menjadi gelap. Tak ada orang. Pupuslah sudah.. . .