SELAMAT DATANG

selamat datang di blog ini. Semoga dapat bermanfaat

Rabu, 06 Oktober 2010

Tidak Ada "nol Pengetahuan"*

Beberapa hari yang lalu temanku yg bernama Zamzam Muhammad Fuad menulis notes dalam facebook dan menge-tag ku. Aku kira tulisannya cukup bagus sebagai bahan renungan dan kajian. Untuk itu aku sengaja menyalinnya dan memposting kembali di blog ku ini. begini tulisannya


Sejak dahulu, perihal nol pengetahuan memang telah jadi perdebatan filosofis. Descartes berusaha menyangsikan seluruh pengetahuan purba-nya, guna mendapat ilmu pengetahuan murni (atau baru?). Karl Popper mengutuk metode berpikir deduksi. Geertz mengaplikasikan dalam metode grounded. Paling tidak, mereka ini adalah orang yang meniscayakan bahwa kegiatan berfikir sangat mungkin berawal dari nol.

Namun di ruang yang jauh, keadaannya jadi jomplang. Edward Said membuktikan bahwa intelektualisme hanyalah repetisi. Menurut Said, footnote, daftar pustaka yang berserakan menjadi bukti. Kalau tidak ada footnote atau daftar pustaka bukan berarti sebuah karangan dapat dibenarkan orisinalitasnya. Ortodoxy, dogma, hipotesa, asumsi, akan membuntuti pengarang untuk memandu setiap intelektualisme-nya. Simon Philpot dengan cantik mengkontekstualisasikan tesis ini pada diskursus politik Indonesia. Pengetahuan tidak hanya menular lewat buku saja. Novelis Ayu Utami pernah mengutarakan: ilmu pengetahuan manusia bisa ditularkan lewat darah, gnosis sanguinis. Seorang Psikoanalis Prancis, Jacques Lacan menyarankan: tidak ada subjek yang betul-betul mandiri. Perkembangan subjek terjerembab dalam mirror stage, dimana, tanpa sadar, subjek akan terus menjadi subjek-subjek yang lain. Tokoh-tokoh yang saya catat di atas, adalah segolongan orang yang anti-orisinalitas. Mereka agaknya percaya pada peribahasa dari Yunani:Tidak ada yang baru di bawah matahari.

Tanya kenapa, kenapa tanya

Malu bertanya sesat di jalan. Seingat saya, jika ingatan saya belum samar, peribahasa ini mulai di internalisasi sejak bangku sekolah dasar. Terlukis besar pada dinding, di samping imam bonjol mengendarai kuda. Kemudian hari baru saya sadari, ”tanya”, memiliki bermacam kategori yang sungguh problematik.

Tanya merupakan penanda bahwa manusia makhluk berfikir. Kemampuan bertanya adalah bukti bahwa kita eksis sebagai manusia. Tidak mungkin ada ”manusia” tanpa diawali dengan pertanyaan ”siapa saya?”. Kalau tidak percaya bahwa segala sesuatu bermula dari pertanyaan, sekarang saya tanya: adakah pengetahuan tentang sesuatu tanpa disertai pertanyaan terlebih dahulu?

Sebegitu pentingnya ”bertanya”, hingga guru/dosen tidak bosan bertanya: ”siapa yang mau bertanya”/”adakah yang ingin ditanyakan”? Kemampuan bertanya adalah harta yang mesti dibangkitkan, dipelihara, dan pada kesempatan ini, ”bertanya” akan saya pertanyakan.

Bertanya, pernah dijadikan Sokrates sebagai berhala. Bertanya adalah selera. Dia berkeliling lapangan dan pasar, untuk bertanya. Bolehlah kita sebut Sokrates adalah penggila pertanyaan. Kalau tidak gila betulan. Pertanyaan tolokan Sokrates mungkin; ”mengapa manusia tidak pernah bertanya”? Sokrates hidup dengan bertanya, matipun karena bertanya. Saking kagumnya, Plato membuat ikhtisar panjang tentang pertanyaan-pertanyaan yang pernah dipertanyakan Sokrates.

Cerita tentang Sokrates kontras dengan peribahasa yang ada di awal paragraf hulu. Zaman Sokrates, bertanya merupakan aktifitas sesat. Sedangkan pada peribahasa kita, tidak bertanya menjadi sebabnya tersesat. Apakah sikap manusia kekinian, tentang aktifitas bertanya, sudah begitu jauh berbeda dengan masa Sokrates? Bahwa di satu peradaban menjadi hujatan, di peradaban lain jadi pujaan? Pada kali ini bolehlah saya pertanyakan: Demikiankah?

