SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Minggu, 10 April 2011

Memasuki Gagasan Kemanusiaan MELALUI Ajaran Kematian (Pengalaman Ber-Islam di Pasar yang Terbelenggu Kapitalisme Global[1])

Oleh: Ashad Kusuma Djaya[2]

Rasulullah bersabda: sebaik-baik tempat adalah masjid dan sejelek-sejelek tempat adalah pasar

(al-hadits) [3]

Umat Islam sempat bertanya-tanya, ketika MUI memfatwakan bunga Bank itu haram, apakah itu berangkat dari kepentingan umat secara menyeluruh yang konstruktif atau hanyalah dalam kepentingan sesaat untuk “mempromosikan” Bank Syariah? Pertanyaan ini penting dijawab oleh mereka yang terlibat karena fatwa yang dikeluarkan tersebut memiliki beberapa risiko, antara lain: 1) Klaim bahwa umat Islam (setidaknya versi MUI) itu mayoritas runtuh seketika dengan masih banyaknya orang yang menerima bunga Bank sebagai hal yang biasa (ingat: NU sejak lama sudah bisa menerima konsep Bank umum lewat NUSUMA). 2) Dengan banyaknya kegagalan eksperimentasi Bank Islam di berbagai negara dunia ketiga dalam upaya mengatasi problem ekonomi umat, orang ragu bahwa fatwa itu benar-benar dirancang melahirkan manfaat yang lebih besar dari madharatnya. Maka pertanyaan umat islam itu berujung pada: apakah fatwa itu untuk kepentingan “masjid” atau kepentingan “pasar”. Dalam hal ini penulis menduga, itu lebih banyak untuk kepentingan pasar.[4]

Perbincangan pasar sesungguhnya menarik. Berbagai peristiwa politik dan budaya pada kenyataannya tidak lepas dari dialektika pasar. Kasus hebohnya Inul si Ratu Ngebor sulit bila dikatakan hal itu lepas dari masalah pasar. Persengkataan sesungguhnya seharusnya dilihat sebagai pertarungan pasar, bukan antara pro kebebasan berekspresi dengan penghambat kebebasan berekspresi. Siapa-siapa yang bertarung, bisa dilihat dengan sedang laku-lakunya lahan lahan dangdut dan goyangnya. Ada yang sangat duntungkan oleh Inul, lalu tiba-tiba diputus begitu saja. Ini jelas masalah pasar. Bisa dilihat mereka-mereka yang bungkam terhadap kasus-kasus pemasungan kebebasan berekspresi dalam Pers. Misalnya dalam kasus koran rakyat merdeka yang dikalahkan oleh Akbar Tandjung hanya karena membuat karikatur yang “divonis” sebuah penghinaan, apakah “para pembela Inul” itu ikut membela kebebasan berekspresi? Nonsens! Merekalah, hamba-hamba Ua.......ang! Hati-hati, kita harus tahu mana para pembela uang dan pahlawan sejati!

1. Pasar dan Ajaran Kematian

Setiap ideologi besar selalu memiliki konsep tentang surga yang menjadi tujuan ideal umat manusia. Entah itu tetap menggunakan kata surga (‘adn/eden), atau memakai istilah lain seperti “masyarakat tanpa kelas” atau dengan istilah “masyarakat dengan biaya konsum­si tinggi”. Yang pada prinsipnya semua menggambar­kan tujuan ideal perjalanan manusia di dunia ini.

Dalam pencapaian tujuan itu, para “nabi” pemikir dalam ideologi tersebut merumuskan jalan-jalan (sya­riat) ke arah masyarakat yang mereka idealkan (surga). Dan karena kemudian disebarkan, maka jalan-jalan ter­sebut berubah menjadi ajaran yang dianut dan diwa­riskan. Seiring dengan bergulirnya waktu, para pengi­kutnya kemudian menjadikan ajaran itu sebagai hukum kemasyarakatan untuk kesejahteraan manusia.

Sayang ketika kita sudah sekian banyak mendapat gambaran tentang surga dalam perbincangan ideologis ini, kita tidak bisa mendapat penjelasan yang detail ten­tang kematian. Ideologi yang hanya dilandasi material­isme memandang kematian sekedar peristiwa material: rusak dan berhentinya sistem kerja tubuh. Ia tidak me­ngenal kehidupan pasca kematian. Karena itu doktrin-doktrinnya tentang “surga” hanya berlaku dan diru­muskan dalam konteks dunia material saja. Demikian juga dengan jalan yang ditempuh untuk mencapai ma­sya­rakat ideal tersebut ukuran-ukurannya hanyalah ber­sifat material (cenderung bersifat ekonomis: pro­duk­si dan konsumsi). Baik itu yang bernama jalan re­volusi atau jalan “pertumbuhan”.

Dalam ideologi yang dilandasi materialisme, waca­na kematian hanya dibangun dalam kerangka pengor­banan dan kekalahan dengan logika benefit and cost. Maka adalah menarik pemaparan Peter L. Berger[5], bah­wa dalam pencapaian “surga” itu muncullah kema­tian-kematian, baik berupa kematian manusia sesung­guhnya karena revolusi, atau matinya nilai kemanu­sia­an (dehumanisasi dan alienasi) pada proses penca­pai­an pertum­buhan. Semua itu merupakan biaya yang harus dibayar agar tercapai masyarakat ideal.

Sedang ideologi yang berangkat dari keyakinan pa­da agama menempatkan surga sebagai kehidupan pas­ca kematian. Karena itu berbeda dengan penganut ma­terialisme, surga bagi kalangan agamawan hanya mung­kin diraih oleh mereka yang telah melalui tahap kema­tian. Dalam pandangan agama, kematian merupa­kan jembatan manusia dari kehidupan duniawi ke­pada kehidupan surgawi. Jadi proses bersurga adalah proses mendatangkan surga pasca kematian dalam ke­hidupan di dunia ini.

