SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Sabtu, 22 Januari 2011

Cinta dalam Tinjauan Analisis Interaksi Simbolik

Cinta dalam Tinjauan Analisis Interaksi Simbolik

Oleh: Bambang Wibiono

Fenomena remaja soal cinta sudah bukan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan dalam ruang-ruang publik. Ini sudah bukan lagi jaman Siti Nurbaya yang mengharuskan adanya tembok-tembok tabu yang membatasi perbincangan seputar cinta. Tak heran juga ketika berpacaran menjadi hal yang wajar. Bahkan saat ini menjadi sebuah ketidakwajaran apabila ada orang yang tidak pernah mengenal cinta di masa remaja. Dalam tulisan kali ini saya mencoba membahas fenomena seputar kehidupan remaja, khususnya tentang percintaan remaja dengan menggunakan analisis interaksi simbolik.

Ketika remaja mulai tertarik dengan lawan jenis, tentu bermacam sikap atau reaksi yang ditunjukkannya. Ada yang dengan agresif menujukkan rasa ketertarikannya, namun ada pula yang dengan jurus diam seribu bahasanya. Dengan berbagai kondisi yang ditunjukkan ini menimbulkan makna cinta yang bermacam-macam sesuai pengalaman subyektif dari masing-masing individu.

Berdasarkan pandangan interaksi simbolik, persoalan mengenai kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak dapat diabaikan dari sebuah jalinan interaksi sosial yang menopangnya. Bagaimanapun, sebuah kehidupan sosial atau sebuah masyarakat terbentuk dan terpelihara, sesungguhnya menyiratkan kerja-kerja individual manusia yang secara sosial terlibat dalam proses pembentukan realitas di luar dirinya. Begitupun halnya dengan makna cinta dalam kehidupan remaja.

Individu-individu yang beranekaragam dalam melakukan aktivitas secara kolektif (sosial), tentunya meniscayakan adanya pertukaran simbol. Sementara simbol itu sendiri sarat dengan muatan makna. Oleh karena itu, setiap individu pada dasarnya senantiasa melakukan proses pendefinisian situasi, menafsirkan realitas di luar dirinya yang penuh dengan simbol. Misalnya ketika seorang remaja hendak menyampaikan rasa cinta yang ia miliki kepada orang lain, ini melalui proses interaksi simbolik.

Ketika seseorang memaknai perasaannya bahwa ia cinta pada seseorang, makna itu bersifat arbitrer atau sembarang. Makna cinta itu hanya pada pikirannya saja. Yang perlu dicatat adalah bahwa makna dari simbol “cinta” yang perlu diinteraksikan kepada pihak lain itu memerlukan pemahaman makna bersama. Begitupun saat seorang individu merasakan bahwa orang yang dia cinta itu memberikan respon berupa simbol yang ia yakini sebagai makna “cinta” terhadapnya, pada dasarnya itu pun belum dapat dikatakan keduanya punya satu persepsi atau kesepahaman tentang “cinta” yang ia sampaikan.

Sebuah makna simbol dapat diinterpretasikan perdasarkan penilaian orang lain. Namun jika simbol itu ingin disampaikan pada orang yang kita anggap menyampaikan makna yang sama pada kita, maka kita pun harus mengkomunikasikannya. Jadi makana “aku cinta” harus di sampaikan secara bahasa, tidak hanya ditampilakan menggunakan simbol-simbol non verbal semata. Kesimpulannya jika seseorang ingin agar perasaan cintanya diterima dan diketahui oleh orang lain, maka dia harus menyampaikannya secara langsung agar makna tersebut tidak hanya makna subjektif, namun telah menjadi makna sosial.

Berbincang tentang Cinta dan Konsep Keimanan

Oleh: Bambang Wibiono

Saya menulis tentang topik ini berawal dari pengalaman, penuturan atau kisah-kisah orang serta renungan terhadap pengalaman tentang percintaannya. Setelah dipikir, ternyata ada kesamaan antara konsep cinta sesama manusia dengan konsep keyakinan terhadap Tuhan. Meskipun konteks dimensi yang berbeda antara manusia (yang terbatas ruang dan waktu) dan Tuhan (yang tak terbatas ruang dan waktu), namun pada taraf tertentu dapat disamakan. Persoalan keyakinan dan juga cinta kasih adalah persoalan perasaan yang sulit diukur dengan ukuran kasat mata atau ukuran inderawi.