Untuk memetakan mana pertanyaan yang dihujat, mana pertanyaan yang dipuja, ada 2 hal yang mesti jadi perhatian: pertama, pertanyaan murni. Kedua, pertanyaan nge-test. Saya coba meraba-meraba apa yang diasumsikan beberapa orang tentang kedua jenis pertanyaan ini.

Pertanyaan murni adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki nol pengetahuan tentang sesuatu hal yang ditanyakan. Pertanyaan murni diyakini banyak terdapat pada anak usia dini. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan murni adalah tanda seorang insan yang pembelajar dan cerdas. Wajar apabila pertanyaan murni adalah model pertanyaan yang dipuja.



Ini berbeda dengan pertanyaan nge-test. Pertanyaan nge-test adalah pertanyaan yang terlontar dari sang penanya yang memiliki pengetahuan tentang apa yang ditanyakan. Pengguna pertanyaan jenis ini kerap dijuluki manusia ”sok tidak tau”, inversi dari manusia ”sok tau”. Sokrates, karena disangka demen menggunakan jenis pertanyaan ini, dipaksa minum racun. Pertanyaan nge-test merupakan pertanyaan yang menjengkelkan. Oleh karena itu, dihujat.

Sekena-kenanya, itu adalah hasil rabaan saya terhadap beberapa opini tentang 2 jenis pertanyaan di atas. Namun, bagi saya, tidak sesederhana itu. Goenawan Mohammad pernah menyitir perkataan Derrida: memaafkan yang murni adalah memaafkan kesalahan yang tak mungkin termaafkan. Jika saya boleh membanting pernyataan di atas kedalam konteks persoalan ”pertanyaan”: bertanya yang murni adalah bertanya tentang pertanyaan yang tidak mungkin ada jawabannya. Proyek ini sulit sekali. Belum lagi ditambah dengan kemampuan kita untuk men ”jawab se-kena-nya”

Pertanyaan murni tidak memiliki ukuran standar. Usia sebagai ukuran, dapat dengan mudah dihancurkan. Adik saya Sekolah Dasar pernah bertanya:

-”mas, dah punya pacar?”
-”belum, dek”
-”bohong”

Tersirat: adik saya yakin, saya sudah punya pacar. Artinya, pertanyaan adik saya bukan bertolak dari nol pengetahuan.

Contoh lain ketika seorang bocah ingusan bertanya:

-mbak, tau mainanku?"

Tersirat: si bocah ingusan merasa tau, bahwa mbaknya tau keberadaan mainannya. Ilustrasi ini sinonim dengan: Mengapa saya tanya tentang ”buku teks” pada dosen saya, bukan kepada kakak saya? Itu karena saya menyimpan segenap pengetahuan sebelum bertanya. Pengetahuan yang saya punya adalah: dosen akan dapat memberikan jawaban perihal ”buku teks” dibanding kakak saya.

Menurut saya (bukan murni pendapat saya), tidak ada pertanyaan yang dimulai dari nol pengetahuan. Kalau pendapat saya ini benar, pertanyaan murni atau nge-test jadi kabur maknanya. Jikapun ada, raison d’ etre pembedaan tersebut adalah pikiran yang apriori dan sentimentil.

Jika boleh sedikit sabar dan proporsional, pertanyaan nge-test pun rupanya dapat bebas dari dilema moral, baik dan buruk. Saya punya dosen namanya Bu Sofa. Beliau adalah dosen terfavorit saya (sumpah demi Allah), yang pertamakali mengajarkan tentang marx dan foucault pada saya. Beliau acapkali bertanya pada mahasiswa tentang sesuatu yang telah diajarkan. Apakah itu adalah sebuah attitude yang buruk? Jika saya ditanya: ”Zamzam, tolong jelaskan kembali perihal pemikiran Foucault barusan”. Jelas, itu adalah pertanyaan nge-test. Apakah elok jika kemudian saya jawab: ”ibu nge-test saya?”. Ilustrasi yang se-genus dengan cerita di atas, tersebar di ruang-ruang kelas sejak PAUD hingga Universitas. Saya menyangsikan ada guru PAUD yang bertanya: ”ini warna apa anak-anak?”, padahal dia sendiri tidak punya pengetahuan tentang warna.