Namun kenyataannya justru terbalik. Banyak aga­mawan terjebak penggambaran surga dengan bentuk-bentuk material­nya yang stagnant bagaikan berhala. Karena itu banyak para agamawan mengajarkan jalan pencapaian surga justru sebagai turunan dari pember­halaan itu. Misalnya, pembakuan jalan yang berujud standar-standar material, yaitu kuantitas ibadah ritual maupun sosial sebagai parameter kesalehan, dan bukannya mengejar kualitas.

Ini bisa kita lihat pada fenomena pengumpulan za­kat yang melimpah tetapi tanpa sense of crisis sama se­kali. Ketika malam takbiran berbondong-bondong kaum muslimin membagi-bagikan zakat, tidak hanya zakat fitrah tapi juga zakat mâl. Namun kaum miskin yang menerima zakat tidak meng­gunakannya untuk “mengentaskan diri” dari kemiskinan, tetapi menggu­nakannya untuk bergaya di hari Lebaran. Sehingga selama ini zakat bisa jadi justru ditempatkan sebagai pendukung budaya glamour yang akan semakin mem­per­tegas perbedaan kelas. Ini hanyalah sebuah contoh dari pemberhalaan jalan pencapaian surga.

Oleh karena jebakan pemberhalaan di atas, berku­man­danglah lonceng kematian sifat rahmatan lil‘âlamîn dari agama. Indikasinya adalah tidak dirujukkannya kembali segala bentuk peribadatan yang pada hakikat­nya merupakan jalan penye­lamatan manusia dengan hakikat penyelamatan itu sendiri. Kaum agamawan menjadi lebih mementingkan pelaksanaan hukum material agama, ketimbang melaksanakan amanah penye­lamatan umat manusia. Atau setidaknya menutup ma­ta akan kebuntuan jalan keberagamaan mereka dengan realitas yang harusnya diselamatkan. Mereka memate­rialkan dunia pasca kematian untuk ditawar-tawarkan pada manusia yang ingin selamat. Bahkan memaksa­kan­nya dengan kekerasan yang justru bertolak belakang dari prinsip penyelamatan manusia.

Sesungguhnya pandangan kematian adalah pandangan visioner yang melahirkan kecerdasan. Dengannya orang mampu melampaui dimensi materialisme kekinian. Di sini­lah titik tekan bahwa “gagasan” itu sesungguhnya ti­dak mesti terjebak dalam bingkai materi. Selalu ada ruang kreatif bersifat spiritual yang menguak lebih jauh arah interaksi berbagai materi. Sementara dunia mo­dern sibuk dengan membelah berbagai unsur dalam materi, ada baiknya mendorong sekelompok orang yang meretas jalan bagi persujud­an materi-materi itu dengan visinya. (QS. 24:41).

Di sini kematian menjadi memiliki makna peng­hilangan eksistensi diri dalam kesinambungan awal dan akhir: Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji‘ûn (QS 2: 156). Bah­wa penghalang dari Allah untuk kembali ke Allah ada­lah eksistensi (kekinian) diri kita yang menyem­bunyikan nafsu keiblisan. Orientasi jangka panjang (menuju Allah) dalam kematian sama artinya dengan orientasi pa­da asal muasal kita (fitrah: kembali pada Allah), yang se­cara bahasa bisa berwujud bertemunya keunggulan kompetitif dengan asal muasalnya yaitu keunggulan komparatif.

Banyak orang ingin menang berkompetisi dengan orang lain (berkeunggulan kompetitif) namun melupa­kan sumber daya dan kelebihan spesifik yang dimiliki­nya (keunggulan komparatif). Ibarat ahli bulu tangkis, jika tidak ingin kalah dalam berkompetisi maka jangan mau diajak bertanding tenis meja. Memahami bakat dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai kesuk­sesan adalah wujud dari gagasan pemahaman awal-akhir. Dan di sinilah kecerdasan itu bermakna, bahwa siapapun yang mengejar keunggulan kompetitif tanpa memperhatikan keunggulan komparatifnya hanya akan sampai pada ketergantungan karena ia tidak berdiri di kakinya sendiri. Dengan pemahaman ini, amat penting untuk mengkaji gagasan “berdikari”-nya Bung Karno. Namun keunggulan komparatif yang tidak manusiawi berupa buruh murah, sebagaimana eksploitasi buruh dengan dibantu kekuatan militer pasti tidak akan mampu menjamin keunggulan kompetitif dalam waktu yang lama.

Konsep pembangunan Indonesia adalah sebuah tragedi pemahaman kehidupan-kematian yang memi­lu­kan. Pembangunan membawa apa yang oleh sosiolog Lyman—dikutip oleh A. Sass—sebagai tujuh dosa me­matikan, yaitu: ketidakpedulian, ketamakan, angkara murka, kesombongan, iri hati, lahap, dan kerakusan.[6] Pengejaran industrialisasi dengan hendak mengejar keunggulan kompetitif di awal Orde Baru seakan-akan ingin merealisasikan sebuah mimpi berdasarkan kelim­pahruahan materi dengan pemahaman trickle down effect. Tak terasa, bahwa mimpi itu adalah ramalan yang diciptakan oleh para penyihir (ilmuwan sosial) mo­dern demi berlangsungnya kekuasaan (materialisme impe­rialistik) Fir’aun. Dengan sihir ilmu pengetahuan mo­dern, benda-benda mati bisa menggeliat dan menarik hati para pemimpin Orde Baru. Mafia Berkeley[7] me­rancang teknostruktur menjadi ular yang (seakan-akan) hendak memangsa para konsumen (untuk membeli) pro­duk dalam negeri, padahal semua itu hanyalah ke­palsuan. Semua mimpi-mimpi pembangunan yang diba­ngun dari ramalan pengetahuan modern, ternyata ha­nya membawa kita pada kondisi ketergantungan pada bangsa lain. Kita jadi terjajah lagi.