Ikrar sebagai Pernyataan tentang Perasaan

Dalam proses percintaan manusia atau dalam bahasa gaulnya adalah pacaran, sebenarnya mirip dengan proses keyakinan kita kepada Allah sebagai Tuhan kita. Soal cinta dan kasih sayang bukan persoalan ucapan lewat kata-kata semata. Misalnya ketika seseorang jatuh cinta pada lawan jenis, tentu akan mengungkapkannya lewat kata “aku cinta kamu”, “aku suka kamu”, atau “aku sayang kamu”. Pada dasarnya lafadz cinta itu sama halnya dengan lafadz syahadat ketika kita meyakini Allah Tuhan kita, yaitu “laa illa ha ilallah” (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah). Pada taraf ini, kedua lafadz atau kalimat itu bisa disamakan kedudukannya sebagai pernyataan atau ikrar kita.

Persoalan sebenarnya adalah bukan pada lafadz atau ikrar yang diucapkan, tetapi ada pada hati dan perasaan kita seberapa jauh meyakininya. Cinta dan begitu juga dengan keyakinan tentang Ketuhanan tidak hanya bisa diukur dengan sebuah ikrar atau perkataan semata. Meskipun ikrar atau ucapan itu bisa dijadikan tolak ukur yang disaksikan orang lain sebagai tanda pernyataan kesaksian kita. Namun lebih dari itu, sesungguhnya keyakinan ada pada perasaan individu itu sendiri.

Lamanya proses jatuh cinta bisa bermacam-macam. Mungkin ada yang dalam waktu cepat seseorang merasakan cinta karena pengalaman batin atau spiritual tertentu yang akhirnya meyakinkan hatinya. Tetapi ada juga yang melalui proses dan pencarian yang cukup lama. Begitupun dengan keimanan. Ada yang sampai memerlukan hampir seluruh usianya untuk dapat meyakini keimanannya, namun ada juga yang dalam waktu singkat.

Persoalan perasaan ini tidak dapat dipaksakan pada seseorang. Semuanya harus berdasarkan kesadaran dan keyakinannya sendiri. Pada kasus lain, misalnya kita dapat memaksakan seseorang untuk meminum air yang kita berikan walaupun dia tidak mau. Namun jika cinta dan keyakinan berTuhan tidak bisa dipaksakan. Meskipun secara lisan kita bisa berucap cinta atau syahadat, namun itu belum bisa menjamin. Bisa saja kita seribu kali kita berikrar, namun jika tidak diyakini dalam hati dan perbuatan, sama saja bohong besar.

Pedekate

Pada tahap selanjutnya, ketika kita menyukai lawan jenis, tentu kita akan mencari tahu apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya, kebiasaannya, dan lain sebagainya untuk dapat menarik perhatiannya. Begitu juga dengan keber-Tuhanan kita. Ketika kita sudah berikrar bahwa kita mengakui Allah Tuhan kita yang Esa, maka kita harus menjalankan semua yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang tidak disukainya atau yg dilarangnya. Sebuah konsekuensi logis dari ini adalah bahwa syariat harus dijalankan oleh manusia yang telah menyatakan diri bertuhan kepada Allah yang Esa (beriman).

Semakin kita meyakini perasaan cinta kita, maka akan semakin berkorban untuk si “Dia”, betapapun beratnya dan rintangan yang ada akan diterjang.

Misalkan ketika kita jatuh cinta pada seseorang, tentu hal yang akan dilakukan adalah mendekatinya dengan cara sering berkunjung ke rumahnya untuk menemui si doi, atau dalam bahasa gaulnya ngapel, mengajak jalan-jalan, makan bareng, sering berkomunikasi dan lain sebagainya yang akan membuat kedekatan hubungan. Begitu halnya dengan kecintaan kita kepada Allah. Untuk dapat menarik perhatian-Nya kepada kita, tentu kita harus menjalankan apa yang diperintahkannya, tidak hanya yang sifatnya fardu atau wajib, tetapi juga sebisa mungkin melaksanakan hal-hal yang disunahkan. Dengan cara ini maka Allah akan semakin memperhatikan karena kesungguhan kita.