Menurut hemat saya, cukuplah, kegiatan bertanya dimaknai sebagai aktifitas kritis. Terlepas dari sang penanya benar-benar tidak mengerti atau cuma nge-test atau cuma iseng atau cuma basa-basi, atau cuma gojek. Cukup saya saja yang dituduh ”suka nge-test dosen”. Jika boleh menyampaikan sedikit klarifikasi dan bersikap jujur perihal ”buku teks gate”, kala itu, saya benar-benar kurang mengerti apa yang dimaksud dengan ”buku teks”. Sebab tidak mau tersesat di jalan, saya bertanya.

Tulisan ini saya harapkan, khususnya, dibaca oleh civitas akademik jurusan ilmu politik. Saya sendiri tidak menyangka, mengapa saya mesti menulis ”Tanya Kenapa, Kenapa Tanya”. Satu yang pasti, ketika saya tau, bahwa di kening saya sudah distempel mahasiswa tukang bertanya nge-test, saya merasa perlu untuk menjelaskan duduk perkaranya. IP saya belum 3. Toefl saya ndak sampe 450. Masih mengandalkan google translate pula. Kuliah saya 5 tahun belum rampung. Kok seakan-akan saya adalah mahasiswa paling jago, hingga bisa ngetest-ngetest dosen. Sebenarnya, saya tidak mampu untuk menghalangi interpretasi orang lain terhadap saya. Itu adalah hak orang lain. Tapi ketika saya bisa berbicara, saya tidak mau hanya diam. Ada 2 alasan saya menulis ini: Pertama, saya tidak ingin budaya bertanya menghilang dari kelas. Kedua, saya hanya ingin menjadi seorang pembelajar. Once upon a time, Bu Ana pernah bercerita pada saya: ”kita semua adalah pembelajar”. Pernyataan tersebut benar-benar saya interpretasi, fahami, resapi dalam-dalam.

Seluruh interpretasi saya kembalikan kepada pembaca. Saya biarkan semua mengambang, tidak ada kesimpulan, tidak ada epilog.

Keadilan sudah harus ada sejak dalam pikiran....
(Pramoedya A. Toer. Bumi Manusia)

*ditulis oleh Zamzam Muhammad Fuad, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman

Senin, 04 Oktober 2010

MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Penulis : Dr. Ali Syariati
Pengantar : Dr. Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993
Tebal : +185 halaman


MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Oleh: Eko Supriyadi1

“Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat. Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”Ali Syari’ati, (1933-1977)


A. FATALISME PERADABAN

Dewasa ini, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telah banyak mengalami mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengah dibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga nilai-nilai, kearifan, dan identitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan kecil yang terkontaminasi dengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil mengkristalisasikan sentimensentimen, corak-corak rasial, pandangan serta pola pemikiran masyarakatnya ke dalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya kepada bangsa-bangsa lain.

Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi eksklusif Barat. Dengan menganggap produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Barat ingin menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilainilai

spiritual mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentuk yang baru, dari kungkungan etnisitas menjadi cluster universal. Filsafat, seni, teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan makhluk bernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya ada satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Pada dataran yang lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakan teknologi-teknologi baru membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagai kampiun teknologi memanfaatkan kemampuannya untuk menarik sumber-sumber alam, sumber uang, dan kekayaan negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni oleh kaum Muslim. Dengan teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinya sebagai model dan mesin pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikut segala bentuk variasi produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik. Sehingga, negara dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuan memproduksi teknologi sendiri, di-setting sedemikian rupa agar menjadi konsumen setia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan sebesar-besarnya, Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan produknya dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat dunia rela membeli habis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya cara adalah dengan membentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif. Melalui berbagai media iklan dan propaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk tersebut seolaholah merupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib dimiliki. Kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk Barat yang sebelumnya bersifat tersier menjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara kapitalis Barat mengeruk sebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga. Pencitraan tingginya status sosial, prestise, trend, dan predikat modern dinisbatkan kepada siapapun yang mampu membeli, menggunakan dan terus mengikuti model terbaru atas produk teknologi Barat. Cara yang demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logika masyarakat dunia agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebut untuk menggunakan beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagai ikon-ikon kemajuan dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif.