Pengetahuan yang dihasilkan oleh negara-negara Barat yang dominan dan dikirimkan kepada rakyat Du­nia Ketiga pada dasarnya bukan pengetahuan netral. Pengetahuan tidak hanya didasarkan pada ideologi Ba­rat tetapi juga didasarkan pada hasrat untuk mengen­dalikan. Jadi hubungan pengetahuan bukan semata-ma­ta mewakili hasrat untuk mengetahui, tetapi ada maksud untuk mengendalikan. Hubungan tersebut ber­ujud suatu prosedur bagi manajemen ilmiah kependu­dukan dalam kerangka kekuasaan/pengetahuan milik penguasa tata sosial modern. Karena itu, bila meminjam terminologi Islam, ilmu tersebut bukan ilmu sebagaimana mestinya, tetapi tergolong sihir. Dan sihir itulah yang kita so­si­a­lisasikan lewat media-media publik, termasuk se­kolah. Dengan demikian, kita jadi semakin (dibuat) yakin ka­lau negara Dunia Ketiga itu selalu dalam posisi yang serba kekurangan.[8]

Menurut Edward W. Said[9], nasib bangsa Indonesia persis seperti halnya masyarakat negara-negara berkembang lainnya, masyarakat Indonesia pun telah menjadi objek pemasaran yang empuk. Tanpa terasa dan secara perlahan masyarakat terjerat pada satu ben­tuk masyarakat dengan budaya konsumen yang meng­arah pada kehidupan konsumtif (Featherstone, 1991).[10] Dengan demikian, industrialisasi yang dikembangkan memberi “teluh” kematian bagi bangsa Indonesia, tidak hanya dalam nilai-nilai kemanusiaannya tetapi juga menimpa identitas kebangsaannya.

2. Belajar Kapitalisme Global dari Murid Syekh Siti Jenar

Ajaran kematian dalam khazanah masyarakat jawa sering identik dengan nama Syekh Siti Jenar. Dan dalam konteks masyarakat modern, kalau harus memperlihatkan siapa pewaris ajaran Syekh Siti Jenar sekarang, maka penulis akan menunjuk Marsinah-lah salah satu orangnya. Buruh PT. Catur Putra Surya—sebuah pabrik industri yang berlokasi di Sidoarjo Jawa Timur—itu ditemukan tewas sekitar Mei 1993 dan sampai sekarang hanya Tu­han dan pelakunya saja yang tahu. Dia bukanlah akti­vis buruh yang pernah mengenyam pendidikan tinggi—dan karenanya jangan samakan ia dengan kebanyakan mahasiswa yang bisa sedemikian berani teriak-teriak di jalanan dan memprovokasi buruh—sebab selepas dari SMU Muhammadiyah, ia terpaksa harus bekerja. Namun, kepedulian dia akan nasib kawannya yang di­zalimi tidak kalah kokohnya dibandingkan para aktivis gerakan mahasiswa yang radikal. Dia tahu betul, ba­dan dan nyawanya terlalu berharga kalau hanya ditu­kar dengan gaji rendah demi kebisuan pada laku ke­zaliman. Saya tidak tahu, apakah QS 4:95 yang artinya kurang lebih, “Tidaklah sama antara mukmin yang tidak turut berperang tanpa mempunyai uzur (alasan yang sah), dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan har­ta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat”, merupakan keyakinan yang di­pegangnya dengan kuat. Namun, saya duga ia juga ti­dak terlalu memahami apa dan bagaimana ajaran Syekh Siti Jenar yang—menurut saya—ia warisi itu. Namun dengan membaca perbuatannya, kita bisa men­duga bahwa setidaknya ia memiliki kedua semangat itu.

a. Berdialog dengan Marsinah

MBak Marsinah, jika sebagai muslimah engkau sampai meninggal dunia karena pembelaanmu pada kaum yang dizalimi, lalu siapa yang kemudian membe­lamu di saat engkau dizalimi? Nasibmu benar-benar se­perti Syekh Siti Jenar, jadi tak ragu bila aku menyebut­mu sebagai salah satu pewaris ajarannya. Namun mBak Marsinah, barangkali nasib Syekh Siti Jenar masih lebih beruntung ketimbang nasibmu, karena ada sekian banyak murid Syekh Siti Jenar yang melakukan pembe­laan atas kematiannya. Kalau engkau, siapa yang mem­bela? Jangankan membelamu, bertahun-tahun untuk men­cari pembunuhmu saja tak bisa. Perlukah tekanan dunia Internasional seperti kasus terorisme yang ba­gaikan sulap langsung ketemu aktor peledaknya? Tahu­kah engkau mBak Marsinah, kini penguasa di Indonesia telah berganti tiga kali semenjak engkau meninggal­kan kami, tapi tak juga ada dari mereka yang bisa meng­hukum pembunuhmu. Sampai-sampai, ada yang ber­pikir bahwa mungkin para penguasa itu bukan tidak mau menghukum pelakunya, namun justru ingin mem­berikan hukuman yang lebih besar. Mereka yang sudah sempit nalarnya berpikir, para penguasa itu tidak ingin mengurangi hukuman pelaku itu di akhirat dan alam ku­burnya dengan hukuman di dunia. Biarlah sang pe­laku menjadi rahasia siksaan alam kubur dan neraka nan­ti. Ah, betapa lemahnya penguasa yang berpikir seperti itu!

MBak, kenalkah kau pada teman-temanku yang se­ring dikelompokkan menjadi orang beriman.[11] Maafkan mereka bila mulut mereka begitu sunyi dari menye­but namamu. Kau tahu mBak Marsinah, apa gerangan yang menimpa kerongkongan mereka sehingga sulit ber­teriak menyebut namamu? Apa karena mereka sedang asyik belajar tentang bagaimana dakwah yang baik? Atau karena telah sedemikian lama mengalami peming­giran politik, mereka jadi ingin mencicipi kue kekuasa­an yang konon nikmat itu meski dengan imbalan “ja­ngan memperbanyak musuh”. Maaf, waktu itu aku juga tidak bersuara—euforia perkuliahan memberi ja­rak pada namamu—meski kemudian aku bisa belajar meng­eja namamu dari pergulatanku di Universitas Gadjah Mada—yang dengan sengaja—akhirnya aku tinggalkan.