Inrelationship (Berpacaran)

Pada tahap selanjutnya, ketika kita telah mendapatkan hati si doi, tentu dia akan menerima kita apa adanya. Karena cinta adalah soal perasaan di dalam hati, maka cinta akan menegasikan faktor inderawi atau yang berorientasi pada apa yang terlihat, seperti wujud fisik. Kata banyak orang, cinta itu buta dan tidak memakai mata, tetapi menggunakan hati.

Ketika dia telah menerima cinta kita, proses yang dilakukan pada saat pedekate masih dilakukan. Namun perbedaannya adalah, jika dulu kita harus benar-benar berkorban untuk si dia, sekarang beban kita sedikit lebih ringan. Karena dia pun akan menaruh perhatian pada kita. Kadang dia pun akan memberi tanpa kita harus memintanya. Jika pada awal selalu kita yang membayari makan dan jalan-jalan, sekarang dia siap berbagi bahkan bukan tidak mungkin kadang dia yang mentraktir kita.

Saat kita telah mendapatkan cinta Allah, maka apa yang kita inginkan tentu akan dikabulkannya. Bahkan tanpa kita meminta Dia akan memberinya, karena Dia mengetahui isi hati kita. Bahkan pada taraf tertentu, mungkin Allah akan mengampuni dan memaklumi kita ketika ada kewajiban kita yang lupa tidak dilaksanakan. Begitu juga dengan berpacaran. Saat kita lupa penuhi janji ngapel malam minggu, atau lupa untuk menelpon, lupa membalas sms, tentu si doi akan memaafkannya asal dengan alasan yang sungguh-sungguh.

Ma’rifatullah

Pada tahap yang lebih tinggi, proses-proses yang telah disebutkan tadi hampir tidak diperlukan lagi. Pada tahap ini kedua pihak sudah benar-benar satu hati. Apa yang dilakukan untuk pasangannya sudah tidak lagi mempertimbangkan untung rugi dan motif lainnya. Keduanya saling mengisi dan saling mendukung. Apa yang menjadi milik dia adalah milik kita juga, begitupun sebaliknya. Hubungan pada tahap ini adalah hubungan yang intim, dan sudah melalui jenjang pernikahan. Apa yang sebelumnya dilarang untuk dilakukan, menjadi diperbolehkan. Proses pedekate, ngapel, ngedate, sudah tidak diperlukan lagi, sebab mereka tinggal dalam satu atap dan segalanya menjadi tanggungjawab bersama dalam mengarungi kehidupan berkeluarga.

Dalam hubungan keTuhanan, ini sudah mencapai pada taraf ma’rifat atau bahkan insan kamil. Dalam bahasa sufi, manusia yang telah mencapai tingkatan ini akan manunggaling kawula gusti atau menyatunya “wujud” Tuhan dengan hambanya. Sehingga ada yang berpendapat bahwa ketika telah mencapai tahap ini, syariat tentang tata cara beribadah menjadi tidak penting untuk dilaksanakan. Semua yang dilakukannya dianggap sebagai kehendak atau perilaku Tuhan.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam semua proses yang telah disebutkan itu, adalah HINDARI PENGHIANATAN!! Ketika kita berikrar dan meyakininya dengan sepenuh hati bahwa tiada yang lain selain dia, maka kita tidak diperbolehkan mendua. Karena ini merupakan kesalahan terbesar dalam proses berhubungan, baik itu hablumminallah maupun hablum minannas. Tidak heran jika dalam kehidupan beragama, khususnya Islam, bahwa dosa terbesar adalah menyekutukan Allah atau dalam bahasa manusianya adalah mendua atau selingkuh, mengakui ada yang lain selain Dia. Tetapi mungkin, pada kondisi tertentu, karena kekhilafan kita, perbuatan ini bisa dimaafkan asalakan kita sungguh-sungguh bertobat dan kembali meng-Esakan Allah.