Homogenisasi kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeri Muslim yang pada umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority) dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan sosial, ditambah dengan rendahnya intelektualitas, mengimpor produk kebudayaan, teknologi, dan peradaban Barat ke dalam tanah air mereka sebagai usungan jargon globalisasi dan ikon modernisasi. Sudah tentu generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dari perbenturan kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengah memegang perannya sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin Negara dan masyarakat? Sebab bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalami pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua akan segera mengakhiri tugas-tugasnya untuk digantikan, dan ia mesti mempersiapkan penerus yang lebih baik dari mereka; yaitu generasi muda. Generasi muda merupakan modal paling esensial bagi masyarakat untuk menciptakan suatu perubahan. Jika pikiran generasi muda perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudokebudayaan dan toxic peradaban Barat yang materialistik dan hedonis, sulit sekali mengharapkan perubahan positif muncul dari generasi seperti mereka.

Dengan logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyata tertumpu kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat. Sebagian besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi. Cara pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonisme” dan saudara kembarnya, “materialisme”. Dunia Muslim telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaan alam dikeruk di balik jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas.

Moralitas dan nilai dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan di balik kamuflase penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untuk memperoleh legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskan untuk menggiring umat manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiak Barat. Atas nama perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasan kemerdekan justru dihalalkan terhadap negeri-negeri Muslim.

Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang mengalami satu pendulum yang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam cengekeraman Barat, dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara yang bersih dari pengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum sedang menderita westruckness dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan moral ala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat[1].

Kenyataan ini memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidak bisa terus-menerus demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk itu melakukan perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama ritual dan profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hingga tinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.

B. PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAM

Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengan demikian ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorang penulis Perancis, ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan, cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas. Mempunyai ideologi berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quo yang sudah mentradisi dalam masyarakatnya.

Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk pemikiran lain, seperti halnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideology-ideologi yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen.

Dalam bentuknya yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal ini Islam—dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat di negeri manapun yang tertindas, baik secara cultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belum terkontaminasi oleh nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam.

Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah meyakini bahwa perubahan sosial (termasuk revolusi) dan perkembangan masyarakat tidak dapat didasarkan pada kebetulan, karena masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tak tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dan menggunakannya, dia dapat berencana dan meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatu sistem keyakinan dan bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perlu dipahami sebagai sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perlu difahami sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandang sebagai ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agama kuno dalam pikiran seorang ahli agama.

Namun demikian, proses pemihakan seorang Muslim terhadap ideologi Islam tidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi kekuatan di luar dirinya, melainkan harus terinternalisasi secara sukarela atas dasar kehendak bebasnya untuk memilih dan menentukan. Jika ideologi tidak lagi merupakan manifestasi kehendak merdeka seseorang, atau dipaksakan kehadirannya, maka ia telah kehilangan ruhnya dan berubah menjadi sekedar sebuah tradisi sosial bagian dari kebudayaan, ia telah kehilangan karakteristik aslinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):

Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri.… suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan, harapan dan keberanian.”

Terdapat perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan oleh Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan ideal kemanusiaan yang sejati.” Jika Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apapun kepada masyarakat.”.[2]

Dalam konteks praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi ritualitas individu semata, melainkan ruh yang menggerakkan hati seorang Muslim untuk menempuh aksi-aksi progresif bagi kemaslahatan umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi, agama Islam bertengger di atas keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya.

Sebagai konsekuensi karakteristik universalitasnya, Islam senantiasa hadir dalam realitas masyarakat seperti apapun bentuknya dan dalam kondisi bagaimanapun. Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif terhadap kebangunan Islam itu sendiri. Karenanya Islam adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkin segala realitas kontekstual yang sedang bergejolak dalam masyarakat, untuk selanjutnya menawarkan solusi atas permasalahan yang ada.

Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidak akan mampu menjadi khasanah untuk menemukan kebijaksanaan Islam, paling jauh hanya mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual. Seorang Islam dalam bentukan yang tidak kaffah semacam ini memandang Islamnya dari suatu jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuah tanggung jawab sosial.

Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa kaum Muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhluk yang rendah, karena ia adalah rekan Allah, teman-Nya, pendukung amanah-Nya dibumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat Allah bersujud kepadanya. Manusia bidimensional yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agama yang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini atau akherat semata, melainkan agama yang mengajarkan keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam) manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis, arsitek, sastrawan, ahli kesehatan, dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti bebas nilai, tidak bermuatan ideologis tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang yang berarti tergantung pada pemilik modal. Slogan netralitas ilmiah telah didiktekan kepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para ilmuwan haruslah menjadi jiwa yang terbelah (the split personality) menjadi dua bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dan keahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang menempati wilayah saling terasing satu sama lain. Mereka mesti menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwa dia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral, bekerja dalam dunai analisis yang menuntut semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu dan menghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri mereka ke dalam ketidakbermaknaan atas karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu, motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih besar untuk mereka dapatkan dari sekedar uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia.

Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh. Sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari, sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya mencabut ruh dari sangkar badannya. Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinya kepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal, demi mendapatkan upah yang tinggi untuk kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan, ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan peristiwa apapun yang muncul di tengahtengah masyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan bidang garap ideologi. Ketika ideologi sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, maka nilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh aktivitas mereka menjadi pragmatis.

Mereka akan kekurangan sense of humanity, kemanusiaan sudah tergadaikan oleh egoisme individualistik dan tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian sesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukan ilmuwan pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antara profesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antara kehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu adalah ulil albab, rausyanfikr yang menyimpan energi untuk menggerakkan peradaban.

C. MENJADI RAUSYANFIKR!

Rausyanfikr[3] adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideology yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik.

Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untuk memimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia mengandung pengertian yang lebih detail sebagai:

Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa/ rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh pendiri agamaagama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahanpembenahan stuktural yang mendasar di masa lampau. Mereka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para nabi, rausyanfikr tidak termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar.

Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi, merasakan desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup moralitas dan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala kebuntuan filosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realitas masyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya mewakili aksi-aksi intelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan:

Setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalah menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu, dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.

Rausyanfikr merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapan terciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang meyakini sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkan syahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan mereka adalah untuk memandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan mengidentifikasi masalah riil berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama keadilan—sebagai solusi rasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam masyarakat. Syari’ati (2001) bertutur:

Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan perkataan lain: pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah. Dia adalah kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas.

Jika boleh divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”

Wallahual’lam bishawwab.



Referensi lanjut:

Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995. “Kumpulan tulisan tentang riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia dan pemberi kontribusi besar dalam dinamika kebangunan ummat Islam.”

Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati Dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999. “Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim Indonesia yang menyoroti sosok Ali Syari'ati dalam berbagai sudut pandang keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”

Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember 2003. Analisis seputar karakteristik revolusioner Islam dalam pandangan Ali Syariati, kritik-kritiknya terhadap Marxisme, berikut analisis mengenai titik singgung dan titik seberang antara Islam dan Sosialisme-Marxisme.

Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. “Pandangan Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalam memandang manusia, pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannya dalam masyarakat, berikut analisis sosiologis masyarakat Islam.”

_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979. “Pandangan Ali Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentang masyarakat dalam kacamata Islam.”

_________, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda, Jakarta, 2001. “Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al- ur'an, serta analisis tentang karakteristik Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.”

_________, Humanisme Antara Islam dan Mahzab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996. “Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme sekuler, kritik terhadap humanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme, serta tarik menarik antara Marxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali Syari’ati secara tegas menyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab Barat.”

_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997. “Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah hajji dalam analisis mistis-filosofispolitis dalam setiap tahapan hajji.”

_________, Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992. “Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah dua mahzab Islam dan filsafat doa dalam pandangan Ali Syari'ati.”

_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986. “Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang langkah-langkah yang ditempuh umat Islam dalam upaya reinterpretasi Islam, dilengkapi dengan naskah rencana praktis Husyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung pemikiran-pemikiran revolusioner Ali Syari'ati.”

_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan Sosiologis, Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1986.

“Makna syahadah dalam tradisi Islam, karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajah

Nabi Muhammad.”

_________, Reflections of Humanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man, Free Islamic Literatures, Houston, 1980.

“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan nestapa manusia di tengah pusaran
peradaban dan ideologi dunia.”

[1] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Halaman vii-ix.

[2] Ali Syari'ati, Islamology: The Basic Design for A School of Thought and Action, dalam

http//www.shariati.com//about DR. shariati.html. 23 Maret 2003.

[3] Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris

terkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan

menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta

sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal,

Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam

menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali

Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan

Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14 – 15.