MBak, satu hal yang saya yakini dari ilmu Syekh Siti Jenar adalah penolakannya terhadap feodalisme (ke­rahiban) ahli agama/wali, karena memang ayat Tu­han tersebar di seluruh penjuru bumi. Maka belajar aga­ma itu sesungguhnya bisa dari siapa dan apa saja, ter­masuk kepadamu, mBak Marsinah. Dari keadaanmu­lah aku bisa belajar tentang kapitalisme tanpa harus me­ninggal­kan kebiasaanku mengaji kepada guru-guru spiritualku secara bebas. Justru dari hasil mengajiku itulah, aku jadi tahu bahwa kalau kita berbicara kapital­isme (dalam kaitannya dengan apapun) itu mengharus­kan kita untuk selalu meneliti ulang berbagai gaya hidup (akhlak) kita sendiri. Karena secara prinsip, kapitalisme itu tidak menyerang (atau merasa tidak perlu menye­rang) berbagai gagasan di luar ideologinya. Bagi ka­pi­talisme tidak penting apakah seseorang berideologi kapitalis, Islam, komunis, sosialis dan sebagainya kare­na titik serangannya adalah pada gaya hidup sese­orang. Apapun ideologi seseorang, asalkan gaya hi­dupnya mewakili (bisa dibaca: menguntungkan) ideo­logi kapitalisme, itu sudah cukup.

Maka apakah engkau tahu mBak, bahwa prinsip uta­ma dalam “perlawanan” terhadap kapitalisme (global) adalah kebertahanan kita (baik sebagai individu maupun bangsa) untuk mampu menggunakan semua dari apa yang sudah kita miliki secara optimal.[12] Dan kon­sekuensi dari pemahaman itu semua adalah usaha keras agar kita bisa memperkecil ketergantungan pada orang. Lebih lanjut, kita perlu meneliti ulang seluruh pen­definisian hidup kita untuk bisa keluar dari nilai-nilai hegemonik yang mengarahkan kita pada suatu ca­ra produksi dan konsumsi kapitalistik. Yang demikian mengharuskan kita untuk selalu kritis (dalam bahasa Ranggawar­sita: waspodo) dengan gempuran infor­masi yang dibombardirkan pada kita lewat berba­gai bentuk pendidikan dan media massa.

Iklan adalah serangan paling kasar dari kapitalisme (global) dalam membentuk gaya hidup kita selain se­rangan dengan senjata sebagaimana pernah terjadi di Irak. Hebatnya iklan, ia mampu memasuki ruang-ruang kehidupan kita yang sangat privat sehingga kalau secara pribadi kita selamat, barangkali orangtua, sau­da­ra, atau anak kita yang akan terus diserang dan be­lum tentu selamat. Namun sesungguhnya, banyak yang le­bih berbahaya dari iklan, salah satunya adalah impe­rialisme pengetahuan.

Imperialisme pengetahuan tidak hanya beraksi pada institusi pendidikan formal, tetapi juga merajalela di berbagai aksi institusi (yang sering diidentikkan dengan gerakan) masyarakat sipil. Adalah James Petras dan Henry Veltmeyer[13] yang mencatat kenyataan posisi yang diambil oleh NGO atau LSM sebagai pelayan im­perialisme. Secara intelektual, menurut Petras dan Velt­meyer, LSM-LSM adalah polisi intelektual yang mende­finisikan penelitian “yang bisa diterima”, mendistri­bu­sikan dana penelitian dan membuang topik-topik dan perspektif-perspektif yang memproyeksikan analisis kelas dan perspektif perjuangan. Para pembela sejati kaum tertindas diusir dari konferensi-konferensi dan dicap sebagai “ideolog-ideolog”, sementara para aktivis LSM menghadirkan diri sebagai “ilmuwan sosial”.

Namun begitu, aku kira jika engkau masih hidup, mBak Marsinah, engkau akan menasihatiku agar pema­haman yang seperti itu tidak mengarah pada sebuah de­legitimasi absolut terhadap institusi-institusi (pem­berdayaan) masyarakat sipil tersebut. Mereka yang me­miliki kesadaran akan fenomena kapitalisme global, se­baiknya justru melakukan tekanan-tekanan (baik de­ngan cara merebut maupun membuat kelompok pene­kan) agar berbagai institusi masyarakat sipil tersebut be­tul-betul bisa menjadi alat pemberdayaan kekuatan rak­yat dalam melawan eksploitasi dari kapitalisme global. Dengan begitu akan lahir institusi-institusi perla­wanan dari timangan kapitalisme global sendiri.[14] Hal itulah sebenarnya yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar ketika mendekati Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga.

Demikian juga dalam menggerakkan berbagai per­juangan masyarakat sipil, dari pengalamanmu mBak Marsinah, itu tentu tidak dalam sebuah kerangka untuk mendelegitimasi negara. Sebab negara yang lemah akan sangat mudah ditunggangi oleh kepentingan kapital­isme global. Tetapi berbagai perjuangan masyarakat sipil hendaknya diarahkan untuk menekan negara agar bisa menjadi alat perlawanan rakyat guna menghadapi tekanan dan eksploitasi kapitalisme.[15] Karena negara me­mang didirikan dengan tujuan melindungi rakyat­nya. Apa arti bernegara bagi kita bila negara sendiri me­ngorbankan warganya demi kepentingan segelintir kaum kapitalis? Mbak Marsinah, engkau pasti akan me­ngatakan, “sudah cukup aku sajalah korbannya!” Namun mbak, sekarang kapitalisme yang menekan itu berada dalam tataran global, bagaimana negara akan melin­dungi warganya?[16] Dalam kondisi demikian, mungkin kita harus melakukan gerakan masyarakat sipil seba­gai­mana yang dilakukan anak keturunan Ki Ageng Peng­ging agar Indonesia ini jangan sampai terjebak ber­perilaku sebagaimana terjadi pada masa Mataram yang akhirnya menjual negara kepada Kompeni. Mula-mula Semarang, kemudian daerah-daerah Pesisir, dan akhir­nya semua kerajaan dijual pada Kompeni. Hal itu kemu­dian ditandai dengan berdirinya lembaga Kepatihan yang diangkat langsung oleh Belanda sehingga Raja hanya sekedar simbol saja.[17]