Itulah beberapa aspek persamaan yang bisa saya sampaikan terkait hubungan kita dengan manusia dan juga hubungan kita kepada Allah. Semua argumen yang disampaikan adalah sepenuhnya berdasarkan ijtihad penulis sendiri yang mungkin bersifat subjektif, dan masih kurang memahami ilmunya, sehingga masih menyisakan ruang dialektika bagi kita.

Wallahu’alam bissawab

Diskriminasi Perempuan dalam Kesempatan Pendidikan

oleh: Bambang wibiono

Udara pagi masih menyelimuti daerah lereng gunung Slamet. Berjejer perempuan-perempuan berusia belasan tahun mengendarai sepeda. Dengan santai mereka melewati jalan desa dengan tujuan ke tempat mereka bekerja, yaitu di pabrik-pabrik yang ada di kota. Saat senja tiba, mereka kembali berduyun-duyun kembali ke rumah mereka masing-masing.

Kondisi itu mungkin juga terjadi di beberapa daerah di tanah air ini. Jika melihat usianya, mereka lebih pantas bersama teman-temannya berangkat ke sekolah menimba ilmu. Tetapi entah mengapa perempuan seusianya sudah bergelut dengan kerasnya hidup dan dunia kerja.

Ternyata tidak sedikit perempuan yang masih berusia sekolah “terpaksa” harus bekerja, baik itu sebagai pelayan toko maupun buruh pabrik. Dengan alasan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, memaksa orang tua menyuruh anak prempuannya bekerja untuk menambah ekonomi keluarga. Dalam keadaan demikian, pihak orang tua lebih rela mengorbankan anak perempuannya untuk bekerja membantu orang tua, sedangkan anak laki-lakinya tetap melanjutkan sekolah. Laki-laki dipandang lebih penting dalam mencari ilmu, sebab kelak kaum laki-laki yang akan menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tetap akan menjadi ibu rumah tangga. Dari anggapan ini, pendidikan tinggi dirasa kurang begitu perlu bagi kaum perempuan.

Pandangan seperti inilah yang terlihat tidak adil bagi salah satu pihak, khusunya pihak perempuan. Mereka mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh pendidikan. Di samping itu mereka dieksploitasi untuk bekerja membantu orang tua, padahal seumuran mereka seharusnya masih menikmati masa anak-anak atau masa remaja mereka.

Diskriminasi Gender dan Hak Asasi

Ketidakadilan menjadi akar permasalahan dalam kehidupan. Sejarah manusia pun selalu dihiasi oleh permasalahan ini. Pada awalnya, permasalahan gender akibat dari adanya ketimpangan atau ketidakadilan yang dialami oleh manusia yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin, baik itu dari segi peran sosial maupun segi biologis. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (patriarki). Biasanya perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan sosial ini. Kaum perempuan dianggap sebagai kelompok inferior setelah laki-laki. Anggapan ini dibangun dari konstruksi sosial melalui pranata yang ada dalam masyarakat.

Berabad-abad konstruksi sosial mengenai peranan yang melekat pada perempuan dibentuk. Bahkan sosialisasi ini dilakukan sejak kita kecil. Sehingga tanpa kita sadari, peranan yang diberikan masyarakat pada setiap jenis kelamin seolah menjadi sebuah kodrat dan tabu untuk dipertentangkan, apalagi diubah.

Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai gender masih tidak jelas. Ada yang beranggapan bahwa gender merupakan peran yang dimiliki manusia berdasarkan jenis kelamin. Sehingga peran antara perempuan dan laki-laki tentu akan berbeda. Dari pemahaman ini juga timbul anggapan bahwa laki-laki memiliki peran yang eksklusif dibandingkan perempuan. Akibatnya perempuan manjadi kelompok yang terpinggirkan (subaltern) yang selalu tidak mampu memperoleh akses dalam ruang publik. Sebab, masyarakat menilai bahwa peran perempuan adalah di rumah.

Contoh dari ketidakadilan gender adalah adanya konsep pembagian peran yang mengatakan peran perempuan tempatnya di rumah (domestik), sementara peran pria di luar rumah (publik). Menurut kaum feminis, pembagian peran seperti itu sekedar konstruksi sosial yang tidak berkaitan sedikitpun dengan fisik (jenis kelamin). Perempuan dinilai sebagai “kelas kedua” di bawah laki-laki. Mereka sering mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam keluarga sehingga menghambat akses perempuan dalam ruang publik.