Dengan demikian mBak Marsinah, akibatnya Raja hanya punya wewenang dalam pengembangan kese­nian dan kesusastraan, dan tidak sedikit yang akhirnya terjebak pada pengembangan budaya mistik. Karena itulah, warisan agung dari para pendahulunya yang sebagian pernah tersentuh ajaran Syekh Siti Jenar hanya dipahami sekedar dalam aspek mistik. Tidak ada upaya pengembangan metode berpikir dan teknologi yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Karena itulah setelah Proklamasi kita kumandangkan, jangan sampai kita mengulang kembali sejarah kekuasaan seperti itu. Negara harus kita jadikan alat untuk benar-benar mem­bela rakyat.

b. Memahami Perspektif Makrifat

Penggunaan negara sebagai alat perlawanan rak­yat (kaum proletar) adalah kerangka analisa yang se­sungguhnya meminjam perspektif kelas milik kaum so­sialis. Diakui atau tidak, sosialisme maupun kapitalisme me­miliki dasar yang sama yaitu materialisme. Sehingga jika tidak berhati-hati penggunaan perspektif kelas itu akan terjebak pada “materialisme pembentukan” dik­tator ploletariat yang sulit mengakomodasi kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Kemungkinan jebakan itu sesungguhnya disadari oleh kaum sosialis sendiri, dan Imam Yudotomo (tokoh PSI Yogyakarta) mencatat 6 (enam) konsep keterjebakan itu:[18] 1) Konsep perjuangan revolusioner bersenjata selalu memakan korban yang tak terhingga nilainya. 2) Konsep berdemokrasi sen­tralistik di mana segala kebijakan ditentukan oleh pim­pinan dan rakyat hanya boleh berdemokrasi di tingkat pelaksanaan. 3) Lahirnya partai pelopor yang secara kon­sep disusun dengan disiplin dan struktur militer yang menghasilkan kelas baru yang amat kejam. 4) Kon­sep diktator proletariat yang pada hakikat dan kenyata­annya adalah diktator yang sebenar-benarnya. 5) Kon­sep penghapusan hak milik sebagai hal yang tidak ma­nusiawi; dan 6) Konsep tentang kapitalis negara seba­gai hal yang sangat tidak realistis.

Meskipun kenyataan seperti itu—ditambah lagi ber­bagai kegagalan sosialisme di dunia—tidak dengan sen­dirinya menghapus sosialisme sebagai sebuah jalan bagi penciptaan keadilan. Setidaknya ia selalu mampu mere­produksi diri dalam setiap gerakan melawan ketidak­adilan kapitalisme. Ignas Kleden menunjukkan ada­nya sebuah utopia—tentang keruntuhan sistem dan ber­akhirnya kebudayaan kapitalis (mirip yang diimpikan oleh Karl Marx)—yang digunakan oleh banyak pemim­pin bangsa untuk penyusunan suatu konsep masa de­pan.[19] Dalam hal ini barangkali memang perlu penje­lasan panjang jika kita menolak bahwa berbagai ge­rakan melawan ketidakadilan kapitalisme banyak diins­pi­rasikan dari sosialisme (Marxisme). Namun begitu, kalau kita menengok Islam maka kita akan temukan berbagai hal yang sama. Hassan Hanafi, Asghar Ali Engi­neer, Ali Syariati dan Cokroaminoto serta H. Agus Salim, adalah beberapa gelintir saja yang pernah membawakan suatu pemikiran Islam Revolusioner.[20]

Namun melihat betapa blunder[21] ideologi yang berasal dari materialisme, bisa jadi yang kita butuhkan (terlebih dahulu) bukan ideologi alternatif melainkan sebuah perspektif alternatif. Dalam kajian buku ini, pers­pektif itu dirumuskan sebagai suatu perspektif mak­rifat yang menolak pemberhalaan materi menjadi pusat orien­tasi hidup. Dengan demikian perspektif ini lebih me­mentingkan interaksi antar materi dengan gagasan keadil­annya, ketimbang berkutat pada materinya. Saya kira, dengan perspektif yang demikian ini, sesungguh­nya kita bisa memahami kenapa Islam tidak pernah secara tegas menolak perbudakan (sebagai fakta sosial). Islam lebih mengatur agar pola hubungan yang ada men­jadi suatu hu­bungan semakin tidak eksploitatif,[22] dan karena itu ujung yang dianjurkan adalah memer­dekakan budak.

Sehubungan dengan pemahaman tentang perbu­dak­an sistem industrial ini, pernah mendengar kisah dari kawan yang berada dalam suatu konflik batin yang seru. Ketika ia tengah merintis suatu usaha yang pada awalnya dirancang kecil-kecilan saja tetapi justru mem­besar tidak seperti yang ia kira, tiba-tiba banyak tetang­ga memohon dengan sangat agar menerimanya men­jadi karyawan. Sebelumnya ia telah memiliki karyawan, salah satunya adalah bekas pembantu rumah tangga­nya yang kemudian ia latih menjadi sekretaris atau ba­gian administrasi usahanya. Menghadapi gelombang pencari kerja ini, apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menggunakan cara produksi kapitalisme, hanya ka­re­na ada peluang dengan kedatangan para pencari ker­ja itu? Awalnya ia hendak menolak, tapi mereka me­nge­luarkan berbagai keluhan masalah-masalah ekono­mi yang mereka hadapi. Sampai lama ia merenungkan­nya, akhirnya ia terima juga dengan sebuah kesadaran bahwa sebisa mungkin kita bersama membuat suatu pola interaksi yang adil.[23] Tentu ini bukan hanya ber­kaitan dengan fasilitas dan kesejahteraan karyawan, na­mun juga peluang mereka untuk bisa “memerdeka­kan diri”.

Di situlah makna penekanan perhatian terhadap interaksi antar materi dalam perspektif makrifat, yaitu untuk melihat berbagai fenomena dalam bingkai ke­adilan. Suatu fakta dalam interaksi kemanusiaan meru­pakan satu bagian saja yang bersintesis dengan beribu fakta yang lain, yang jika kita melihat salah satunya men­jadi pendukung keadaan yang zalim (tidak adil) maka harus segera diperbaiki. Dengan demikian tidak ada suatu analisis yang memisahkan satu hubungan sebab akibat dengan sebab-akibat yang lain. Setiap fenomena merupakan suatu sintesis atas berbagai sebab yang terjadi secara menyatu. Di belakang akan kita pahami, salah satu kualitas pemikiran makrifat adalah pemikiran dengan metode sintesis ini.

c. Berpikir Makrifat[24]

Sedemikian lama kita bersekolah, logika apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya? Senyatanya, tahap­an-tahapan sekolah dan orientasi yang dibangunnya tidak akan bisa mengeluarkan diri kita dari logika ma­terialisme. Dari pembahasan di depan telah kita sa­dari, selama materi bagi kita masih menjadi pusat orien­tasi—meski itu berlabel Islam—sangat mudah kita ter­pele­set menjadi seorang kapitalis (setidaknya kor­ban kapi­talis).[25] Ini tidak hanya berkaitan dengan iklim usa­ha, tapi juga iklim berkeluarga bahkan dalam ri­tual ke­aga­­maan. Meski kita menjalankan peribadatan Islam, bisa jadi tanpa sadar kita sudah tidak lagi dalam bing­kai Is­lam, tetapi telah menjadi bagian dari sistem kapi­talisme.[26] Kita ibarat tanpa sadar menjadi Abû Jahal yang bangga menggunakan baju ‘Umar bin Khaththâb. Sebagai contoh adalah pelaksanaan zakat (mâl) yang sudah kita bahas di depan.

Dalam Islam, perspektif makrifat dibangun dengan sebuah logika (penulis menyebutnya) pos-materialisme yang berangkat dari cara Ibrahim menemukan Tuhan. Dari ukuran-ukuran empiris-materialis yang disimbol­kan bahwa Tuhan itu “paling besar” dan “paling te­rang”, sampai pada ukuran baru yaitu interaksi kese­mua itu (logika pos-materialisme: Tuhanku adalah yang menciptakan langit dan bumi), dapat dipahami alur ber­pikir Ibrahim. Pemahaman alur ini penting, sebab posisi Ibrahim cukup sentral dalam sejarah kenabian. Ibrahim merupakan salah satu dari dua orang yang di­­­sebutkan dalam al-Qur’ân sebagai suri tauladan (us­wah). Karena itu logika yang dikembangkan dalam perspektif makrifat ini sesungguhnya adalah logika seorang uswah.

Tuhan tidak pernah menjamin sebuah kepemilikan materi (seperti halnya Bank Islam yang berbentuk badan dan Negara Islam yang hanya dalam wujud materinya) akan mampu menyejahterakan umat manusia. Kese­jah­teraan akan dicapai dalam Islam jika realisasi ga­gasan takwa (secara teologis) dapat diimplementasikan pada gagasan keadil­an. Dalam logika di atas, materi adalah alat untuk menunjuk Tuhan (atau bisa disebut ayat-ayat Tuhan).

Di tingkat aplikasi berarti setiap peraihan materi adalah dalam rangka menunjuk Tuhan sebagai pemilik segala kesempurnaan. Itulah gagasan ketakwaan yang harus dimanifestasikan menjadi Keadilan secara universal di muka bumi.

Untuk itulah, perspektif makrifat yang memiliki concern terhadap interaksi antar materi bertujuan untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Kecenderungan yang selalu melihat pada interaksi ini memudahkan un­tuk membuat ukuran pada setiap objek yang dilihat. Se­bab, dalam pengertian yang luas keadilan terasa sa­ngat bias dan memiliki cabang-cabang yang bisa disa­lah­artikan atau dipalsukan dengan statistik.[27] Dan da­lam interaksi menuju keadilan itulah beberapa simbol dalam Islam harus ditafsirkan.

d. Bergerak dalam Sejarah

Banyak perintah dan larangan dalam Islam memi­liki konteks transformasi dari polytheism masyarakat Jahiliyah menuju masyarakat monoteistik di bawah ke­pemimpinan nabi. Dan menurut para pemikir modern —yang ini juga harus kita pertanyakan ulang—ia me­mer­lukan kontekstualisasi agar sampai pada gagasan Islam yang sesung­guhnya. Sebab bagaimanapun juga para mufassir dan ahli fiqh yang menafsirkan berbagai ayat al-Qur’ân itu berada dalam suatu konteks ma­sya­­ra­kat tertentu yang memiliki konteks yang berbeda pada masyarakat sekarang.

Menurut saya, praktik keberislaman seseorang ada­lah sebuah upaya melakukan dekodifikasi dari berbagai kodifikasi yang dilakukan nabi untuk menjawab ber­bagai problematika masyarakat kekinian. Dengan me­nangkap inti dari semangat Islam, maka dekodifikasi me­rupakan satu kerja konkret untuk membangun sis­tem yang utuh. Dan kalau segala upaya itu mewujud men­jadi sebuah bangunan material, maka ia haruslah di­pandang sebagai sebuah produk historis saja bukan produk teologis. Demikian itu agar segala produk dari kerja keberislaman tidak bisa ditunggangi oleh kepen­tingan kapitalisme. Setidaknya kepentingan itu tidak bisa dijustifikasi dengan argumentasi teologis dan bila memang tidak kontekstual lagi, bangunan itu mu­dah di­kritisi oleh kaum muslimin tanpa risiko dikafirkan. Dan hal itu, akan bisa menjamin etos pergerakan Islam yang produktif dalam sejarah yang dinamis.