Setiap orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak memiliki haknya masing-masing yang tidak selayaknya untuk dirampas begitu saja. Begitupun para anak perempuan yang dipaksa bekerja. Hak mereka untuk bersekolah dan menuntut ilmu serta menikmati masa-masa remaja mereka tidak seharusnya diisi oleh kegiatan-kegiatan yang hanya akan menyita waktu dan perhatian mereka tehadap kondisi keuangan keluarga yang seharusnya itu menjadi beban dan tanggungan orang tua mereka.

Diskriminasi dan Kesempatan Pendidikan

Seringkali perempuan dinomorduakan dalam keluarga, misalnya dalam hal pendidikan. Bagi keluarga yang ekonominya lemah, tentu akan berdampak pada nasib perempuan. Ketika kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan, pihak orang tua akan lebih mendahulukan anak laki-lakinya untuk melanjutkan sekolah daripada anak perempuannya. Kaum laki-laki dianggap kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, sehingga pendidikan lebih diutamakan untuk mendukung perannya. Sedangkan perempuan dianggap hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang bekerja di dalam rumah untuk mengurus anak, suami, dan rumahnya. Dari pandangan ini, maka dinilai pendidikan tinggi tidak begitu penting bagi kaum perempuan.

Sebenarnya anggapan seperti itu tidak selalu benar. Bagaimana seandainya kondisi menuntut dibutuhkannya sebuah peran perempuan untuk mempimpin rumah tangga dan mencari nafkah bagi keluarganya? Jika perempuan tidak memiliki kualitas pendikan yang memadai, maka dapat dipastikan perempuan tidak dapat menjalankan perannya untuk menggantikan peran laki-laki dalam keluarga. Dia akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, perempuan juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan guna mengantisipasi kondisi demikian.

Legitimasi Agama

Persoalan ketidakadilan gender ini terkadang dilegitimasi oleh agama. Pemahaman yang tidak secara menyeluruh dari sebagian besar masyarakat, mengakibatkan seolah agama memberikan legitimasi mengenai peran dan posisi perempuan yang inferior. Misalnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam dalam sholat, perempuan lebih dianjurkan sholat di rumah ketimbang di masjid, istri dilarang keluar-keluar rumah dengan bebas ketika tidak ada suami, dan lain sebagainya. Dari alasan ini, dinilai perempuan memang inferior dan tempatnya di ranah privat. Padahal Islam memberi penjelasan bahwa perempuan memiliki hak yang seimbang dengan laki-laki seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut:

“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqoroh: 225).

Islam tidak mengajarkan tentang penindasan. Begitupun hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Islam mengajarkan kepada kaum laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik, seperti yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik” (Surat An-Nisa: 19)

Dr. Ahmad Muhammad Jamal dalam bukunya Problematika Muslimah di Era Globalisasi (1995), menjelaskan bahwa Islam menyamakan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan baik hak maupun kewajibannya. Islam menetapkan agar laki-laki menyangga tugas mencari nafkah, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Sedangkan perempuan berperan sebagai penenang suami, bersama-sama suami sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak serta membina etika keluarga.

Dari peranan yang dilabelkan pada perempuan memberikan penafsiran bahwa perempuan adalah sebagai pilar penerus peradaban. Tanpa adanya fungsi alami dari perempuan sebagai “mesin produksi” generasi penerus peradaban, dunia ini akan musnah tanpa regenerasi. Sungguh besar jasa atau peran perempuan—secara tidak langsung—dalam ruang publik, sebab kemajuan peradaban adalah karena peran seorang perempuan (ibu) sebagai pendidik.

Seandainya dunia ini bisa hidup layaknya manusia, tentu dia akan bersujud di kaki perempuan, karena kelangsungan, kemakmuran, dan kemajuan dunia ditentukan oleh seberapa besar perempuan menjalankan perannya. Oleh karena itu, perempuan juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama dalam akses pendidikan agar mereka mampu melahirkan generasi-generasi penerus peradaban yang berkualitas.