Dalam upaya melakukan dekodifikasi tersebut, ada satu hal yang cukup baik bila direnungkan dalam kait­annya dengan perempuan—mayoritas penduduk du­nia kini. Selama ini kaum perempuan dijadikan target pasar yang potensial bagi kaum kapitalis. Melalui ki­nerja kebudayaan yang meliputi segala sendi kehi­dup­an, lahirlah satu “mitos kecantikan” yang ujung-ujung­nya memaksa kaum perempuan untuk mengkon­sumsi produk kapitalis. Dengan segala teror81 yang di­buat, ba­nyak kaum perempuan yang tidak bisa keluar dari ke­harusan mengkonsumsi barang para kapitalis ini. Da­lam hal ini sesungguhnya Islam memiliki banyak ins­trumen untuk melindungi eksploitasi di atas. Con­tohnya Jilbab, suatu perangkat yang bisa melindungi berbagai eksploitasi (interaksi yang tidak adil) dari kaum ka­pitalis. Namun sekali lagi perlu diingat, bahwa yang di­serang dalam kapitalisme itu adalah gaya hidup. Bisa saja kita memakai jilbab sehingga tidak lagi harus me­mamerkan berbagai perhiasan produk kaum kapitalis, namun serangan itu bisa masuk lewat mode jilbab apa yang kita pakai. Sedemikian rupa sehingga tidak masa­lah bagi kaum kapitalis seseorang memakai jilbab atau tidak, yang paling penting bisa tidak ia dieksploitasi. Sama halnya dengan tidak peduli seseorang puasa atau tidak, yang paling penting bisa tidak ia dieksploitasi.

Kita bisa lihat, puasa yang sesungguhnya meng­arah pada kehidupan zuhud dan qana‘ah tetapi kenyata­annya disemarakkan dengan iklim konsumtivisme. Ber­bagai peribadatan di dalam Islam sangat bisa diguna­kan oleh kapitalisme untuk memperbesar dirinya. Ke­nyataan seperti ini mengharuskan kita untuk mema­hami hakikat peribadatan dalam Islam secara lebih baik. Dan di situlah letak pentingnya perspektif makrifat dalam berbagai interaksi yang terjadi.

Dengan perspektif makrifat, kita akan tahu bahwa orang seperti Marsinah yang secara fisik tidak (atau belum) berjilbab sesungguhnya telah mengambil peran jilbab dalam kehidupannya sehari-hari. Ia berusaha dengan sekuat tenaga—bahkan sampai mengorbankan nyawanya—untuk melindungi kaum yang lemah dan potensial dizalimi. Barangkali secara individu ia belum berjilbab, tetapi secara sosial ia telah menggunakan hakikat jilbab dalam kehidupan nyata.

[1] Makalah ini ditulis untuk diskusi MASA DEPAN KEMANUSIAAN DI HADAPAN PASAR yang diadakan oleh HMI MPO Cab. Yogyakarta Barat di Fisipol UGM tanggal 20 Desember 2003

[2] Penulis adalah Pimpinan Langgar Padepokan Syekh Siti Jenar dan Direktur Penerbit Kreasi Wacana

[3] Hadits ini menyiratkan dua kekuatan besar yang mampu mengendalikan sejarah, yaitu masjid (agama atau spiritualitas) dan pasar (baik dalam bingkai sosialis,e maupun kapitalisme yang berdasarkan materialisme)

[4] Kasus ini mengingatkan keadaan ketika teman-teman HMI MPO menggelar demontrasi LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Bunderan UGM menggugat “Plesetan al-Fatihah” ala Harmoko. Saya yang ditunjuk menjadi Korlap, membuka demontrasi dengan pertanyaan: “Saudara-saudara. Menurut anda, apakah permaafan MUI pada Harmoko itu mewakili umat atau tidak?” Secara serempak massa menjawab, “tidak!”. Ya, memang tidak karena di dalam Islam kita tidak mengenal sistem kerahiban.

[5] Peter L. Berger, 1985, Piramida Kurban Manusia, LP3ES, Jakarta

[6] Louis A. Sass, Madness and Modernism, Basic Book, New York: 1992.

[7] Istilah yang dipakai untuk menamai para perancang ekonomi Orde Baru yang kebanyakan lulusan Berkeley.

[8] Penulis tidak menghendaki banyak kaum muslimin yang kemudian keluar sekolah dengan kesadaran ini. Ada harapan munculnya Musa yang menghasilkan naga (ular besar) yang akan memakan ilmu dari penyihir (yaitu para ilmuwan sosial) itu sehingga mereka beriman.

[9] Edward W. Said, Culture and Imperialisme, Alfred A. Knop, New York, 1993.

[10] Featherstone, Consumer Culture and Postmodernism, Sage Publication, London, 1991. (Terjemahan edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dengan judul: Budaya Konsumen dan Post­modernisme).

[11] Semoga mereka memang beriman di hadapan Tuhan, bukan hanya di hadapan manusia

[12] Dalam bahasa agama itu berarti syukur. Sering ada suatu produk yang sangat kita butuhkan dan kita harus membelinya, yang demikian barangkali bukan bagian dari interaksi kapitalistik. Tetapi bila sampai level tertentu pertimbangan kita—misalnya harus ganti alat—hanya karena sudah out of mode maka secara tidak sadar kita sudah menjejak gerbang fondasi kapitalisme. Interaksi kapitalistik lebih jauh ditandai dengan motif terhadap barang yang kita inginkan apakah fungsinya atau pertimbangan status di luar fungsi.

[13] James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperalisme Abad 21, terj. Agung Prihantoro, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.

[14] Ini mengingatkan saya pada Musa yang lahir dari ibu yang tulus dan dibesarkan dalam timangan Fir’aun

[15] Dalam hal ini penulis selalu menegaskan bahwa yang harus dilawan sesungguhnya adalah semangat eksploitatif dari kapitalisme.

[16] Kasus tuduhan yang membabi buta dalam kasus terorisme hanyalah salah satu contoh ketidakmampuan negara menghindari tekanan kapitalisme global. Bahkan, menurut Joseph Hanlon dalam bukunya Warisan Hutang rezim Diktator, PIRAC dan Insist Press, Yogyakarta, 2000, bila melihat fenomena pinjaman IMF maka akan terlihat banyak sekali rezim otoriter—yang tak melindungi warganya—justru dimodali dengan utang oleh IMF.

[17] Di sinilah kita bisa memahami kenyataan beberapa Raja yang bisa menghasilkan karya sastra yang hebat, karena memang ia tak memiliki pekerjaan. Semua kerjaan pemerintahan telah dilakukan oleh Patih (yang berfungsi mirip Perdana Menteri sekarang ini.

[18] Imam Yudotomo dalam Muhidin M. Dahlan, Sosialisme Relijius, Suatu Jalan Keempat?, Cetakan IV, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.

[19] Ignas Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001.

[20] Sayang banyak kalangan Islam tidak mengelaborasikan gagasan ini menjadi suatu wacana yang membawa pada aksi historis. Mereka menolak embel-embel revolusioner atau kiri di belakang Islam dengan menggunakan bahwa Islam itu satu, itu benar dalam konsepsi tapi kurang proporsional secara akademis. “Kalau ada Islam kiri, nanti ada Islam kanan, Islam Romantis, Islam seksual”, begitu kata mereka. Penjelasan itu indah sebagai retorika, tapi se­sungguhnya memutus rantai Islam dalam membaca konteks ke­sejarahan dan menutup peluang orang Islam belajar dari penga­laman sejarah ideologi lain.

[21] Blunder itu berupa ketidakmampuan Sosialisme memberikan for­mat ideal yang riil bagi tatanan masyarakat (bukan sekedar kritik atau utopia) dan kemustahilan kapitalisme untuk adil. siap—maka ada kewajiban moral dari kaum majikan untuk mem­beri fasilitas yang memadai (sebab ia adalah amanat) dan dalam batas tertentu memerdekakannya (memberinya modal untuk mandiri). Namun, setidaknya sebagaimana dilakukan oleh seba­gian kaum sosialis yaitu dengan tuntutan berbagai fasilitas kese­jahteraan buruh. Pemberian fasilitas seperti ini adalah bentuk pen­distribusian keuntungan dari nilai tambah yang didapatkan oleh kaum majikan.

[22] Yang ditolak dari kapitalisme, bukan produknya melainkan semangat eksploitatif dari kapitalismr yang tidak adil. Maka perjuangan sesungguhnya adalah perjuangan melawan eksploitasi kapitalisme dan bukan “baju-bajunyya”.

[23] Saya pernah melakukan uji coba membangun kepemilikan kolektif alat produksi tetapi itu justru melemahkan etos kerja saya karena semangat yang dimiliki kadang tidak sebanding dengan mitra saya. Di samping itu, begitu mudahnya mitra saya bekerja sama dengan orang yang “ngemplang” utang pada usaha bersama itu tanpa ikut berusaha menagihnya. Bagi mitra saya itu, usaha ini dianggap sambilan, sedang bagi saya ini masalah hidup dan mati. Tetapi mungkin hal itu bisa dikreasikan dalam bentuk pemilikan saham (meskipun lembaga teman saya yang mengemukakan ide ini gagal melakukannya, terpecah-pecah karena masalah kepe­milikan ini).

[24] Perspektif makrifat adalah sebuah gagasan lama yang dulu di­kibarkan oleh para sufi yang nampaknya bisa kita gunakan lebih jauh untuk menangkap fenomena krisis sebagai ayat-ayat Tuhan. Dengan demikian iqra’ kita jadi lurus sampai qum fa-andzir (keluar dari hegemoni lalu membangun gerakan kritis). Dengan landasan itu, kami—saya dengan beberapa teman—mendirikan Langgar Padepokan Syekh Siti Jenar dan insya Allah akan kami integrasikan dalam Pesantren Kerja Kalijaga.

[25] Sering kita bisa keluar dari materialisme yang satu, tetapi untuk masuk pada materialisme yang lain. Pemilihan jodoh (dalam si­netron) bisa jadi merupakan contohnya. Banyak tokoh disajikan menolak perkawinan karena harta-benda, tetapi (meski tidak disebut secara verbal) memilih pasangan yang secara materi me­miliki wajah menarik (baca buku lainnya karya penulis: Rekayasa Sosial lewat Malam Pertama). Pengalaman kaum sosialis, mereka menolak dehumanisasi dalam cara produksi kapitalisme tetapi pada level tertentu ketika mereka telah berada dalam posisi manager mereka menjadi enjoy.

[26] Kapitalisme mengandung dua hal, ideologi dan praktik. Praktik ka­pi­talisme bukan berujud jual beli, tentu yang demikian tidak ada masalah. Tapi yang sesungguhnya berbahaya dalam kapi­talisme adalah praktik-praktiknya yang seakan-akan biasa tetapi justru merupakan sistem penghisapan.

[27] Dalam pengertian ini, perspektif makrifat tentu lebih menekankan penelitiannya pada pendekatan kualitatif dan partisipatoris ke­timbang observasi kuantitatif. Hal ini sejalan dengan kecende­rungan kaum sufi yang meletakkan diri sebagai penempuh jalan rohani, bukan sebagai pengamat jalan rohani.

Cerbound Tempoe Doeloe

stasiun kejaksan:
Pasar Pagi:














kresidenan:

Pelabuhan:

Filosofi Topeng Cirebon

SUDAH lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)?

Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.

Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.

Di zaman mana?

Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.

Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.

Mengandung semua sifat ciptaan

Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling bertentangan.

Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Dari: Pikiran Rakyat, Kamis, 29 Januari 2004